Tantangan Pendidikan di Era Digital
Dengan bimbingan dan pengawasan yang baik, teknologi sangat membantu dalam membuka wawasan dan cakrawala anak-anak menjadi lebih luas, kreatif, dan inovatif.
Gerusan zaman di
era milenial bukanlah hambatan dalam mendidik generasi penerus bangsa.
Kecanggihan teknologi justru menjadi media bagi praktisi dan lembaga pendidikan
dalam menyiapkan generasi masa depan. Bagaimana pendidikan menjawab tantangan
zaman sehingga bisa melahirkan anak-anak yang dapat beradaptasi dengan
perkembangan zaman(pengetahuan dan teknologi), sekaligus tetap menjaga
nilai-nilai moral yang luhur di masyarakat.
“Banyak cerita kecil yang kita dengar dari orang tua. Misalnya anaknya jadi hemat listrik banget di rumah. Dia (anak) selalu ingetin, ‘kok enggak dimatiin? Kita harus hemat energi’,” kata Caroline Widjanarko, Kepala SD Tzu Chi Indonesia menceritakan kisah perubahan positif salah seorang anak didiknya.
“Ada juga orang tua yang cerita kalau anaknya seperti menjadi pengingat baginya ketika sempat suatu hari ingin memotong jalur antrian, dan anaknya mengingatkan,” sambung Iing Felicia Joe, Kepala TK Tzu Chi Indonesia.
Secuil
kisah perubahan yang terjadi pada anak-anak di atas memberikan kebahagiaan
tersendiri bagi pihak sekolah, khususnya para guru. Pemahaman yang dimiliki
anak-anak ini tentu tidak muncul dengan sendirinya, melainkan dari proses yang
ditanamkan secara berulang-ulang dan berkelanjutan sehingga muncul kesadaran
seperti itu.
Pendidikan di Sekolah Tzu Chi menyelaraskan antara pendidikan akademik
dan juga budi pekerti, sehingga para siswa memiliki kemampuan akademik yang
mumpuni dan budi pekerti yang luhur.
Mengikuti Perkembangan Zaman
Pendidikan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring perkembangan zaman. Memasuki era digital seperti saat ini, perkembangan anak didik sangat berbeda dengan zaman dulu. Misalnya saja dari segi permainan. Jika anak-anak pada zaman dulu masih banyak yang memainkan permainan tradisional, anak-anak zaman sekarang sangat jarang yang pernah atau bisa memainkannya. Justru mereka lebih akrab dengan permainan dalam aplikasi sebuah gadget.
Tidak bisa dipungkiri bahwa internet sendiri bukan lagi barang langka bagi generasi masa kini. Bahkan internet menjadi makanan sehari-hari mereka. “Perkembangan sekarang ke era digital, internet di gadget sudah gampang banget, jadi bukan suatu hal yang mewah lagi, tabu lagi,” ujar Freddy, Direktur Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat.
“Anak-anak sekarang umur 3 atau 4 tahun sudah ngerti youtube, mau apa tinggal pakai jempol sudah dapat banyak informasi,” ucap Caroline. “Bahkan (sejak) lahir saja teknologi sudah ada di lingkungan mereka. Orang tua menggunakan smartphone sehingga anak-anak secara tidak langsung mulai mengenal gerak-geriknya dan lain-lain,” sambung Iing tersenyum.
Seiring
berjalannya waktu, kemajuan teknologi dan kemudahan melakukan berbagai
aktivitas berisiko menjauhkan anak dari nilai-nilai luhur di masyarakat. Banyak
kasus yang terjadi pada anak-anak yang akrab melakukan aksi bullying (kekerasan kepada orang lain
yang sebaya), menjadi individualis,
dan kurang bisa bersosialisasi di masyarakat. Belum lagi mudahnya mengakses
informasi membuat anak-anak lebih dini mengenal tentang seksualitas. Anak-anak
di pedesaan maupun di perkotaan sama-sama terkepung perkembangan zaman. Jika
tidak dibentengi ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan diri mereka.
Siswa lulusan SD, SMP, SMA/SMK Cinta Kasih Tzu Chi mengikuti Kamp Pendewasaan sebagai sarana memperkuat karakter mereka dalam menghadapi tantangan hidup.
Praktisi dan lembaga pendidikan dituntut mampu menyelaraskan antara perubahan zaman yang ditandai dengan kecanggihan teknologi dengan nilai-nilai budi pekerti. Dengan begitu maka sekolah bisa menjadi benteng moral bagi anak-anak sehingga mereka dapat tumbuh beriringan dengan teknologi dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang positif.
Tak heran jika pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang harus dijalankan setiap institusi pendidikan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa/karsa, olah pikir, dan olah raga dengan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Penguatan Pendidikan Karakter bertujuan untuk membangun dan membekali peserta didik sebagai generasi penerus guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan.
Namun jauh sebelum Peraturan Presiden (perpres)
dikeluarkan, banyak sekolah yang sudah menerapkan pembelajaran budi pekerti
untuk menunjang pendidikan karakter pada siswanya. Banyak instansi pendidikan
yang hadir dengan membawa visi dan misi yang mengarah pada penguatan karakter,
baik di sekolah umum, sekolah berbasis agama, maupun lainnya. Masing-masing
sekolah pun memiliki gaya tersendiri dalam mewujudkan visi dan misi yang
mengarah pada pengembangan karakter. Sekolah tentu ingin melahirkan anak-anak
berkualitas yang berkarakter baik.
Sekolah Tzu Chi Indonesia menanamkan sikap mandiri dalam bersumbangsih melalui berbagai kegiatan, salah satunya dengan kegiatan Entrepreneur day yang rutin mereka selenggarakan. Hasil dari kegiatan tersebut disumbangkan ke sekolah-sekolah yang membutuhkan.
Membangun Karakter Sejak Dini
“Tugas sekolah antara lain membentengi anak-anak untuk tetap berada dalam koridornya. Jangan sampai internet mengikis sedikit demi sedikit karakter mereka,” ucap Freddy. Menyadari hal ini Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi yang diresmikan sejak 2003 lalu ini terus berkomitmen memberikan pendidikan terbaik untuk membekali anak-anak di masa depan. Seperti arahan dari pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, Master Cheng Yen yang mengatakan bahwa pendidikan adalah mengajarkan tata krama, mengasuh budi pekerti, menunjukkan jalan, dan memandu ke arah yang benar.
Dalam memanfaatkan internet, Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi menjadikannya sebagai media pembelajaran. “Di SMP, SMA, SMK kami sediakan wifi. Mereka juga kita perbolehkan untuk membawa handphone, tujuannya untuk mendukung pembelajaran jika memang dibutuhkan,” ujar Freddy. Anak-anak sering dipancing untuk memunculkan rasa ingin tahu mereka. “Bagaimana kita umpan sedikit tentang materi lalu mereka mencari dalam internet, mereka simpulkan sendiri dan presentasikan. Menurut saya ini metode ajar baru di era milenium. Bukan saatnya lagi guru terus (berdiri) di depan menjelaskan, tetapi ada saatnya anak (harus) meng-encourage dirinya sendiri untuk mendapatkan informasi, bukan hanya dari guru,” tandasnya.
Mengimbangi kebijakan sekolah dalam memanfaatkan internet, Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi sangat mengedepankan pendidikan budi pekerti. “Kita tidak menitikberatkan pada pengetahuan saja, tetapi juga budi pekerti yang kami tanamkan salah satunya melalui pembelajaran budaya humanis,” ucap Direktur Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi ini. Pelajaran budi pekerti tidak hanya dalam pendidikan budaya humanis, tetapi juga dimasukkan dalam pelajaran budi pekerti di kelas. Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi juga merancang bimbingan konseling untuk para peserta didik. “Supaya nilai-nilai penanaman karakter, nilai-nilai kehidupan bisa dijalankan,” tukas Freddy.
Dari pendidikan yang diterapkan, Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi cukup banyak menghasilkan anak-anak yang berhasil. “Anak-anak yang dulunya waktu kecil bandel luar biasa, tetapi mereka bisa menjadi baik dan berhasil, salah satunya (sekarang) malah jadi guru di sekolah kita,” ucapnya bangga. “Sekolah berupaya semaksimal mungkin untuk mengubah kehidupan mereka,” lanjutnya.
Sekolah Santa Maria mengedepankan pembangunan karakter siswa dengan prinsip how to live together yang tujuannya untuk memudahkan siswa bisa bekerja sama dengan orang lain.
Hal senada disampaikan Caroline. Menurutnya Sekolah Tzu Chi Indonesia berdiri agar mampu mentransfer nilai-nilai kehidupan untuk dimunculkan kembali melalui sekolah. Bagaimana anak-anak bisa mandiri, bisa mengerjakan segala sesuatu dengan baik, bisa membangun empati dan rasa percaya diri mereka. “Salah satu komponen pendidikan budaya humanis adalah pendidikan kehidupan sehari-hari,” ujarnya. “Di KB dan TK sendiri budaya humanis menjadi sesuatu yang kuat karena memang secara visi dan misi kita ingin membangun individu-individu yang ada di sekolah ini menjadi berkarakter. Anak-anak usia dini kita berikan pembelajaran kehidupan,” ucap Iing menimpali.
Untuk mencapai hal ini, sekolah mengajak anak-anak untuk merasakan langsung praktik pembelajaran kehidupan sehari-hari. Misalnya yang telah dilakukan SD Tzu Chi Indonesia dengan mengajak anak-anak untuk membersihkan toilet bersama-sama. Setelah merasakan langsung muncullah pemahaman pada anak-anak bahwa harus bersama-sama menjaga toilet tetap bersih, tidak pipis sembarangan, dan menghargai petugas kebersihan. “Nah, ini merupakan pendidikan sehari-hari yang kita tumbuhkan,” kata Caroline.
Baik Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi maupun Sekolah Tzu Chi Indonesia sama-sama mengajarkan pendidikan kehidupan sehari-hari seperti budaya mengantri, berbaris, mencuci alat makan sendiri, melayani sesama siswa, menyapa dan memberikan hormat, serta berpenampilan sopan dan rapi. Tidak hanya itu Sekolah Tzu Chi juga mengenalkan kepada anak bagaimana mencintai lingkungan dengan melakukan pemilahan barang daur ulang di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi secara berkala. Bahkan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi memasukkan kegiatan pemilahan sampah ke dalam kurikulum Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta (PLKJ).
“Kalau di kami, mereka diajak untuk memilah sampah, yang bisa dilakukan dengan membawa botol kosong yang sudah dicuci bersih. Mereka diajarkan ternyata barang-barang ini (masih) bermanfaat untuk orang lain,” ulas Iing Felicia. “Dalam merawat lingkungan, kami juga mengajarkan bahwa bunga itu indah tetapi tidak boleh dipetik karena orang lain menjadi tidak bisa melihat keindahannya,” sambungnya. Selain diajarkan bagaimana mencintai lingkungan, anak-anak TK Tzu Chi Indonesia juga diajak untuk menyayangi diri sendiri. “Mereka harus paham bahwa mereka harus sayang diri sendiri, dan harus menjaga diri. Mereka harus cuci tangan, mandi, makan makanan sehat, dan lain-lain. Ini adalah pembelajaran kehidupan,” katanya.
Seorang anak memiliki karakter baik atau buruk bukan menjadi keberhasilan atau kegagalan sekolah saja, tetapi orang tua juga memiliki andil di dalamnya. “Ini bukan dari sekolah saja, tapi orang tua juga,” tukas Caroline. Iing Felicia pun menyetujuinya, “Belajar sesuatu dimulai dari orang dewasa, dalam hal ini yang paling dekat ya orang tua di lingkungan keluarga. Di sekolah guru sebagai orang dewasa selalu memberikan pengertian bahwa ini lho yang harus kamu jalankan.” “Kalau saya bilang golden triangle. Sekolah, orang tua, dan lingkungan tidak bisa dipisahkan,” tegas Freddy.
Salah satu praktik pendidikan agama di Sekolah Al Izhar untuk menunjang pendidikan karakter sebagai penyeimbang kemajuan teknologi.
Budi Pekerti Dalam Pendidikan Agama
Sementara itu Sekolah Katolik Santa Maria yang berada di Djuanda, Jakarta Pusat memiliki kiat tersendiri dalam memasukkan pendidikan karakter kepada para siswanya. Menurut Kepala SMP Santa Maria Jakarta, Suster Anastasia Ratnawati sebuah sekolah harus membangun karakter yang kuat sehingga murid-muridnya tidak mudah terbawa arus zaman. Dalam hal ini peran seorang guru sangatlah penting. “Guru meracik ilmu-ilmu. Di dalam pelajaran kami mengenalkan karakter selalu diberikan, misalnya deret hitung karakter yang dibangun itu berpikir logis, dan ilmu yang berhubungan dengan kehidupan,” ujar Anastasia Ratnawati yang akrab disapa Suster Ratna.
Suster Ratna bersama guru dan pengurus sekolah pun terus berjuang untuk membangun anak-anak yang menjadi diri sendiri, mengenal diri sendiri melalui diskusi dan pembinaan. “Karena kita mau how to live together. Dengan mengenal diri sendiri maka akan mudah menempatkan diri bagaimana hidup bersama orang lain,” ujarnya. Selain pembinaan kepada siswa, sekolah juga memberikan pendidikan budi pekerti yang dimasukkan ke dalam pelajaran agama.
Untuk menumbuhkan nilai-nilai luhur bermasyarakat dan berkarakter, sekolah juga mengajarkan tetang pluralisme. Dalam hal ini sekolah mengundang tokoh-tokoh setiap agama untuk memberikan pemahaman tentang perayaan hari raya. “Saat ini arus zaman di Indonesia (kecenderungannya) mulai memecah belah, memilah-milah. Kami sebagai lembaga pendidikan harus membuat anak-anak belajar untuk hidup bersama. Kami memperkenalkan agama-agama lain untuk memperkenalkan saudara-saudara kita sehingga tidak ada kecurigaan dan lain-lain,” jelas Suster Ratna.
Sekolah juga mengadakan live in di mana setiap anak harus tinggal di rumah warga yang baru dikenalnya untuk belajar berbaur dan beradaptasi di masyarakat. “Dengan ini mereka bisa mengenal diri sendiri, bermasyarakat dan membangun sosialisasi dengan lingkungan sehingga mereka mengetahui bahwa semua agama mengajarkan cinta kasih,” ujar Suster Ratna lembut. “Itu memberikan pengalaman ke anak karena kita ingin learning how to live together sehingga tidak ada kesenjangan sosial,” lanjutnya.
Sementara itu, Sekolah Al Izhar di Pondok Labu, Jakarta Selatan memiliki program ke- Al Izharan dalam membekali anak didiknya. “Di dalam program tersebut kami menekankan pada 6 nilai yang dijunjung sekolah kami: Jujur, Menghargai, Berani, Pengasih, Rendah Hati, Nasionalis,” ujar Adi Adinugroho Horstman, Direktur Pendidikan Sekolah Al Izhar. Hal ini dilakukan untuk menyiapkan anak-anak agar bisa beradaptasi dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
“Anak-anak diajarkan untuk mandiri, memiliki karakter yang baik dan kemampuan serta keterampilan yang dibutuhkan untuk survive,” ucap Adi. Tidak hanya itu, anak-anak Al Izhar juga diajarkan agar mereka dapat mengantisipasi jauh ke depan dengan kritis, mampu menjadi pemecah masalah yang handal dan memiliki ketahanan yang tinggi baik mental maupun fisik.
Sekolah yang berlokasi di Jakarta Selatan ini pun mengembangkan program kerelawanan dan pelayanan masyarakat. “Kami telah mengirimkan beberapa guru kami (kunjungan ke Tzu Chi) untuk belajar bagaimana ‘melayani’ sesama, siapapun itu, sebagai wujud perilaku dan karakter humanis,” kata Adi. Adi juga mengaku bahwa dengan menjadi relawan dan melayani sesama itu juga sama halnya dengan memuliakan sesama manusia. “Membuat kita lebih bersyukur dan menguatkan serta mengembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih baik dan bahagia,” ucapnya.
Guru-guru dan para murid Sekolah Al Izhar memang sempat melakukan kunjungan ke Tzu Chi untuk belajar budaya humanis Tzu Chi di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, kelas budi pekerti bagi anak, dan juga kegiatan pelestarian lingkungan. “Dengan belajar dari sekolah lain kami bisa lebih paham terhadap diri (sekolah) kami dan dapat terus mengembangkan apa yang kami miliki untuk terus berupaya menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat,” ujar Adi.
Selain praktik mindfulness, Sekolah Ehipassiko bekerja sama dengan Tzu Chi menerapkan pendidikan pelestarian lingkungan, budaya humanis, dan pendidikan lainnya untuk membangun kepribadian siswa.
Mengembangkan Budaya Mindfulness
Dalam membangun karakter pada anak, salah satu sekolah Buddhis, Ehipassiko School yang berlokasi di BSD, Tangerang Selatan menerapkan praktik hidup sadar penuh. Melakukan segala aktivitas dengan berkesadaran yang menitikberatkan pada penyadaran akan nafas masuk dan nafas keluar. “Kami menggunakan budaya mindfulness,” ujar Indi Y. Wirawan, Direktur Ehipassiko School. Untuk menunjang penerapan kebiasaan ini, di setiap unit sekolah disediakan lonceng kesadaran. Setiap jam 12 siang di Sekolah Ehipassiko pun terdengar bunyi lonceng kesadaran. “Semuanya diam, tidak ada aktivitas apapun, dilanjutkan tersenyum dan saling memaafkan,” ucapnya tersenyum.
Budaya mindfulness juga diterapkan kepada anak-anak pada saat makan maupun berolahraga (senam). “Kita senam menggunakan gerakan mindfulness,” ujar Direktur sekaligus Kepala TK Ehipassiko School, “Setiap dua minggu sekali di (unit) TK ada eating mindfulness.” Tidak hanya anak-anak dan guru saja yang menerapkan budaya praktik hidup sadar penuh ini, bahkan orang tua murid dikenalkan tentang budaya berkesadaran secara berkala. “Untuk melibatkan orang tua kita melakukan morning tea,” papar Indi. “Supaya apa yang kami ajarkan di sekolah juga bisa diterapkan di rumah,” lanjutnya.
Budaya mindfulness yang diterapkan oleh sekolah memberikan dampak positif yang besar pada anak. “Ada orang tua cerita, ‘pantes miss belakangan ini anak saya sering meditasi’. Suatu hari anak (murid) saya dimarahi mamanya, dia lari masuk kamarnya lalu duduk bersikap meditasi. Saat ditanya, ‘kamu ngapain?’ Anak (murid) saya jawab, ‘kata miss kalau lagi kesel tarik nafas masuk nafas keluar dan doain agar orang itu bahagia’,” ucap Indi menirukan curhat orang tua muridnya. “Ternyata dampaknya luar biasa,” tambahnya bangga.
Ehipassiko School juga menyadari kemajuan zaman sangat berpengaruh pada pendidikan. “Karena mulai mundur budaya makanya kami memasukkan ekskul permainan tradisional,” ungkapnya. Sekolah Ehipassiko juga kerap bekerja sama dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia baik dalam hal pelestarian lingkungan, budaya humanis, maupun materi pendidikan lainnya. Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi juga berdiri tegak di lingkungan sekolah, termasuk sistem kerelawanan untuk para guru juga diterapkan di sekolah ini.
Pada tahun ajaran kali ini, relawan Tzu Chi Tangerang juga mengajarkan kelas budi pekerti kepada murid-murid Ehipassiko School meskipun belum semua unit sekolah mendapatkan pelajaran nilai-nilai kehidupan ini. “Kami mengajukan kepada Tzu Chi Tangerang untuk memberikan pendidikan budi pekerti bagi murid-murid kami,” kata Indi. “Zaman sekarang kita tidak bisa lagi hanya menitikberatkan pada materi saja, tetapi berpindah pada karakter. Kami (juga) menitikberatkan pada pendidikan karakter sehingga kami ambil sebagian pengetahuan Tzu Chi dan Plum Village (mindfulness) diterapkan di sini,” tukasnya.
Pendidikan
memang harus mampu menghadapi tantangan Zaman, karena itu peran sekolah dalam
membina karakter anak-anak menjadi sangat penting. Pengetahuan, keterampilan,
dan moralitas yang tinggi menjadi pondasi yang kuat bagi setiap anak dalam
menjalani kehidupannya. Dengan pendampingan dan pendidikan yang tepat maka
mereka akan mampu beradaptasi dengan lingkungan dan zamannya.
Penulis: Yuliati