Agus Johan
Setiap Detik Berjuang Tanpa Henti Demi kebajikan
Bagi Agus Johan, atau yang akrab dipanggil Athiam ini, berbuat kebajikan merupakan sebuah pengamalan dari ajaran Buddha yang dianutnya. Setiap ada kesempatan, waktu, dan tenaga untuk menebar cinta kasih tak pernah sekalipun ditampiknya. Bahkan ketika harus pergi ke pulau di Ujung Sumatera (Aceh) yang terkena bencana tsunami pada akhir Desember 2004.
Perkenalannya dengan Tzu Chi bermula saat seorang temannya, sekembalinya dari Taiwan membawakannya majalah dan brosur Tzu Chi. Waktu itu pria ini masih tinggal di Kaliwungu, 8 km dari Kota Semarang. “Waktu itu teman bilang kalo ada Bhiksuni yang mau bikin rumah sakit,” kenangnya. Maka, mulailah Athiam berdonasi untuk Tzu Chi. Tahun 1996, ia kembali ke Jakarta dan mendengar informasi kalau Tzu Chi sudah ada di Indonesia.
Bermarkas di Kelapa Gading, Athiam mulai aktif berkegiatan di Tzu Chi. Kegiatan pertama yang diikutinya adalah baksos kesehatan di Pademangan, Jakarta Utara. “Waktu itu baksos gigi dan mata masih gabung jadi satu,” katanya. Meskipun baru bergabung, namun ia diserahi tanggungjawab yang cukup besar di bagian logistik.
Orang Baik Dulu, Baru Berbuat Baik
Pria kelahiran Pematang Siantar, 21 Juli 1952 ini sejak kecil sudah belajar ajaran agama Buddha. Tak hanya itu, pada usia 20 tahun ia tinggal selama setahun lebih di Vihara di Kota Semarang untuk lebih mendalami sutera-sutera. Berbekal ilmu dan sutera-sutera yang ia pelajari, Athiam pun mencoba menerapkan apa yang sudah dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin memang sudah jodohnya dengan Tzu Chi, maka akhirnya ia pun menerapkan apa yang sudah dipelajarinya sejak dulu dalam kehidupan nyata melalui Tzu Chi.
Baginya, belajar dan membaca itu sifatnya hanya teoritis saja. Semua orang pasti bisa melakukannya. Tapi prakteknya? Belum tentu semua orang bisa dan mau melaksanakannya. Pelatihan diri itu sangat penting baginya, dengan bergabung di Tzu Chi, maka jalan untuk menanam kebajikan menjadi semakin terbuka lebar. “Berbuat baik itu paling dijunjung tinggi dalam ajaran Buddha,” ujarnya mantap. Itulah yang membuatnya merasa nyaman dan enjoy ikut dalam barisan panjang relawan Tzu Chi.
Pandangan hidupnya juga ikut mempengaruhi mengapa hingga kini ia masih dan sangat aktif berkegiatan di Tzu Chi. “Jika hidup tidak hanya sekedar untuk hidup saja, maka kita tidak akan bosan. Tetapi kalau pandangan hidup kita bahwa di dunia ini harus mencari kesenangan ini dan itu, maka kita akan mudah bosan. Tolok ukur saya menjadi orang yang bisa berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain.” Demi menolong sesama, ia pun rela mengorbankan waktu, uang, dan tenaganya untuk Tzu Chi. Baginya, membantu sesama itu sudah merupakan panggilan jiwa, yang memang sudah tertanam di dalam dirinya sejak kecil. Namun, setiap manusia bisa berbuat kebajikan, karena di dalam diri setiap manusia sebenarnya tertanam benih-benih kebajikan di hatinya, tinggal bagaimana lingkungan dan manusia itu sendiri membentuk dan membangkitkan rasa cinta kasih di dalam dirinya.
“Ada orang yang merasa sedih jika melihat penderitaan orang lain, tapi ada juga yang biasa saja,” katanya. Itu semua tumbuh dalam diri seseorang, selain karena memang sudah bawaan lahir, juga karena keluarga dan lingkungan sekitar yang membentuknya. Seorang bijak pernah mengatakan,”Tanamlah pikiran, maka kita akan menuai perbuatan. Tanamlah perbuatan, maka kita akan menuai kebiasaan, dan tanamlah kebiasaan, maka kita akan menuai karakter”.
Jadi betapa peranan keluarga dan lingkungan sangat besar dalam membentuk pribadi manusia. Jika kita berkumpul dan bergaul dengan orang-orang baik, maka kita pun akan menuai kebaikan. Tapi jika kita berkumpul dengan lingkungan yang buruk, maka perkataan, sikap, dan perbuatan kita pun akan buruk pula.
Membuat Relawan Baru Happy
Selama hampir 10 tahun lebih mengabdikan diri pada kemanusiaan, banyak pengalaman-pengalaman berharga yang didapatnya. Bisa mengajak banyak orang untuk berbuat baik, itu membawa kesenangan lahir dan batin. “Apalagi kalau relawan-relawan baru yang kita ajak itu merasa happy dan mau ikut kegiatan Tzu Chi lagi, wah…! Itu benar-benar membuat saya seneng banget,” ujarnya. Meski tak semua relawan baru yang menyatakan kesanggupannya untuk ikut kegiatan sosial Tzu Chi belum bisa memenuhi janjinya, tapi ungkapan seperti itu terasa sejuk di hatinya. Terlebih jika relawan baru itu bisa benar-benar hadir pada kegiatan besoknya, itu membuat hatinya merasa bahagia karena bisa mengajak orang untuk berbuat baik.
Tapi ia pun mahfum jika relawan-relawan baru belum bisa aktif sepenuhnya di Tzu Chi. “Mereka juga butuh waktu untuk mengurus keluarga dan usahanya, itu nggak bisa dipungkiri,” ungkapnya. Keseimbangan itu memang penting. Di satu sisi manusia perlu untuk mengejar urusan duniawi dan sisi lainnya, manusia juga butuh berbuat kebajikan. Semuanya saling melengkapi dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Sementara untuk membuat relawan baru betah bergabung di Tzu Chi, Athiam punya tip tersendiri. “Buatlah relawan baru merasa enjoy ikut kegiatan Tzu Chi. Caranya, kita harus tanya minat dia di kegiatan apa? Misalnya baksos, ya ditaruh di baksos,” ujarnya. “Setiap orang kan hobby nya beda-beda. Jangan orang nggak senang nyanyi, disuruh nyanyi, pasti dia nggak betah!” lanjutnya.
Hal ini pernah dialami oleh dirinya sendiri. “Kalau ditempatkan dalam tugas formal, saya paling malas. Tapi rasa malas itu muncul karena kemampuan yang kurang memadai atau memang bukan tempat saya di situ. Tapi kalau disuruh, besok ada baksos, tolong kamu siapkan! Itu langsung bisa jalan,” akunya jujur. Sejak awal, ia memang lebih banyak berkecimpung dalam bidang logistik. Mempersiapkan sebuah kegiatan bakti sosial agar bisa berjalan tertib, lancar, dan tepat waktu memang bukan perkara mudah. Dibutuhkan sarana dan prasarana yang lengkap dan cukup sehingga saat hari-H nya, semua bisa berjalan sesuai rencana. Dan yang terpenting, bisa memuaskan semua pihak, baik pasien, dokter, dan juga relawan. “Sampai jaga malam pun pernah untuk nungguin alat-alat itu,” ungkapnya.
Beras Hanya Perantara Saja
Bencana tsunami di Aceh pada akhir Desember 2005, telah merenggut ratusan ribu nyawa dan meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang dikenal dengan julukan “Kota Serambi Mekkah”. Relawan Buddha Tzu Chi dengan cepat langsung turun ke lapangan dan melakukan survei untuk menentukan langkah selanjutnya. “Jika relawan bisa datang lebih cepat sehari, maka nyawa-nyawa para korban pun bisa lebih cepat sehari ditolong,” kata Master dalam pesannya. Prinsip ini yang membuat relawan Tzu Chi sudah hadir di Aceh, dua hari pasca tsunami.
Bertanggungjawab di bidang logistik, Athiam seolah menjadi pengendali penyaluran bantuan di Aceh. Ia mesti rajin memasang mata dan telinganya, mengingat situasi Aceh yang pada waktu itu situasi keamanannya masih belum kondusif (ancaman GAM).
“Di sini aman, di sana nggak aman. Kirim yang aman dulu,” katanya. Ditambah komunikasi yang terputus total membuat koordinasi antar relawan menjadi sulit. Itulah mengapa dalam setiap pengiriman bantuan, relawan berkoordinasi dengan tentara. “Gimana lagi? Bensin nggak ada, listrik nggak ada, terus komunikasi terputus,” jawabnya. Meski baru datang 4 hari setelah tsunami, namun sisa-sisa kehancuran masih kental membayangi, terutama ketika memasuki Banda Aceh. “Bangkainya masih bau, kok!” ujarnya.
Mengupayakan agar bantuan Tzu Chi bisa tepat sasaran memang menjadi prioritasnya. Namun, karena situasi di Aceh yang memang sangat darurat, maka prosedur pemberian bantuan tidak dilakukan seperti biasanya. “Tidak ada pembagian kupon. Pokoknya siapa yang butuh barang, langsung angkut,” katanya. Saat situasi bencana, kecepatan memang menjadi kunci utama dalam penyelamatan. “Kita bantu mereka dulu. Kalau butuh beras kita kasih beras, jangan karena takut bantuan tidak tepat sasaran, kita jadi tidak membantu orang lain,” tegasnya. “Pertama kita selamatkan dulu, setelah itu baru berpikir untuk bisa memulihkan kehidupannya. Karena kalau nggak ditangani dulu, orang lapar mana bisa mikir lagi untuk memulihkan kehidupannya,” sambungnya. “Kita kasih beras hanya sebagai perantara saja. Tujuan akhirnya mendidik dan membina mereka supaya bisa memulihkan kehidupan mereka dalam jangka panjang.” Bahkan tak jarang karena ketulusan dan ketepatan Tzu Chi memberi bantuan, banyak di antara mereka yang dulunya menjadi penerima bantuan Tzu Chi, kini bahkan bisa bergabung dalam barisan relawan Tzu Chi.
Tzu Chi Memang Beda
Datang paling awal, dan pulang paling akhir menjadi semboyan relawan Tzu Chi di daerah bencana. Bantuan yang diberikan pun tidak hanya sekedar bantuan yang sifatnya sekali habis pakai (bahan makanan), namun juga memberi alternatif lain setelahnya. Memulihkan kehidupan korban tsunami di Aceh dengan menyediakan tempat tinggal. Selama masa pembangunan didirikan tempat tinggal sementara (tenda) sampai selesainya bangunan perumahan untuk korban. Membangun tenda dan memasak dalam jumlah besar memang bukan perkara mudah, sementara jumlah relawan Tzu Chi yang diterjunkan tidak memadai. “Itulah bedanya Tzu Chi! Kita bisa kerahkan mahasiswa, relawan-relawan, dan juga penduduk setempat,” ujarnya bangga. Seperti diketahui, setelah bencana tsunami, banyak mahasiswa-mahasiswa dan relawan-relawan yang berdatangan ke Aceh. Namun tidak semuanya memiliki sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai untuk bisa berbuat sesuatu meringankan derita korban. Bahkan banyak diantaranya yang tidak tahu mau kemana dan tinggal di mana. “Akhirnya kita tawarkan, mau gabung ke Tzu Chi nggak? Mau, maka mereka pun ikut gabung dengan kita. Tzu Chi memberikan mereka fasilitas makan dan penginapan,” sambungnya. Itulah mengapa begitu banyak hal yang bisa dilakukan Tzu Chi di Aceh, karena relawan Tzu Chi tidak hanya sekadar memberi bantuan, tapi juga merangkul berbagai pihak dan melibatkan relawan setempat, bahkan korban bencana sekalipun untuk bekerjasama.
Latar Belakang Keluarga
Anak kelima dari 9 bersaudara ini, 6 laki-laki dan 3 perempuan, sejak usia 6 tahun sudah ditinggal pergi ibunda tercintanya. Di bawah Athiam, masih ada 4 lagi adiknya yang masih kecil-kecil. “Saya yang jaga adik-adik,” katanya. Sebagai anak di tengah-tengah, maka mau tidak mau urusan rumah dan adik-adik menjadi tanggungjawabnya. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan untuk mengurus keluarga, sementara kakak-kakaknya yang lain sudah sibuk bekerja.
Penghasilan ayahnya sebagai pembuat kerajinan tangan membuat keluarga ini hidup secara sederhana. “Yah, pokoknya cukup untuk makan aja,” ujarnya sembari tersenyum.
Penghasilan ayahnya sebagai pembuat kerajinan tangan membuat keluarga ini hidup secara sederhana. “Yah, pokoknya cukup untuk makan aja,” ujarnya sembari tersenyum.
Bersekolah di Hokiau, Medan, Athiam sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 3 SMP. Meski berkeinginan melanjutkan hingga ke jenjang yang lebih tinggi, namun itu tak sempat diraihnya lantaran kejadian pemberontakan G 30 S/PKI pada tahun 1965. “Pas mau ambil raport, sekolahnya dah tutup. Nggak ada lagi!”
Cobaan hidup kembali dialaminya manakala pada usia 15 tahun, Athiam mesti merelakan kepergian ayahnya. Sebagai kakak yang bertanggungjawab, ia pun mencoba mencari nafkah dengan berdagang guna menopang kebutuhan hidup keluarga. Itu dijalaninya hingga 5 tahun. Setelah merasa adik-adiknya sudah bisa hidup mandiri, maka di usianya yang ke-20, Athiam merantau ke pulau Jawa. Kota pertama yang disinggahinya adalah Kota Semarang, tepatnya di Kaliwunggu.
Gejolak jiwa muda membuat semangatnya untuk melihat dunia luar begitu besar. “Berani aja! Kadang diajak teman, kadang justru ngajak teman merantau kemana-mana,” katanya. Selama itu ia menjalani kehidupan berpindah-pindah, dari kota satu ke kota lainnya. Pada usia 25 tahun, ia sampai di Kota Pekalongan yang masih di provinsi Jawa Tengah juga. Di sini ia mencari nafkah dengan cara membuat kerupuk dan juga keterampilan yang diturunkan dari ayahnya, membuat kerajinan tangan. “Biar bisa berkembanglah…! Lagipula adik-adik juga sudah bisa ditinggal dan mandiri,” jawabnya ketika ditanya alasannya nekad meninggalkan kampung halamannya di Pematang Siantar, sebelum akhirnya menetap di Jakarta hingga sekarang.
Menempati rumah yang sekaligus tempat usahanya, pria ini menjalani kehidupan apa adanya. “Dulu bisnis kabel komputer, tapi berhubung sekarang banyak produk dari RRC yang masuk kesini dengan harga murah, maka sulit sekarang!” keluhnya. Pengaruh positif dari keaktifannya di Tzu Chi, kini seiring dengan bertambahnya usia, maka pandangan hidup juga berubah. “Dulu, nyari duit itu harus diutamakan, tapi sekarang, nyari duit memang penting, tapi berbuat kebajikan juga perlu,” sambungnya.
Master Sayang Sama Dokter-dokter
Tahun 1998, Athiam berkesempatan berkunjung ke Hualian, Taiwan. Waktu itu ia sudah bergabung dengan Tzu Chi, tapi belum mengambil tugas secara khusus. “Masih serabutanlah,” kelakarnya. Kesempatannya sendiri terjadi secara tak disengaja. Kala itu temannya yang bernama Johan memintanya untuk menemani dokter bertemu dengan Master Cheng Yen. Keluarga dari dokter itu tidak ada yang bisa ikut mendampingi. “Makanya saya bisa ikut. Sekaligus untuk translate bahasa Mandarin ke Taiwan,” katanya senang. Meski tidak satu meja, tapi di sana ia bisa melihat langsung sosok Master Cheng Yen yang sangat dikaguminya. “Master sangat sayang sama dokter-dokter,” kata Athiam. “Jika kita membantu orang, paling hanya dari segi materinya saja, tetapi para dokter bisa memulihkan kondisi fisik dan mental pasiennya,” jawab Athiam ketika ditanyakan alasan mengapa para dokter begitu mendapat tempat di hati Master Cheng Yen.
“Master Cheng Yen melakukan dua hal sekaligus, menyatukan antara teori dengan praktek,” pujinya. Prinsip tidak bekerja satu hari, maka tidak bisa makan itu merupakan sebuah cara yang benar menurutnya. Apalagi apa yang dilakukan Master Cheng Yen, seperti membuat lilin bisa ditiru oleh keluarga-keluarga lain.
Ada satu kata perenungan Master Cheng Yen yang sangat mengena di hatinya. “Jangan ambil kesalahan orang, akan sangat menyiksa diri kita sendiri,” ucapnya. Makna kata perenungan itu sendiri adalah bahwa kita harus bisa memaafkan orang lain. “Kalau ada orang yang nyerobot jalan kita waktu macet, terus kita maki-maki, itu artinya kita ambil kesalahan orang itu dan menginjak batin kita sendiri,” katanya.
“Berbuat kebajikan, membutuhkan perjuangan,” tegasnya di akhir perbincangan. Bukannya mengeluh, tapi dari berbagai pengalaman yang didapatnya, ternyata memberi bantuan tidak hanya sekedar memberi, tapi haruslah butuh perencanaan matang, tepat waktu, dan sasaran, mengerti kebutuhan para korban serta maksimal dalam melayani penerima bantuan. Inilah pengalaman berharga yang didapatnya setelah bergabung selama hampir 10 tahun di Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, yang secara perlahan-lahan membawa dirinya menjadi lebih dapat mengendalikan emosi dan menyuburkan benih-benih kebajikan tumbuh di batinnya.
Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Dok. Tzu Chi
Foto: Dok. Tzu Chi