Andy Setioharto
Menjalani Hidup yang Penuh Makna

Andy Setioharto

Hakikatnya hidup itu ketika kita bisa membantu orang lain, itu baru merupakan kehidupan yang bermakna. Bukan berapa lamanya kita hidup, tetapi yang terpenting apakah kehidupan yang kita jalani ini bermakna atau tidak.

Sosoknya tenang dan ramah. Senyum juga selalu menghiasi wajahnya. Namun siapa sangka, di balik kelembutannya itu, pria kelahiran Medan, 6 Juni 1962 ini dulu juga sempat “terperangkap” dalam pergaulan malam. Rokok dan minuman keras pernah menjadi sahabat setianya menjelang akhir pekan bersama bos dan rekan-rekan kerjanya. Pekerjaan sebagai marketing di salah satu pabrik di Kota Kembang menuntutnya harus “gaul” demi menemani klien maupun bosnya. “Saat itu minum hanya untuk menenangkan diri, refreshing, nggak sampai mabuk-mabukan,” ungkap Andy Setioharto, yang akrab disapa Andy. Terlebih cuaca di Bumi Parahyangan sangat mendukung: dingin. Asupan alkohol pun bisa menjadi teman penghangat badan.

Selepas tamat dari SMA di tahun 1980, Andy memutuskah hijrah ke Bandung untuk bekerja. Sebelumnya Andy dan keluarga tinggal di Medan, Sumatera Utara. Karena usaha dagang ayahnya tidak berkembang, mereka sekeluarga pun pindah ke Jakarta untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Sempat bekerja di Pasar Pagi, Jakarta, tak lama kemudian Andy memilih merantau ke Bandung. Bisa dibilang di Kota Kembang inilah jiwa Andy muda ditempa. Di usia yang masih 20-an tahun, ia sudah belajar hidup mandiri, jauh dari orang tua dan keluarga. Selain akrab dengan minum-minuman keras, rokok juga menjadi teman setia Andy dalam menjalani hari. “Dulu sehari bisa dua bungkus,” ujarnya tersenyum.

Seiring waktu, semua kebiasaan buruk itu “berakhir’ dengan sendirinya, tatkala ia kembali ke kota kelahirannya, Medan sembilan tahun kemudian. “Karena ada keinginan untuk berhenti merokok. Kalau minum kan memang saya nggak kecanduan. Yang berat itu berhenti merokok. Tapi saya berpikir, kalau nggak merokok toh saya juga nggak apa-apa,” katanya, “cuma memang waktu nyoba berhenti satu dua hari itu terasa berat, terasa puyeng, tapi saya lawan. Sampai akhirnya saya kemudian bisa berhenti merokok.” Di kota kelahirannya ini pula hatinya tertambat pada sosok Lim Eng Nie, wanita yang kemudian dipersunting menjadi istrinya. Menikah tahun 1991, pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang anak: Mona Yunita (24), Anthony Dona Taris (19), dan Taraka Teo (18).

Jika kebiasaan minum-minuman keras itu bisa mudah hilang, tidak begitu dengan merokok. Andy sempat “terjebak” kembali dalam kebiasaan buruk itu. “Sempat berhenti beberapa kali, tetapi ketemu teman akhirnya kambuh lagi,” terangnya terkekeh, “sebenarnya saya merokok itu supaya mudah mendekati teman yang merokok supaya mau berhenti merokok, tetapi malah kebablasan. Teman saya nggak berhenti merokok, justru saya yang kembali merokok.” Semua baru benar-benar bisa dilepaskannya setelah dilantik menjadi Komite Tzu Chi pada tahun 2015. “Momen bertemu dengan Master Cheng Yen itu saya jadikan tekad untuk benar-benar ‘melepas’ kebiasaan buruk itu,” terang Andy.

Andy Setioharto

MEMAKNAI KEHIDUPAN. Hidup menjadi lebih berarti ketika kita bisa saling berbagi: kebahagiaan, materi, tenaga, dan bahkan seulas senyuman. Sebagai relawan Tzu Chi, Andy kerap mengunjungi dan memberikan perhatian kepada para penerima bantuan Tzu Chi.

Keinginan untuk Melayani Sesama

Setelah menikah, Andy dan Lim Eng memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta. Bisnis percetakan digelutinya. Meski tidak terlalu bergeliat, bisnis ini bisa sedikit menopang kebutuhan keluarga kecil mereka. Ditambah bisnis sampingan sebagai pemasok minyak pelumas untuk mesin-mesin pabrik membuat kehidupan Andy dan istri bisa dibilang cukup sejahtera. “Meski tidak terlalu berlebihan, namun berkecukupan,” kata Andy tersenyum.

Sejak dulu memang Andy sangat suka melayani sesama. Berbagai kegiatan sosial pun diikutinya. Tapi, dari berbagai kegiatan yang diikuti, ternyata hanya Tzu Chi yang mampu menawan hatinya. Sejak lebih mengenal Tzu Chi dan sosok Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi, Andy semakin yakin menetapkan langkahnya di jalan Tzu Chi. Tzu Chi mungkin bukan organisasi sosial pertama yang digelutinya, tetapi Tzu Chi telah membuat hatinya tertambat untuk selama-lamanya. “Saya sudah banyak ikut kegiatan-kegiatan sosial, tetapi menurut saya cuma Tzu Chi yang bisa menjangkau semua orang, lintas suku, ras, agama, dan juga golongan,” tegasnya.

Perkenalan Andy dengan Tzu Chi bermula dari sebuah pameran di salah satu mal di Serpong, Tangerang, kebetulan Tzu Chi juga membuka stan di situ. “Saya sangat berterima kasih kepada anak saya, Mona Yunita, sebab dia yang mempertemukan saya dengan Tzu Chi. Waktu itu Tzu Chi mengadakan bazar di dekat sekolah Mona, dan Mona mengajak saya untuk mampir di stan Tzu Chi. Saya juga bertemu dengan Lu Lien Chu, Ketua Tzu Chi Tangerang,” terang Andy yang kemudian meninggalkan nomor telepon genggamnya, sebagai tanda ketertarikannya pada kegiatan Tzu Chi.

Beberapa bulan kemudian, Andy mendapat telepon dari relawan Tzu Chi Tangerang, Melia Ng yang mengajaknya membantu menyiapkan kegiatan donor darah. Tanpa “ba-bi-bu”, ajakan itu pun disambutnya. “Tugas saya waktu itu membantu mempersiapkan meja, kursi, dan tempat tidur lipat untuk para donor,” kenang Andy. Inilah pertama kalinya Andy mengikuti kegiatan Tzu Chi, di kegiatan donor darah di bulan Agustus 2008. Dari sini kekagumannya pada Tzu Chi kian tumbuh. “Waktu donor darah itu saya heran melihat relawan menyiapkan semuanya, mulai dari menata meja, kursi, sampai makanan untuk para donor,” kata Andy, “selain itu, perhatian para relawan kepada donor juga sangat baik dan ramah. Setiap donor didampingi relawan Tzu Chi sambil diajak berbincang hangat. Ini yang membuat saya senang mengikuti kegiatan Tzu Chi.”

Saat mempersiapkan ruangan untuk donor darah, Andy pun harus turun membersihkan lantai, mengangkat meja dan kursi. Padahal hal itu sangat jarang dilakukannya di rumah sendiri. Ia rela melakukannya karena melihat relawan Tzu Chi juga melakukan hal yang sama. Bahkan ia melihat sosok relawan Tzu Chi yang juga seorang pengusaha yang cukup sukses mau mengepel lantai. Hal ini pun memancing keingintahuannya tentang Tzu Chi. “Kalau mereka mau melakukannya, kenapa saya tidak?” gumamnya dalam hati. Di sini ia belajar merendahkan hati. Karena di Tzu Chi setiap orang harus berinteraksi langsung dengan berbagai orang yang berbeda latar belakang.

Mulai dari kenal, melakukan, merasakan, hingga terinspirasi membuat Andy semakin aktif melibatkan diri dan akhirnya tak menampik saat ditunjuk menjadi Ketua Xie Li (komunitas relawan) Tangerang. “Jujur awalnya saya nggak tahu atau ada niat untuk menjadi koordinator relawan. Yang pasti saya dikasih tanggung jawab, kita jalankan saja,” kata Andy setengah tersenyum. Sebagai Ketua Xie Li, Andy bertanggung jawab untuk mengoordinir dan menghubungi para relawan di komunitasnya setiap kali ada kegiatan. “Saya sanggupin aja waktu itu. Nggak mikir nanti sulit atau gimana, pokoknya yang penting jalani saja,” tegas Andy.

Hampir semua kegiatan Tzu Chi dijalaninya, mulai dari pendampingan anak asuh, relawan pelestarian lingkungan, hingga menjadi relawan Tanggap Darurat Tzu Chi.  Dari semua kegiatan yang diikutinya ini juga Andy mendapatkan pelajaran yang berkesan. Mulai dari kegiatan daur ulang, baksos kesehatan, kunjungan kasih ke rumah para penerima bantuan Tzu Chi, hingga memberikan bantuan bagi korban bencana di berbagai wilayah Indonesia, dan bahkan luar negeri: Nepal.

Andy Setioharto

SUKACITA MEMBANTU SESAMA. Di Tzu Chi, Andy menemukan kebahagiaan sejati membantu sesama, tanpa tersekat pada perbedaan suku, ras, maupun agama. Salah satunya adalah saat memberikan bantuan bagi korban banjir di Serang tahun 2013 lalu

Belajar Bersyukur dari Para Pengungsi

Dari berbagai kegiatan Tzu Chi, Andy merasa menjadi bagian dari Tim Tanggap Darurat Tzu Chi merupakan hal yang paling berkesan. “Bisa membantu mereka yang sedang terkena musibah membuat kita bisa ikut merasakan kesulitan yang tengah mereka hadapi,” terangnya.  Menjadi relawan di daerah bencana juga memberikan pengalaman hidup yang berharga bagi Ji Fang (nama Visuddhi Komite Andy), khususnya dalam hal koordinasi pemberian bantuan, baik kepada sesama relawan Tzu Chi, instansi pemerintah, dan tokoh masyarakat setempat.  “Kadang-kadang kondisinya nggak seperti yang biasa kita kerjakan, lebih ekstrem dari kondisi normal. Jadi lebih ada tantangan.” Dalam situasi yang serba “tidak menentu” ini, sebagai relawan Andy dituntut untuk bisa mengimbangi gerak dan beradaptasi terhadap segala perubahan yang bisa terjadi sewaktu-waktu. “Jadi kita harus sesuaikan situasi dan kondisinya. Harus berkoordinasi dengan sesama relawan di lokasi setempat, Pemerintah Daerah, dan TNI. Kondisi darurat ini membuat kita harus siap selalu,” tegasnya.

Mulai dari gempa Padang, bencana letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, longsor di Banjarnegara, gempa di Lombok, banjir di Manado hingga bantuan bagi korban gempa di Nepal, dari semua tempat itu, ada satu kata kunci yang dirasakannya, yakni kesedihan yang dirasakan para korban. Terlebih di berbagai daerah model penanganan bantuannya berbeda-beda, mulai dari distribusi logistik hingga penyerahan bantuan langsung kepada warga. Dan sebagai relawan, Andy harus “pintar-pintar” melebur dengan budaya setempat. Atau ketika ia harus bisa nerimo dengan kondisi penginapan dan makanan yang seadanya. “Ya, kondisi nggak normal jadi serba darurat ya,” ungkapnya. Namun menurutnya hal-hal seperti itulah justru harus membuatnya lebih bersemangat, karena dalam situasi seperti itu banyak orang yang membutuhkan bantuan, sementara di masa awal terjadinya bencana biasanya bantuan masih jarang diterima warga.

Saat membantu para korban gempa di Padang, Sumatera Barat pada tahun 2009.  Andy merasa saat itu masyarakat sangat terpukul. Selain banyak menelan korban jiwa, gempa juga meluluhlantakkan tempat tinggal, gedung pemerintahan, sekolah, dan juga perkantoran. Praktis ekonomi pun menjadi lumpuh. “Kehadiran relawan sangat membantu, terutama di daerah-daerah yang memang belum terjangkau bantuan dari pemerintah,” kata Andy. Setelah membantu di Kota Padang, RS Reksodiwiryo Padang, Tim Medis Tzu Chi kala itu juga menjangkau daerah-daerah yang terputus akses transportasinya akibat jembatan yang runtuh dan tanah longsor. Salah satunya di daerah Malalak dan Agam yang terdampak bencana cukup parah. “Kadang-kadang kita juga melihat ke rumah yang keluarganya menjadi korban meninggal dunia, kita ikut melayat dan memberi uang santuan dukacita. Saya beryukur bisa ikut sedikit meringankan beban korban bencana ini melalui Tzu Chi,” imbuhnya.

Demikian pula saat kejadian letusan Gunung Merapi pada bulan Oktober 2010, Andy merasa terpanggil untuk ikut membantu. “Saya ikut sebagai anggota Tim Tanggap Darurat Merapi kedua yang memberi bantuan di Yogyakarta dan kemudian saya mengajukan diri lagi sebagai tim ketiga, saat itu berkonsentrasi untuk daerah Magelang, Jawa Tengah,” terangnya. Dikoordinir oleh Adi Prasetio, Ketua TDD Tzu Chi (saat itu), relawan dibagi menjadi dua tim: satu survei dan berkoordinasi dengan aparat desa setempat, dan tim satunya fokus dalam penyiapan paket bantuan bersama relawan Tzu Chi yang ada di Magelang. Paket bantuan yang diberikan berupa hygiene pack yang terdiri dari sarung, handuk, sikat gigi, odol, balsem, sabun mandi, dan masker. “Dalam kegiatan itu saya sangat tersentuh oleh beberapa warga pengungsi yang ikut membantu menyiapkan paket bantuan. Di satu sisi saya bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk membantu orang yang dalam kesusahan, di sisi lain saya tersentuh melihat orang yang dalam kesusahan sekalipun masih mau membantu sesama mereka,” terangnya. Selama di lokasi pengungsian, Andy berusaha menghibur para pengungsi dan membuat mereka merasa nyaman. “Bisa ngobrol dengan warga dan mendengarkan keluhan mereka ternyata perhatian kecil ini sudah dapat membuat hati mereka sedikit ringan,” ungkapnya.

Pengalaman menangani penerima bantuan di daerah bencana menjadi bekal bagi Andy kala harus bertugas sebagai relawan di luar negeri. Pascagempa Nepal April 2015, Tim Tanggap Darurat dan bantuan Medis dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia berangkat ke Nepal. Andy dan beberapa relawan lainnya berangkat dalam tahap ke-2 pemberian bantuan, dimana pada tahap ini relawan lebih berfokus untuk memberikan perhatian dan pendampingan, baksos kesehatan, serta program Cash for Work (Solidaritas dan Kerja Bakti). Dengan kata lain jika tahap pertama bantuan berfokus pada penyelamatan (bantuan kesehatan dan makanan), pada gelombang kedua lebih kepada upaya untuk memulihkan kehidupan warga. Menjalankan program kemanusiaan di negeri orang bukanlah hal yang mudah, selain kendala bahasa, relawan juga harus mengetahui latar belakang dan budaya masyarakat setempat. Bukan hanya berkomunikasi dengan warga, komunikasi antar relawan pun memiliki tantangan tersendiri. Pasalnya, saat itu juga ada relawan Tzu Chi dari 6 negara lain (Amerika, India, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Taiwan) yang ikut tergabung. “Kendala utama itu bahasa. Saya nggak bisa bahasa Inggris, sementara bahasa Mandarin juga nggak terlalu bagus,” terang Andy, “tapi ini jadi sebuah pengalaman berharga, kita belajar bagaimana berkoordinasi antar relawan dari negara yang berbeda-beda, dengan karakter dan kebiasaan yang berbeda pula.”

Ada satu hal yang menjadi pelajaran berharga bagi Andy, yakni ia bisa belajar dari relawan Tzu Chi dari berbagai negara yang sudah berpengalaman dalam pemberian bantuan kemanusiaan internasional, seperti Taiwan, Singapura, dan Malaysia. Di Nepal, relawan Indonesia menjadi bagian tim inti bersama-sama relawan Tzu Chi dari negara lain, mulai dari rapat koordinasi, pelaksanaan di lapangan, pembelian barang bantuan, penyimpanan, evaluasi, hingga pelaporan kepada Master Cheng Yen. “Kita banyak belajar dari mereka (relawan Tzu Chi Taiwan -red), mereka lebih berpengalaman dan sangat memahami budaya humanis Tzu Chi sehingga bisa menjadi panutan,” terang Andy. Selama 10 hari di negara yang berpenduduk mayoritas agama Buddha itu Andy merasakan berbagai jenis pekerjaan sebagai relawan di daerah bencana, mulai dari tim survei, memberikan bantuan, pembelian barang bantuan hingga di bagian logistik (mengurusi gudang barang Tzu Chi).

Menjadi relawan Tanggap Darurat menuntut komitmen fisik dan juga waktu. Sebagai Tim Tanggap darurat, relawan harus siap setiap saat, selain juga fisik yang prima. “Jadi saat terjadi bencana kita selalu siap sedia turun ke lapangan. Kita juga harus fleksibel soal waktu, karena saat bertugas di daerah bencana minimal kita harus siap seminggu di sana,” terang Andy. Beruntung, Andy tidak memiliki kendala untuk dua hal ini. Kebetulan, pria kelahiran Medan 54 tahun silam ini memiliki usaha sendiri. Jika Andy mesti pergi keluar kota maka tugas sehari-hari dikelola sang istri.

Bunga-bunga Dalam Pelatihan Diri

Ada yang mengatakan bahwa keluarga adalah keindahan dalam ketidaksempurnaan. Tidak ada gading yang tidak retak, begitu pula dengan keluarga. Jika diibaratkan sebagai keluarga, sesama anggota Tzu Chi pun terkadang ada gesekan dan benturan. Namun ini sesuatu yang wajar, mengingat selain sebagai wadah kegiatan sosial membantu sesama, Tzu Chi juga merupakan tempat untuk melatih diri setiap anggotanya. Hal inilah justru yang menjadi “ciri khas” Tzu Chi dibanding organisasi sosial kemanusiaan lainnya. Sebagai relawan yang juga ingin melatih diri, Andy sadar betul hal itu. Ini membuatnya “kebal” terhadap gesekan maupun benturan di antara sesama relawan. “Kalau terjadi hal itu maka saya kembali kepada ajaran Master Cheng Yen. Saya buka lagi buku-buku Kata Perenungan Master, itu bisa menghibur dan memotivasi kita. Tentunya kita juga harus bisa memotivasi diri sendiri karena kita berhubungan bukan hanya dengan satu atau dua orang, tetapi dengan banyak orang yang memiliki latar belakang berbeda-beda dan status yang berbeda-beda pula,” kata Andy. Prinsip Gan En (Bersyukur), Zhun Zong (Menghormati), Ai (Cinta Kasih) juga menjadi sebuah pedoman bagi Andy dalam berinteraksi dan saling memahami sesama relawan. Perbedaan bukanlah sebuah kelemahan, tetapi jika dikelola dan dipahami dengan baik maka perbedaan justru bisa menjadi kekuatan dan menambah keindahan. “Seperti taman, gesekan-gesekan itu seperti bunga-bunga saja,” tegas Andy, “tidak perlu dibawa ke dalam hati. Intinya harus bisa saling memahami, menghormati, dan memaafkan.”

Jika sebagai relawan Andy bisa dengan mudah menerapkannya, lain halnya ketika ia bertindak sebagai Wakil Ketua Hu Ai Tangerang. Andy memang mengemban tanggung jawab besar dengan menjadi orang nomor dua di Tzu Chi Tangerang, setelah Lu Lien Chu yang merupakan Ketua Tzu Chi Tangerang. Sebagai relawan yang lebih senior, Andy kerap menampung berbagai keluh kesah dari relawan lain, khususnya yang masih baru. Menurutnya, hal ini adalah sesuatu yang wajar, mengingat para relawan baru ini belum banyak mengenal Tzu Chi. “Biasanya kalau ada kepentingan sering berbenturan. Kita semua punya ego masing-masing, tetapi kita minimalkan, kita kurangi ego ini. Dari situ kita bisa lihat kembali apa tujuan kita di Tzu Chi ini apa. Kita ikutin langkah Master Cheng Yen. Kalau kita punya prinsip dan pedoman seperti itu maka kita nggak akan punya banyak masalah,” terang Andy.

Bagi Andy, Master Cheng Yen adalah sosok guru yang ideal dan patut diteladani. “Master Cheng Yen adalah seorang yang sangat lembut dan penuh welas asih. Kita bisa merasakan welas asih beliau di seluruh dunia, dari hal-hal yang dilakukan Tzu Chi di dunia. Kita nggak akan menyesal mengikuti langkah beliau.”  Kelebihan Master Cheng Yen adalah beliau dapat menerapkan ajaran-ajaran Buddha yang dalam itu dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. “Kita bersyukur Master mendirikan Tzu Chi. Ini membuat semua orang bisa berkontribusi, baik dalam bentuk dana, waktu, maupun tenaga,” terang Andy. Hal lain yang menyakinkan Andy untuk mengikuti langkah Master Cheng Yen adalah bahwa Master Cheng Yen membawa setiap relawan membuat dunia lebih baik,  dimana ada orang membutuhkan bantuan, kita akan datangi. “Hakikatnya hidup itu ketika kita bisa membantu orang lain, itu baru hidup ada maknanya. Bukan berapa lamanya kita hidup, tetapi yang terpenting apakah kehidupan yang kita jalani ini bermakna atau tidak,” tegasnya.

 

Penulis: Hadi Pranoto

Fotografer: Arimami SA., Anand Yahya, Dok. Tzu Chi Tangerang

Penyakit dalam diri manusia, 30 persen adalah rasa sakit pada fisiknya, 70 persen lainnya adalah penderitaan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -