Alex Salim dan Ng Siu Tju: Relawan Tzu Chi Jakarta
Memberi dengan Sukarela Menerima dengan Sukacita


Apa yang paling membuat Anda merasa berbahagia? Semua orang tentu punya jawaban masing-masing. Tapi bagi Alex Salim dan sang istri, Ng Siu Tju, yang paling membahagiakan dalam hidup adalah ketika bisa berbagi cinta kasih dengan tulus. Hanya dengan bersumbangsih, hidup terasa bermanfaat

*****

Alex Salim dan sang istri Ng Siu Tju selalu berupaya memberi perhatian jangka panjang pada para penerima bantuan Tzu Chi yang mereka dampingi. Saat masih menetap di Kota Medan, ada beberapa nama, sebut saja Sukantongah yang akrab dipanggil Acek, seorang kakek yang tinggal di rumah penuh sampah. Ia didampingi kurang lebih tiga tahun. Juga Halima yang menderita luka bakar di sekujur badan yang mereka dampingi selama setahun.

“Meski kami sudah pindah ke Jakarta, kalau pulang ke Medan, kami pasti kunjungi mereka kalau ada waktu, misal kalau pulangnya satu minggu,” kata Ng Siu Tju. Sejak tiga tahun terakhir, keduanya pindah ke Kota Jakarta.

Bagi Alex dan Ng Siu Tju, memberi perhatian dalam waktu yang lama merupakan hal penting supaya penerima bantuan dapat merasakan sendiri bahwa cinta kasih itu tak ada habisnya. Dengan demikian dapat mengilhami mereka untuk juga bisa berbagi cinta kasih kepada orang lain.

Terakhir di Tzu Chi Medan, Alex mendapat tanggung jawab menjadi Wakil Ketua Tim Tanggap Darurat Tzu Chi Medan. Sementara Ng Siu Tju sebagai Ketua Xie Li Selatan 1.

Saat Gunung Sinabung di Tanah Karo erupsi, hampir sebulan sekali Alex dan Ng Siu Tju bersama relawan tim tanggap darurat lainnya pergi ke posko pengungsian.

“Titik pengungsian itu banyak, sekitar 40-an. Jadi kami pekan ini pergi kira-kira empat atau lima titik untuk survei apa yang mereka butuh. Kami pulang, lalu beberapa pekan depannya kami bawa barang yang mereka perlukan,” kata Alex.

Pulang pergi Kota Medan-Tanah Karo untuk memberi perhatian pada para pengungsi Gunung Sinabung ini berlangsung hampir tiga tahun lamanya. Sampai akhirnya pemerintah menetapkan satu lokasi untuk dibangun perumahan bagi warga terdampak bencana. Mereka yang sebelumnya tinggal di posko pengungsi akhirnya pindah ke tempat yang lebih nyaman.

Pendekatan yang Istimewa
Selain memberi perhatian dalam waktu yang lama, keduanya juga sangat memperhatikan pendekatan yang mereka gunakan sesuai kondisi masing-masing penerima bantuan.

“Bu Halima yang cerai dari suaminya, itu saat guan huai (memberi perhatian) kami harus benar-benar sayang sama dia karena dia sedang tertekan,” kata Ng Siu Tju mencontohkan.

Menghadapi Andy, anak Acek yang sudah tak punya ibu, beda lagi pendekatannya.

“Dia kan kehilangan ibu, maka kami harus seperti orang tuanya yang menyayangi anakanak itu. Jadi saat kami sayang sama anaknya, Acek ini jadi senang. Kalau Imlek tak lupa kami bagi angpau dan belikan baju,” kata Ng Siu Tju.

Kelembutan dan ketulusan memang menjadi kekuatan Ng Siu Tju dan Alex kala bersumbangsih. Tak heran dimanapun berada, orang-orang selalu merasa dekat dengan keduanya. Bahkan berkat pertemanan Ng Siu Tju dengan warga korban gempa dan likuefaksi Palu, kini sudah ada bibit-bibit relawan di Palu, seperti Suudiah Ramli, Umi Atiah, dan Endah Retno.

“Kita ke tempat bencana itu bukan cuma bersumbangsih, harus benar-benar pakai hati. Kalau kita tulus, menyayangi mereka, mereka pasti merasakan juga. Sekarang sudah ada tiga, mudah-mudahan berkembang lagi bibit-bibit baru di Palu,” kata Ng Siu Tju.

Mengenal Tzu Chi

Alex dan Ng Siu Tju berbincang dengan warga di hunian sementara di Palu, Sulawesi Tengah. Pasangan suami-istri ini kompak mengikuti berbagai kegiatan Tzu Chi di berbagai misi dan wilayah-wilayah di Indonesia.

Pasangan suami-istri ini mengenal Tzu Chi dari rekan kerja Alex, Juliana yang adalah relawan Tzu Chi Medan. Awalnya Juliana mengajak mereka menjadi donatur Tzu Chi. Setahun menjadi donatur, pada 2003, Juliana mengajak keduanya ikut sosialisasi Tzu Chi. Alex dan Ng Siu Tju langsung mengiyakan karena mereka memang sudah tertarik dengan Tzu Chi.

“Saya tertarik karena Tzu Chi universal, tidak membeda-bedakan suku, bangsa, agama. Siapapun yang perlu dibantu, ya dibantu,” kata pria kelahiran Padang, 29 Juli 1951 ini. Tak lama, keduanya pun menjadi relawan Tzu Chi.

Selama menjadi relawan, Alex tetap menjalankan pekerjaannya sebagai financial consultant yang mengharuskannya sering keluar kota. Namun setiap kali balik ke Medan, ia selalu mengikuti kegiatan Tzu Chi yang memang lebih banyak di hari Sabtu dan Minggu.

Beruntung Alex dan Ng Siu Tju memiliki pandangan dan semangat yang seratus persen sama dalam menjalankan kegiatan Tzu Chi.

“Kalau suami-istri menjalankan kegiatan Tzu Chi itu boleh dikatakan halangannya sudah berkurang dibanding kalau suami relawan, istri enggak. Kadang pulang terlambat atau keluar kota pasti terjadi pertengkaran atau kurang cocok. Ini kami berdua tidak ada masalah ke manapun juga. Anak-anak juga dukung,” ujarnya. Pada tahun 2016, keduanya pun dilantik menjadi relawan Komite Tzu Chi.

Bervegetaris Sekeluarga

Pola hidup vegetarian telah mendarah daging di keluarga Alex dan Ng Siu Tju. Ng Siu Tju bahkan sudah bervege selama 33 tahun mengikuti almarhumah ibunya. Hal yang sama, anak pertama dan anak ketiga Ng Siu Tju pun ikut mamanya bervegetaris sejak mereka kecil.

Ada cerita lucu saat Teddy, anak pertama Alex dan Ng Siu Tju mulai mengikuti sang mama bervegetaris di usia tujuh tahun. Alex yang saat itu belum bervege meminta Teddy agar tak perlu bervegetaris dulu.

“Saya bilang jangan, karena kamu masih kecil, perlu gizi untuk masa pertumbuhan. Kalau kurang gizi, nanti IQ (kecerdasan-red) nya bisa kurang. Tapi dia bekeras. Karena berkeras, akhirnya saya menyerah,” kenang Alex.

Tapi toh waktu membuktikan, Teddy tumbuh dengan segudang prestasi. Teddy selalu juara dan mendapatkan tawaran beasiswa, bahkan meraih gelar PhD alias Doctor of Philosophy di usia 26 tahun. Teddy kini menjadi seorang peneliti dan tinggal di Singapura.

“Jadi vegetarian itu tidak menyebabkan kurang gizi, malah terbukti anak-anak kami dari kecil vegetarian dan pintar. Membuktikan bahwa vegetarian bukan IQ bisa rendah, malah lebih bagus. Teddy juga pernah wakili Indonesia di olimpiade kimia,” tambah Alex.

“Kami bervegetaris karena semua makhluk hidup setara dan juga memupuk kewelasasihan kita. Selain itu jika ada wabah penyakit pada hewan, dan kita salah makan, tentu saja akan berdampak buruk pada kesehatan tubuh kita. Dengan bervegetaris, kita ikut menyelamatkan bumi yang kita cintai dari ancaman pemanasan global. Karena peternakan menghasilkan gas metana, salah satu penyebab meningkatnya pemanasan global. Dari itu bervegetarian adalah upaya untuk menjaga kesehatan jasmani dan memurnikan batin kita,” tutur Ng Siu Tju.

Tak hanya membuat kedua orang tuanya bahagia dengan tumbuh menjadi anak yang berprestasi, ketiga anak Alex dan Ng Siu Tju juga menjadi anak yang berbakti dan sangat penyayang. Tambah membahagiakan lagi, kedua anak mereka, yakni Benny dan Jessica juga sudah menjadi relawan Tzu Chi.

“Kami bersumbangsih di Tzu Chi, kami juga harus wariskan ke anak. Jangan berhenti di orang tuanya. Seperti kata Master Cheng Yen, wariskan cinta kasih dari generasi ke generasi. Jadi warisan Tzu Chi bisa lebih panjang,” kata Ng Siu Tju.

Menyiapkan Diri Menjadi Relawan Rumah Sakit


Tak hanya berdua, Alex dan Ng Siu Tju juga mewariskan ajaran cinta kasih dan visi misi Tzu Chi kepada keluarga, terutama kepada kedua anak mereka, Benny dan Jessica.

Sejak tiga tahun terakhir, karena anak bungsu mereka melanjutkan pendidikan S2 di Jakarta, Alex dan Ng Siu Tju pun memutuskan pindah ke Jakarta sambil terus bersumbangsih di Tzu Chi. Apalagi Tzu Chi Hospital akan rampung, sehingga keduanya bisa bersumbangsih dengan menjadi relawan pemerhati rumah sakit.

“Sejak lama kami sudah bertekad mau jadi relawan rumah sakit. Master pernah sampaikan bahwa orang sakit itu bukan fisik saja, tapi batin. Mungkin fisik sekitar 30-40 persen, tapi batin 60- 70 persen. Kalau fisik kita serahkan ke dokter, makan obat atau operasi bisa sembuh, tapi kalau batin itu perlu kita tenangkan mereka. Kalau tidak, mereka tetap risau,” kata Alex.

Begitulah tekad pasangan suami-istri ini untuk giat bersumbangsih. Apalagi keduanya sekarang ini bisa dibilang sudah pensiun kerja. Karena itu hampir setiap pagi mereka mengikuti Xun Fa Xiang (mendengarkan Dharma yang disampaikan Master Cheng Yen melalui ceramah Subuh).

“Kami selalu ingat Master Cheng Yen mengatakan bahwa hidup tidak kekal, hanya sebatas tarikan nafas, hembus. Begitu stop tarik nafas, berarti berakhir. Jadi gunakanlah waktu kita yang ada sebaik-baiknya. Untuk siapa? untuk masyarakat banyak,” kata Ng Siu Tju.

“Kalau kita mau benar-benar bersumbangsih di masyarakat dengan tulus, dengan cinta kasih, pasti hidup kita ini sangat bahagia. Tidak ada yang lebih bahagia dari ini. Kita bersumbangsih dengan tulus, tanpa pamrih, itu yang paling membuat kita bahagia. Ikhlas memberi dengan sukacita berarti mau menyumbangkan tenaga dengan perasaan gembira,” pungkas Ng Siu Tju.

Penulis: Khusnul Khotimah

Lebih mudah sadar dari kesalahan yang besar; sangat sulit menghilangkan kebiasaan kecil yang buruk.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -