Abdul Rozak
Cinta Kasih Menghapus Penderitaan
“Diskriminasi hanya melahirkan ketidakadilan. Esensinya, selain merugikan, tindakan ini mengisolasi korbannya hingga mereka akhirnya tersudut, frustrasi dan mencari celah dunianya sendiri.”
Di lahirkan dari silsilah keturunan sosok terkenal negeri ini ternyata tidak selamanya membawa kemudahan bagi jalan hidup Abdul Rozak Baasyir. Sebagai keponakan dari Abu Bakar Baasyir—ustadz yang oleh pemerintah diberi label ‘garis keras’—mau tak mau menyeret keluarga dan dirinya ke dalam golongan orang yang “diawasi” oleh aparat, mulai dari kepolisian, Koramil, hingga perangkat desa. Bahkan setiap surat yang tertuju ke rumahnya, nyaris tak pernah luput dari sensor. “Kalau terima surat, kopnya sudah kebuka. Diantarnya juga oleh aparat Kodim atau Koramil, bukan petugas pos,” kenang Rozak getir.
Sejak kecil Rozak ditempa dengan penuh keterbatasan. “Keluarga saya keluarga susah,” kata Rozak seraya menjelaskan bahwa Pondok Pesantren Islam Al Mu’min di Ngruki, Sukaharjo, Jawa Tengah yang dipimpin pamannya bukanlah milik pribadi, tapi kepunyaan yayasan. “Paman saya saja sampai sekarang masih ngontrak rumah di Solo,” jelasnya. Tamat SMA, pengucilan pun masih lekat membelit tubuhnya dalam memperoleh pekerjaan. Rozak pun terombang-ambing dalam rasa frustasi yang membelenggunya. Dari sinilah ia kemudian mulai mengenal dunia hitam. Botol minuman keras menjadi sesuatu yang tak asing lagi baginya, yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah.
Perceraian Menggiringnya ke Jakarta
Gagal memperoleh pekerjaan, pria kelahiran 24 Maret 1966 ini kemudian membuka usaha servis elektronik di Solo. Bermodalkan keterampilannya memperbaiki antena parabola—kala itu sedang menjamur—usaha Rozak pun berkembang cukup pesat. Lewat campur tangan kedua orangtuanya, Rozak menikahi Farida pada usia 23 tahun. Namun perjodohan yang secara dominan diatur orangtuanya ini tidak berjalan mulus. Pernikahannya dengan Farida hanya bertahan selama hampir 2 tahun. “Waktu itu anak masih berumur 7 atau 8 bulan, kami dah mulai pisah,” kenang Rozak pahit.
Seiring dengan suramnya kehidupan perkawinan, usaha servisnya pun mulai seret. “Booming” parabola ternyata tidak bertahan lama. Membaca prospek bisnis yang suram, Rozak pun meninggalkan kota kelahirannya menuju Jakarta.
Di daerah Senen, Jakarta Pusat, Rozak mencoba peruntungannya dengan keahlian yang dimilikinya. Ia membeli barang-barang elektronik bekas, diperbaiki, dan kemudian dijual kembali ke tukang loak di Pasar Senen. Televisi dan amplifier rusak yang dibelinya dari pemulung, ‘disulap’ di bengkel kecil yang juga tempat kostnya hingga bisa menghasilkan uang. “Kadang bisa dapat untung 100%, tapi kadang juga buntung. Pokoknya kalau untuk makan aja sih cukup,” kenang Rozak.
Tinggal di kawasan ‘hitam’ yang rawan dunia kejahatan, Rozak pun semakin terperangkap dalam kehidupan permisif. Dalam kesehariannya, pertemanannya dengan para preman, copet, dan bahkan maling sulit terhindarkan. “Walaupun berteman dengan maling, saya tidak pernah mencuri,” kata Rozak.
Mengalami Titik “Nol” (Hidayah)
Petunjuk biasanya tidak harus secara kasat nyata di hadapan manusia. Teguran tersirat dan contoh nyata bisa menjadi guru perubahan dalam diri manusia.
Berlatar belakang peminum, ditambah trauma akibat perceraian membuat Rozak semakin dekat dengan minuman keras. Selama dua tahun hidup di Jakarta, kecanduannya terhadap botol miras semakin parah. Tiada hari terlewatkan tanpa kehadiran ‘air surga’ duniawi ini. Hari-harinya lebih sering dihabiskan di jalanan, tanpa rencana dan jauh dari ajaran agama yang dianutnya. Kolong jembatan Senen menjadi tempatnya berkongkow ria dengan teman-teman seprofesi ataupun memiliki hobby yang sama, kecintaan pada minuman keras.
Perkenalannya dengan Christopher Apriadi di tahun 1990-an, membuat garis hidup Rozak berputar 180o. Tidak sekali-dua kali, pria yang juga pendiri Yayasan Pondok Kasih Mandiri (YPKM)—LSM yang mengurusi anak-anak jalanan—terus mendekati dan memotivasi Rozak untuk meninggalkan pola hidup lamanya. Merasa malu dan tersentuh dengan teguran halus itu, Rozak pun tersadar dari mimpi gelapnya.
Ini pun menjadi tonggak keterlibatan Rozak dalam dunia kemanusiaan. Tahun 1994, Rozak bergabung di YPKM mengurus anak-anak jalanan. Beberapa anak jalanan yang ditemuinya, dikumpulkan, ditampung, dan kemudian disekolahkan. Pola pembinaan di YPKM memang berbeda dengan LSM sejenis, yang berlomba-lomba memberikan bekal keterampilan nonformal, seperti bermain musik. “Saya pribadi tidak setuju jika anak-anak jalanan dibekali keterampilan mengamen, mereka jadi lebih betah di jalan,” kata Rozak.
Aktivitas sosial ini ternyata bisa memberikan ketenangan bagi jiwanya yang selama ini cenderung tertekan persoalan masa lampau. “Ada kepuasan batin karena bisa menolong orang,” ujar Rozak. Sejak itu, kecanduannya terhadap minuman keras berganti dengan gelora untuk menolong orang lain. Gelora ini pula yang mengantarnya ke Aceh, Tanah Rencong yang diluluhlantakkan tsunami, 3 tahun silam.
Jodoh yang Terjalin dari Tsunami
Jakarta, 26 Desember 2004. Siang itu, hampir semua stasiun TV di Indonesia menyoroti tragedi tsunami di Aceh. Semua orang diguncang kepanikan dan rasa iba. Dalam sehari, terjadi lonjakan jumlah korban secara fantastis, dari mulai puluhan, ratusan, ribuan, hingga ratusan ribu orang. “Jumlah korban yang tewas dan luka, tidak sebanding dengan jumlah tenaga paramedis dan relawan yang ada,” kata si pembawa berita. Berita ini kemudian mendapat respon positif dari sejumlah LSM, organisasi, maupun pribadi untuk mendukung tenaga relawan yang mulai kehabisan tenaga.
Abdul Rozak salah satu di antaranya. Bernaung di bawah bendera Media Group, Rozak berangkat ke Aceh bersama tim dokter dan paramedis. Begitu kakinya menginjak bumi rencong, Rozak sudah harus berhadapan dengan ribuan mayat yang tergeletak di jalan-jalan. “Mayat-mayat itu sudah membusuk dan terjangkiti kuman-kuman berbahaya, seperti kolera dan disentri,” kenang Rozak. Tidak heran jika dari 162 relawan yang berjuang bersamanya, di hari kedua, ketiga, dan keempat, jumlahnya kian menyusut hingga hanya tersisa 60 orang saja.
Selidik punya selidik, ternyata ‘resep jitu’ dari tim evakuasi terdahulu, yang menyarankan untuk membubuhkan minyak kayu putih ataupun bubuk kopi di balik masker, justru menjadi penyebab ‘bergugurannya’ (mundur) pahlawan-pahlawan kemanusiaan itu. “Akhirnya saya dan teman-teman membiasakan masker polos apa adanya,” katanya. Bukan hanya bau busuk, ancaman serangan kolera dan disentri pun membayang setiap diri relawan kala itu. Meski sudah disteril sepulang bertugas, nyatanya ada juga satu-dua relawan yang kecolongan dan turut menambah jumlah korban tewas.
Kegigihan dan ketegaran Rozak, rupanya terpotret oleh salah seorang relawan Tzu Chi, Budi Wijaya. Ketika itu, Tzu Chi memang seposko dengan Tim Media Indonesia. Setelah tugasnya rampung, Rozak pun kemudian bergabung dengan Tzu Chi pada bulan Maret 2005. Tugas pertamanya waktu itu adalah membuat instalasi listrik untuk 250 tenda pengungsi di Cot Seumeureng, Meulaboh. Selesai di Cot Seumeureng, sebulan kemudian Rozak kembali ditugaskan ke Reusak, membangun 600 tenda. Kiprahnya terus berlanjut hingga dipercaya untuk mengurus Kampung Tenda Cinta Kasih Tzu Chi di Jantho, Aceh Besar.
Sejak bulan April 2005, Rozak menetap di tenda dan mengurusi kebutuhan warga yang menghuni 725 tenda Jantho. Tugasnya terbilang berat, karena selain lokasinya di daerah pegunungan, fasilitas air, listrik, dan rumah sakit pun belum berfungsi. Instansi Pemerintahan pun hanya buka ½ hari karena situasi belum pulih benar, masih dalam tahap konsolidasi. Dalam sehari, Rozak bisa 3-4 kali bolak-balik Jantho-Banda Aceh untuk mengantar pengungsi ke rumah sakit.
Tujuh ratus lima puluh Kepala Keluarga, berarti lebih dari 1.000 pikiran dan keinginan yang harus difasilitasi olehnya. Banyaknya LSM asing yang terlibat di Aceh, membuat beberapa warga menjadi tergoda untuk mencari bantuan dari berbagai pihak. Atas nama kemanusiaan, banyak warga yang menyeberang dan menerima bantuan ke LSM lain. Padahal tidak semua LSM menepati janjinya. “Kalau mereka bisa bertahan di Tenda Jantho, masa depan mereka pasti lebih baik,” kata Rozak. Sesuai janji Tzu Chi, para pengungsi yang bermukim di Tenda Tzu Chi di Jantho, pasti akan mendapatkan ‘jatah’ di Perumahan Cinta Kasih, baik di Panteriek maupun Neuhen.
Sukses mengantarkan para pengungsi pindah ke Perumahan Cinta Kasih di Panteriek dan Neuheun, Rozak kemudian pindah tugas ke Meulaboh pada tahun 2006. Pada 27 September 2006, Rozak mengawal proses perpindahan warga-warga Tenda Tzu Chi di Meulaboh ke Perumahan Cinta Kasih. Sampai berita ini diturunkan, Rozak masih bertugas di Perumahan Cinta Kasih Meulaboh.
Jika tugasnya di Aceh telah selesai, Rozak sendiri belum tahu akan tinggal di mana. Apakah tetap tinggal di Aceh, atau kembali ke Jakarta menekuni pekerjaan lamanya. Tetapi apapun pilihannya, yang pasti benih-benih cinta kasih yang tumbuh dalam dirinya—sejak mulai dari jalanan hingga ke Aceh—tidak akan pernah pupus dalam batinnya.
Pengalaman adalah guru terbaik, setidaknya inspirasi yang muncul dari jalanan dan kemudian ditempa di Aceh selama lebih dari 3 tahun, dapat mengubah sikap hidup dan menjadi satu kekuatan untuk terus berjuang di jalan kebajikan. Jalan kebajikan yang ditempuh Rozak bersama Tzu Chi tidak hanya mengubah pola hidupnya, jalan ini juga menyuburkan lahan batinnya.
Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Anand Yahya