Adi Prasetio
Kebahagiaan dari Sumbangsih

  
Tahun-tahun setelah terjadinya bencana tsunami pada 2004 diwarnai dengan banyak bencana yang melanda Indonesia. Saat itu dibutuhkan banyak relawan untuk turun ke lokasi bencana, dan lahan kebajikan bagi Tim Tanggap Darurat Tzu Chi menjadi terbuka. Pengalaman itu adalah pengalaman baru bagi Tzu Chi, begitu pula bagi Adi Prasetio yang dipercaya menjadi penanggung jawab Tim Tanggap Darurat Tzu Chi saat itu.

Adi Prasetio berperawakan sedang dengan tinggi sekitar 170 sentimeter. Dalam usianya yang memasuki 64 tahun, ia masih tegap dan memiliki langkah kaki yang cenderung cepat. Ia biasa berbicara secukupnya dan selalu langsung pada pokok persoalan. Sosok keseluruhan Adi memberikan kesan tegas dan lugas. Karakternya ini memang sesuai benar sebagai “orang lapangan”. Hari itu dalam pertemuan untuk wawancara, beberapa kali ia tampak menerima telepon dan mengoordinasikan kegiatan pembagian beras cinta kasih Tzu Chi, di mana ia menjadi penanggung jawabnya. Lamanya berbicara untuk setiap panggilan tak lebih dari 5 menit.
  
Mandiri
Adi terlahir di sebuah keluarga di daerah Singkawang, Kalimantan Barat. Ia merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. Sebagai kakak dari banyak adik, ia sudah terbiasa berbagi perhatian dari orang tuanya dengan adik-adiknya itu. Mungkin memang sudah pembawaannya, ditambah kesibukan orang tuanya mengurus anak, sejak kecil Adi telah menunjukkan kemampuan untuk mengurus segala keperluannya sendiri. Salah satu contohnya saat lulus dari Sekolah Dasar (SD), Adi memilih melanjutkan ke sebuah SMP seminari di luar kota kelahirannya. Segala proses pendaftaran ke sekolah berasrama itu diurus dirinya sendiri yang baru berusia 12 tahun.

Selama sekolah di seminari, Adi tinggal di asrama sekolah yang berdisiplin tinggi juga mendidik para siswa hidup mandiri. Menurut Adi, fase inilah yang kemudian membentuknya menjadi adaptif dan fleksibel, terutama tidak “rewel” dalam hal makan. “Di asrama kadang saya cuma makan dengan ikan asin dan sayur yang dimasak sekadarnya. Maka soal makan saya nggak terlalu milih, asal adanya apa, saya bisa makan,” katanya mengenang. Di kemudian hari, kebiasaannya untuk makan apa adanya ini sangat membantunya, terutama saat terjun ke lokasi-lokasi bencana.

Lulus dari SMP, Adi meninggalkan Kalimantan dan menuntut ilmu di Malang, Jawa Timur. Pada masa itu, SMA Hua-Ind Malang (sekarang telah berganti nama menjadi SMA Kosayu –red) memang menjadi pilihan banyak anak dari Singkawang yang akan melanjutkan ke SMA. Kemudian, Adi meneruskan kuliah di jurusan Teknik Mesin Universitas Atmajaya, Jakarta. Di antara saudaranya yang lain, hanya Adi yang bersekolah sampai ke luar daerah.
 
Kejujuran yang Utama
Tidak lama Adi mengecap bangku kuliah. Saat itu kondisi politik dalam negeri sedang labil (sekitar tahun 1966, masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru –red). Setelah setahun kuliah, Adi memilih berhenti dan mulai berjualan obat dengan gerobak. “Waktu itu di Jakarta masih banyak orang yang jualan obat di pinggir jalan. Saya ikut jualan setahun lebih,” tutur Adi. Setiap sore ketika para pekerja kantoran sudah pulang, Adi baru mulai berangkat dengan gerobaknya, dan pulang ketika sudah lewat tengah malam. Lama-kelamaan ia merasa usaha ini kurang menjanjikan masa depan yang baik dan membuat ritme hidupnya tidak wajar.
 
Dari seorang teman, Adi kemudian belajar tentang teknik percetakan. Kala itu masih dengan teknik handpress yang harus dioperasikan dengan tangan. “Waktu itu saya hanya punya satu mesin yang harus ditarik pake tangan,” cerita Adi. Dengan kerja kerasnya, Adi terus menambah dari satu menjadi dua, tiga mesin, dengan model yang terus diperbarui. Selangkah demi selangkah, usaha percetakannya terus berkembang menjadi usaha keluarga, dan kini diteruskan oleh anak laki-lakinya.

Dalam setiap usaha yang dijalankannya, Adi memegang teguh prinsip kejujuran dan kerja keras. “Saya bangun ini dari nol. Dulu awalnya masih sewa rumah. Di rumah hanya ada satu meja. Untuk makan pakai meja itu, untuk kerja juga meja itu,” tuturnya. Dalam bidang percetakan yang ditekuninya, selalu ada celah untuk menghasilkan keuntungan dengan cara mudah, namun Adi tak pernah tergoda untuk memanfaatkannya. “Untuk apa kita memiliki banyak uang tapi dalam hati penuh kegelisahan karena tidak jujur,” demikian ungkap Susanti, istri Adi.

Selalu Sejalan
Susanti juga berasal dari Kalimantan Barat, tepatnya daerah Pemangkat. Keduanya menikah tahun 1973. Di mata Susanti, Adi adalah sosok suami yang bertanggung jawab dalam hal pekerjaan maupun dalam keluarga. Sejak dulu Santi memang gemar melakukan aktivitas sosial. Ia sering berkunjung ke panti jompo bersama teman-temannya, bahkan bertanggung jawab mengelola dana sumbangan yang terkumpul. Dari kegiatan sosialnya inilah Santi mendengar tentang Tzu Chi.
 
“Istri saya yang lebih dulu kenal Tzu Chi. Memang dia (Santi) suka hal-hal yang sosial, saya juga nggak pernah keberatan. Setelah di Tzu Chi, waktu pulang biasanya dia cerita apa saja yang sudah dikerjakan, tapi saya belum ikut,” tutur Adi. Baru pada tahun 2002, suatu kali Adi mengantar Santi untuk mengikuti baksos kesehatan bagi korban banjir besar di Jakarta. Saat itu Tim Medis Tzu Chi dari 8 negara datang ke Indonesia untuk memberi pengobatan pada para warga yang menjadi korban. Baksos yang berskala cukup besar itu membuatnya takjub dan ingin lebih mengenal Tzu Chi. Maka dari niat semula hanya mengantar sang istri, Adi akhirnya ikut membantu dalam baksos kesehatan itu hingga sore hari.

Sejak itu ia mulai membantu di berbagai kegiatan Tzu Chi. Kebetulan saat itu Tzu Chi baru memulai program “5P” (pembersihan sampah, penyedotan air, penyemprotan hama, pengobatan, dan pembangunan perumahan) untuk warga bantaran Kali Angke dan membutuhkan dukungan dari banyak relawan. Semakin dalam terlibat, langkah Adi semakin mantap untuk bersumbangsih di Tzu Chi. “Saya merasa lewat yayasan ini bisa membantu banyak orang,” katanya. Maka meski aktivitas Tzu Chi kemudian cukup banyak menyita waktu pasangan suami-istri ini, mereka melakukannya dengan sukacita. Ini didukung pula bahwa ketiga anak mereka sudah dewasa sementara perusahaan tidak harus dimonitor setiap saat. “Kami memang kalau ikut apa-apa biasanya sama-sama. Maka yang di Tzu Chi ini pun meski saya yang lebih dulu ikut, saya yakin nantinya dia (Adi) juga akan bergabung,” tutur Santi sambil tertawa.
 
Di Lokasi Bencana
Setelah tsunami di Aceh tahun 2004, secara berturut-turut bencana alam terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Sebagai relawan “lapangan”, Adi pun beberapa kali dilibatkan dalam Tim Tanggap Darurat (TTD) bencana Tzu Chi. Sampai pada akhirnya ia diminta menjadi penanggung jawab tim tersebut pada tahun 2007. Tim yang belum lama terbentuk karena kondisi itu masih mencari landasan yang mantap dan Adi memilih jalur diskusi dengan beberapa “tim inti” seperti Hong Tjhin, Athiam (Agus Johan), dan Abdul Muis untuk mengambil keputusan.
 
“Saya usahakan selalu standby. Di mana ada bencana, bila saya ada di Indonesia maka akan saya tinggalkan semua kerjaan untuk berangkat ke sana,” demikian tekad Adi saat itu. Sejumlah dokumentasi kejadian bencana seperti gempa Bengkulu, gempa Tasikmalaya, gempa Padang, tanah longsor di Karanganyar-Jateng, hingga letusan Gunung Merapi-Jateng selalu merekam kehadiran Adi dan Tim Tanggap Darurat Tzu Chi di lokasi bencana. “Dulu waktu pegang TTD, saya liat kalau setelah ada bencana, dia bisa telepon semalaman untuk koordinasi,” cerita Santi yang selalu berpesan agar Adi berhati-hati saat pergi ke lokasi bencana. Dalam saat-saat kritis itu, Adi mengatur segala hal seperti logistik barang bantuan, pendataan relawan umum dan medis, juga transportasi menuju lokasi.

Kesempatan “istimewa” untuk melihat kondisi para korban serta berinteraksi dengan mereka tersebut membuat Adi dapat menyelami makna perkataan Master Cheng Yen, “Di tengah penderitaan, membina welas asih.” Ia hanya berharap agar para korban bencana dapat tertolong sesuai kebutuhan mereka dengan menerima bantuan dari Tzu Chi. “Dengan menolong orang, hati kita jadi lebih enak dan tenang,” katanya. Kejadian yang meninggalkan kesan cukup dalam bagi Adi adalah kondisi korban awan panas Merapi pada bulan Oktober 2010 lalu, dimana ia melihat langsung penderitaan warga yang mengalami luka bakar di seluruh tubuh mereka.
 
Maka di samping memberi barang bantuan, Adi juga selalu menyempatkan untuk menghibur dan mendengarkan cerita para korban. “Sesungguhnya tanggap darurat Tzu Chi bukan di first line, tapi lebih di second line. Kita nggak diharapkan nolong dalam kondisi masih bahaya,” terangnya. Maksudnya bahwa kepergian relawan Tzu Chi ke lokasi bencana terutama untuk memberikan bantuan bagi para korban yang mengungsi serta memberi ketenteraman hati pada mereka.
 
Berpengertian dan Bertoleransi
Adi mengakui bahwa selama ini ia jarang pulang ke Singkawang, kota kelahirannya. Namun demikian ia tetap mencintai kota itu. Tahun 2003, ketika Tzu Chi akan membagikan beras cinta kasih di seluruh Indonesia, Adi pun coba membuka lahan kebajikan tersebut di Singkawang. Berawal dari beras, relawan Tzu Chi di Singkawang mulai tumbuh hingga diresmikan sebagai kantor penghubung pada 31 Oktober 2010 lalu. Justru sejak mendukung kehadiran Tzu Chi di Singkawang, Adi jadi sering pulang. “Di Singkawang banyak orang yang hidup susah, perlu bantuan. Sementara potensi tumbuhnya relawan juga bagus. Maka saya harap Tzu Chi Singkawang bisa lebih berkembang,” ujar Adi.

Selama 9 tahun keterlibatannya di Tzu Chi membuat Adi semakin matang menghadapi berbagai kesulitan. Kondisi di lapangan yang ditemuinya belum tentu dapat sesuai dengan rencana dan harapan. Dalam menghadapi segala kesulitan ini, Adi berpedoman pada 4 huruf “San Jie Bao Rong” yang berarti berpengertian dan bertoleransi. Tuntunan keempat huruf tersebut membuatnya mantap menerima segala kondisi dengan lapang dada. Dalam pengamatan Santi, Adi perlahan-lahan berubah semakin positif, “Sekarang jadi lebih sabar dan pengertian. Kami berdua sama-sama banyak belajar.” Dengan batang usianya yang semakin tinggi, belum lagi saatnya bagi Adi untuk bersantai, “Saya orangnya suka aktif. Sekarang setelah serahkan usaha pada anak, waktu saya malah lebih bebas untuk Tzu Chi.”

Seperti dituturkan kepada Ivana
Foto: Anand Yahya 
 
 
 
 
 
Orang yang memahami cinta kasih dan rasa syukur akan memiliki hubungan terbaik dengan sesamanya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -