Amelia Devina: Relawan Tzu Chi Jakarta
Ketika Murid Siap, Guru Datang
Awal mula saya mengenal Tzu Chi karena diajak oleh seorang relawan Tzu Chi (Eriki Tomilawati Shigu) di tahun 1999. Beliau adalah sahabat keluarga, satu kampung dengan kedua orangtua saya, Bangka. Kebetulan anaknya juga teman sepermainan saya. Saat itu, Shigu Eriki menyarankan kepada orangtua saya agar saya diikutkan Summer Camp ke Taiwan mengikuti rombongan Tzu Chi. Kebetulan saat itu liburan sekolah sehingga orangtua saya pun mengizinkan. Saat itulah saya mengenal Tzu Chi dan sosok Master Cheng Yen.
Sepulang dari Taiwan (tiga minggu), orang tua saya mulai aktif sebagai relawan. Ketika ada baksos kesehatan dan pembagian beras, saya dan adik sering diajak untuk membantu. Hal ini berlanjut beberapa tahun, sampai akhirnya karena kesibukan pekerjaan, kedua orangtua saya sempat vakum dari kegiatan Tzu Chi.
Baru pada tahun 2007, bersamaan dengan kembali aktifnya ayah di Tzu Chi dan sekembalinya saya menyelesaikan pendidikan di luar negeri, saya kembali aktif menjadi relawan. Saya memulainya dengan menjadi relawan abu putih dan dilantik menjadi relawan biru putih pada tahun 2008.
Semakin lama berada di Tzu Chi saya semakin banyak belajar, dan saya rasa Tzu Chi sungguh-sungguh telah menyelamatkan hidup saya. Kalau bukan karena Tzu Chi, saya rasa arah hidup saya tidak akan sejelas sekarang dan saya pun mungkin akan menjalani hidup dengan pandangan yang lebih sempit. Jadi, Tzu Chi betul-betul melebarkan cara berpikir dan mengubah perilaku saya.
Meski begitu, pada awalnya saya sulit beradaptasi dengan banyaknya ‘peraturan’, tata krama dan sebagainya. Sebagai anak muda, awalnya saya sangat sebal dengan begitu banyaknya hal yang harus ditaati. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa itu semua ada semata-mata demi kita sendiri juga; sebuah proses pelatihan diri dan juga untuk mencapai sebuah bentuk keindahan kelompok dalam organisasi.
Saat ini saya sudah bervegetarian dan tidak lagi mengonsumsi alkohol. Padahal dulu saya cukup suka makan daging dan setiap kali pergi keluar dengan teman, gemar sekali minum-minuman keras. Sampai suatu hari saya berpikir bahwa kalau memang mau menjadi murid yang baik dan berbakti, kita harus menuruti perkataan Guru (Master Cheng Yen), salah satunya dengan cara menaati sila. Selain itu, saya juga sudah tidak mewarnai rambut. Padahal dulunya saya gemar sekali mengubah-ubah warna rambut. Ketika berpergian, saya memakai aksesoris yang lengkap dan berwarna-warni. Kini penampilan saya jauh lebih sederhana, dan saya rasa begitu lebih baik.
Secara sifat dan perilaku, saya kini menjadi orang yang dapat berpikir ulang dan lebih mawas diri. Kata-kata perenungan Master Cheng Yen seakan menjadi tameng agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan. Selain itu, saya yang tadinya mudah khawatir, mudah panik, dan terlalu banyak berpikir, kini menjalani hidup dengan lebih santai seperti air mengalir. Tetap berusaha keras, tapi tidak ngoyo dan selalu menuntut.
Selain kegiatan-kegiatan kemanusiaan, saya pun aktif di kegiatan bedah buku yang membahas tentang filosofi Tzu Chi dan ajaran Master Cheng Yen. Awal mula saya terlibat dalam kegiatan ini adalah pada Februari 2009, saya diajak ayah yang sudah bergabung di Tim Bedah Buku He Qi Utara. Beberapa kali diajak, akhirnya suatu malam saya ikut juga. Karena pada dasarnya saya suka membaca buku dan menurut saya bedah buku malam itu sangat menarik, maka setelah itu saya pun rajin mengikutinya.
Tidak lama kemudian, saya diajak oleh para Shibo di tim bedah buku untuk menjadi MC. Pertimbangannya adalah karena usia saya yang relatif lebih muda, sehingga kegiatan bedah buku bisa jadi lebih menarik dan dapat mengundang lebih banyak relawan muda untuk hadir. Saat itu, mau tak mau saya pun mengiyakan. Walaupun agak terpaksa karena sudah didaulat, tetapi justru melalui tugas inilah saya kemudian belajar banyak mengenai Tzu Chi dan kehidupan. Boleh dibilang bedah bukulah yang membesarkan saya dan saya betul-betul berhutang budi pada kegiatan ini.
“Ketika Murid Siap, Guru Datang.”
Seperti kebanyakan relawan, saya pun awalnya merasa belum siap menjadi relawan komite. Tanggung jawab sebagai komite sangatlah besar. Dibanding relawan senior lainnya, jam terbang saya pun belum tinggi dan yang saya lakukan belum ada apa-apanya. Namun, di tahun 2011 ketika sedang mengikuti Pelatihan Relawan 4in1 di Taiwan, saya mendapat kesempatan untuk sharing di atas panggung di hadapan Master Cheng Yen. Sebelum sharing, Like Shigu memotivasi saya agar saya berani bertekad untuk menjadi komite. Saya pun mengiyakan. Tidak disangka, tekad yang saya kira baru akan terwujud paling tidak 2-3 tahun ke depan, akhirnya terwujud dalam waktu 1 tahun.
Secara mental, saya rasa yang perlu dipersiapkan untuk menjadi relawan komite adalah kemantapan dan kepasrahan hati. Kemantapan maksudnya adalah dengan semakin mendekatkan diri pada ajaran Master Cheng Yen, dan terus mempraktikkannya. Kepasrahan maksudnya adalah mengikuti kemana aliran jodoh membawa kita. Orang bijak berkata, “Ketika murid siap, Guru datang.” Mungkin memang waktunya telah tiba, maka jodoh yang sudah ada ini harus dipertahankan dan dijaga baik-baik.
Menjadi murid Master Cheng Yen tentu membuat kita harus berani memikul tanggung jawab lebih besar. Buat saya tidak muluk-muluk, dimana berarti kita harus melakukan ajarannya dan menjalankan visi dan misinya. Sebagai seorang relawan komunitas, saya akan bersumbangsih di tempat saya berasal dan memberdayakan kekuatan dari yang kecil dan nampak sederhana. Mulai dari lingkungan kecil, tapi kalau bisa menggerakkan dan menginspirasi banyak orang, tentu akan sangat bagus.
Secara mental, saya rasa yang perlu dipersiapkan untuk menjadi relawan komite adalah kemantapan dan kepasrahan hati. Orang bijak berkata, “Ketika murid siap, Guru datang.” Mungkin memang waktunya telah tiba, maka jodoh yang sudah ada ini harus dipertahankan dan dijaga baik-baik.