Untuk Lingkungan yang Lebih Bersih dan Sehat
Menyelesaikan permasalahan sampah bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan kesadaran dari setiap orang agar peduli dengan kebersihan lingkungan..
Semua berawal ketika Adek Rusmana yang baru pindah ke Tangerang pada tahun 2006 merasa terganggu dengan banyaknya sampah yang menumpuk di lahan kosong di depan rumahnya. Rupanya warga sekitar menjadikan lahan kosong itu sebagai tempat pembuangan sampah setelah lahan kosong tempat pembuangan sebelumnya sudah dibangun oleh pemiliknya. Selain bau tak sedap, sampah-sampah itu juga mengundang lalat-lalat berdatangan. Jika musim penghujan tiba, lengkaplah sudah “penderitaan” Adek dan keluarganya. “Dulu hampir tiap hari istri minta pindah rumah,” kata Adek mengenang.
Yang memprihatinkan, ternyata “pelaku” pembuangan sampah-sampah itu adalah tetangga-tetangga Adek sendiri. Karena kesal, Adek sempat nongkrong di depan rumahnya pagi-pagi buta. Beberapa kali ia memergoki ibu-ibu yang sudah menjinjing kantong plastik kemudian mengurungkan niatnya karena melihat Adek. “Nah dari situ kan sebenarnya mereka juga tidak enak hati ketika membuang sampah sembarangan, jadi saya pikir kita harus cari solusinya bersama,” terang Adek.
Mulailah pria yang sehari-hari bekerja sebagai kontraktor ini mencari informasi ke warga, kelurahan, kecamatan, hingga Dinas Kebersihan. “Ternyata cara penanganan sampahnya diangkut dan dibuang ke tempat penampungan. Awalnya kita mau pake pola itu, tetapi kemudian dari hasil pengecekan solusi yang ditawarkan tidak menyelesaikan masalah secara tuntas,” kata Adek. Selain sampah tidak diangkut setiap hari, warga juga harus menyediakan lahan untuk bak penampungan sampah di daerah tempat tinggal mereka. “Ini yang jadi masalah, warga nggak ada yang mau,” ungkapnya.
Kebetulan Pemda Tangerang mengadakan workshop tentang penanganan sampah, dimana sampah dikelola secara swadaya oleh warga dan kemudian diolah untuk dijadikan kompos. Ide ini pun disampaikan Adek ke warga, dan ternyata mendapat respon positif. “Saya ngobrol-ngobrol dengan teman dan undang teman dari DKP untuk mensosialisasikannya. Saya sampaikan kalau pilih cara ini (tuntas- red) mesti ada biaya solar, karung, dan petugas,” terang Adek. Agar tidak membebani warga, Adek dan pengurus RT/RW juga menerapkan biaya yang terjangkau. Satu rumah dikenakan biaya Rp 15.000 setiap bulannya, dan kompos dari hasil limbah tadi bisa dimanfaatkan oleh warga. “Lahan kosong yang awalnya kotor ini pun setelah sampah tertangani kita ajak untuk bersihkan sama-sama,” ujar Adek.
Membangkitkan Kepedulian Warga
Setelah sistem penanganan sampah ini berjalan 2-3 bulan, beberapa tempat pembuangan sampah liar ditutup oleh warga sekitarnya yang mulai keberatan dan melarang agar tukang sampah keliling tak lagi membuang sampah di area mereka. “Nah pada datang deh tuh tukang sampah dari luar, sehari bisa 5-10 orang. Mereka pada mau buang sampah. Saya bilang, ‘di sini bukan tempat buang sampah, di sini tempat mengelola sampah’,” jelas Adek. Meski ada yang bersedia membayar 300–500 ribu sebulan, Adek tetap menolak. “Saya bilang siapa yang tangung jawab di sana, kita bicarakan. Warga umumnya pragmatis, dah bayar 15.000, nggak mau tahu sampah dibuang kemana? Di sini nggak, di RT sini, kita taruh drum, 5 rumah 1 tempat sampah. Sampah-sampah ini kemudian diangkut setiap hari dengan gerobak. Sampah langsung dipilah, dicacah dan dimasukkan ke karung untuk dijemur dan dijadikan kompos,” kata Adek. Jika sampah organik bisa dijadikan kompos, sampah-sampah plastik dan barang-barang yang masih bisa didaur ulang dikumpulkan untuk dijual.
Pengelolaan sampah ini ditangani oleh 2 orang pekerja. Pada pagi hari para pekerja ini berkeliling mengumpulkan sampah-sampah warga, setelah itu kembali ke lokasi pengolahan sampah untuk memilah sampah. Setelah itu mulailah proses penggilingan sampah yang kemudian disemprotkan cairan pembusuk sampah, kemudian sampah ini dimasukkan ke dalam karung dan mulai proses pembusukan selama satu bulan di lahan depan rumah Adek.
Dari 110 kepala keluarga yang mengikuti program ini, setelah berjalan kurang lebih 10 bulan warga yang ikut program ini pun semakin bertambah hingga 300 kepala keluarga. “Memang lambat, tapi memang tidak mudah untuk memberi pemahaman kepada warga bahwa menyelesaikan permasalahan sampah ini menjadi tugas kita bersama,” kata Adek. Adek membandingkan biaya jika warga menggunakan truk sampah dari Pemda yang hanya mengenakan iuran Rp 500 ribu untuk 1 RW. “Bandingkan dengan sistem ini, satu rumah kena biaya Rp 15.000,” tandasnya. Jadi menurut Adek, warga mau berpartisipasi dalam program ini saja sudah merupakan prestasi dan berkah tersendiri.
Meskipun program ini baru berjalan sepuluh bulan, namun hasilnya sudah mulai terlihat. Lingkungan menjadi lebih rapi dan bersih. Bila setiap orang mau mengubah pandangannya terhadap sampah, maka persoalan sampah sebenarnya bisa dengan mudah diatasi. Pola buang dan angkut harus diganti dengan Konsep 5 R (Re-Think: memikirkan kembali, Re-use: menggunakan kembali, Reduce: mengurangi, Repair: memperbaiki, dan Recycle: mendaur ulang). Satu langkah mulia menjaga lingkungan agat tetap seimbang. Sekecil apapun usaha yang dilakukan maka dapat memiliki manfaat yang luat biasa bagi sekitar.