Anita
Mengikuti Irama Ajaran Tzu Chi

Saya mengenal Tzu Chi sekitar tahun 2003 melalui kakak saya, Christian Sanda yang merupakan seorang karyawan di yayasan pada waktu itu. Saat itu kakak saya mengajak saya untuk menjadi donatur. Karena untuk kemanusiaan, ya saya bersedia dengan senang hati untuk menjadi donatur Tzu Chi, meski saat itu saya belum mengetahui Yayasan Tzu Chi, apa kerjanya dan apa yang dilakukannya di masyarakat.

Jodoh saya dengan Tzu Chi matang ketika saya berkunjung ke Jakarta dan menginap di tempat kakak saya. Waktu itu kebetulah bertepatan dengan pelatihan Tzu Chi tahun 2003, dari sana kakak saya menawarkan saya untuk mengikuti pelatihan. Dia bilang, “Kamu mau ikut nggak? Tinggal beli seragam sama perlengkapan makan.” Untuk mengisi waktu luang di Jakarta, saya kemudian memutuskan untuk ikut. Dalam mengikuti pelatihan, saya merasakan sesuatu yang berbeda karena pada dasarnya saya merupakan tipe orang yang suka berorganisasi. Di organisasi lain saya tidak pernah menemukan ketulusan seperti apa yang saya lihat dari Tzu Chi. Hanya dengan duduk dan melihat slide-slide yang ditampilkan dalam sebuah power point membuat rasa penasaran timbul dalam diri saya, hingga akhirnya saya bertanya pada salah seorang relawan yang duduk di samping saya. “Shijie.., sebenarnya apa sih yang dikerjakan organisasi (Tzu Chi) ini?” kemudian Shijie di samping saya menjawab, “Ya seperti yang kita lihat di-slide tadi Shijie, ada kegiatan amal, pengobatan, dan budaya humanis.” Saya kemudian kembali mengamati apa yang ditampilkan dalam power point tersebut sambil berpikir, “Yayasan Buddha Tzu Chi ini tidak seperti organisasi lain, organisasi ini adalah organisasi yang sangat menyentuh jiwa manusia. Bukan hanya menolong raga, tetapi dia masuk sampai ke jiwa. Itu luar biasa.” Mulai saat itu juga saya langsung memutuskan: “Ya.., saya mau jadi relawan Tzu Chi!”

Beberapa saat setelah training, ada baksos pembagian beras di Jayapura, Papua. Saya pun langsung ikut andil dalam kegiatan tersebut. Dari sana saya juga baru tahu jika Tzu Chi membantu tidak main-main, sangat menghormati penerima bantuan. Contohnya adalah saat kita ingin menyumbangkan baju bekas layak pakai, pakaian harus dalam kondisi yang baik dan sudah dicuci bersih. Jika ada bagian yang sobek harus dijahit lebih dahulu dan jika kancingnya kurang maka dilengkapi dahulu sebelum dibagikan kepada masyarakat. Ini tidak ada di tempat lain, di mana kita benar-benar diajarkan untuk saling menghargai orang lain, menghargai jiwa mereka.

Lebih Pengertian Kepada Orang Lain

Satu hal lagi yang saya dapat dan saya pelajari dari Tzu Chi adalah bagaimana saya harus mengendalikan amarah. Saya tipikal orang dengan temperamen tinggi. Kalau dulu saya bisa berduel dengan orang lain dan saya nggak sadar kalau saya ini seorang wanita, pokoknya berduel dan saya harus menang. Jadi semuanya saya kerjakan pakai otot. Tapi setelah saya mengenal Tzu Chi, semua itu ternyata bukanlah hal yang utama dan sangat tidak penting, nggak ada manfaatnya dan bisa-bisa malah mendatangkan petaka bagi kita. Setelah saya memetik hikmahnya dari sana, saya kemudian berpikir, “Kenapa saya nggak mengubah bahaya itu menjadi hal yang bisa membuat saya bahagia dengan sedikit kesabaran.” Dulu, saya paling tidak bisa mengalah dengan suami saya. Kalau saya mau jadi diktaktor dalam rumah tangga pun saya mampu. Tapi sekarang saya mencoba lebih bijaksana dan memberikan kesempatan kepada yang lain untuk memberikan pendapat mereka. Kalau dulu saya nggak mau seperti itu.

Dengan pribadi saya yang seperti itu, awalnya memang susah untuk mengubah dan mengolah bagaimana emosi tidak berakhir dengan kemarahan dan memarahi orang. Namun semakin mengenal Tzu Chi, saya semakin belajar dan belajar. Akhirnya saya benar-benar berusaha untuk mengolah emosi dalam diri saya dengan cara mengubah cara berbicara saya. Dulu kata-kata saya saja bisa membuat orang merasa jengkel ataupun kesal, sekarang saya mencoba untuk membuat orang yang mendengar kata-kata saya menjadi bersemangat.

Saya terus melatihnya, misalnya dalam Baksos Kesehatan Tzu Chi, saya berusaha menghibur para pasien. Kita nggak boleh berpikir karena pengobatan ini gratis maka pasien diperlakukan dan dilayani sekadarnya saja, kita harus membuat semua orang senang (pasien dan keluarganya). Apalagi para pasien ini sedang menderita dan salah satu dari organ tubuhnya sakit otomatis akan mempengaruhi kejiwaan. Kemudian kalau kita perhatikan, mereka ini sedang sakit, disuruh duduk, bengong, panas, pasti pikiran mereka terbang ke mana-mana. Nah untuk mengatasi itu, ini merupakan kesempatan saya untuk mengubah kegundahan hati para pasien sehingga mereka merasa lebih nyaman dalam kondisi yang mereka hadapi dengan cara mengajak mereka berbincang-bincang. Tidak jarang saya juga mengajak mereka menyanyi. Karena saya lakukan dengan tulus ikhlas dan dengan niat baik makanya itu tidak menjadi kesulitan untuk saya. Dan akhirnya saya juga kembali belajar dari hal yang saya lihat, bahwa menghadapi apapun bila kita lakukan dengan tulus, rendah hati, dan tidak lupa merekahkan senyum, maka kemarahan sebesar apapun akan bisa teredam dengan sendirinya.

Saya juga memegang teguh prinsip bahwa jangan melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan pujian, karena apabila hanya mengharapkan pujian maka ketulusan kita tidak akan terpancar dalam tindakan. Istilahnya, yang saya lakukan untuk orang lain ini bukanlah satu hal yang saya rasakan, tapi saya mendapatkan hal yang lebih besar dari apa yang orang lain rasakan itu. Misalnya saja saya bertemu dengan 5 orang pasien yang sedang menunggu operasi, dan saya hanya memberikan satu senyuman kepada mereka, namun saya mendapatkan 5 senyuman dari mereka. Apa yang saya rasakan lebih besar dari yang orang lain terima. Saya mendapatkan lebih banyak dari apa yang saya berikan. Itulah salah satu ajaran Master Cheng Yen yang dapat saya pahami dan saya praktikkan.

Membina Tzu Chi Jayapura

Setelah menekuni Tzu Chi, saya kembali memandang kampung halaman saya, Jayapura. Ada keinginan kuat untuk membuat Tzu Chi Jayapura aktif seperti Tzu Chi di kota-kota lainnya di Indonesia. Saya melihat seperti Tzu Chi Medan yang sudah sangat aktif sehingga bisa membuat DAAI TV mengudara di sana. Tapi memang Jayapura ini sulit, kebanyakan pendatang dan keturunan yang bersedia bergabung hanya satu-dua orang saja karena kebanyakan dari mereka sudah terbiasa untuk kasih mentahnya (uang) saja. Sedangkan di Tzu Chi bukan seperti itu, di Tzu Chi konsepnya adalah Anda menikmati apa yang Anda berikan, jadi ada sentuhan. Kamu bisa bersyukur karena kamu merasakan. Dari sini saya mencoba berpikir bagaimana membuat relawan mau untuk bergabung bersama Tzu Chi Jayapura. Dan akhirnya saya menyadari bahwa salah satu ajang untuk menggalang relawan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Tzu Chi, seperti baksos dan lain sebagainya.

Saya dulu pernah ikut organisasi lain. Saat saya ikut organisasi tersebut saya tidak berani mengatakan bahwa organisasi saya is the best, bagus, aman. Tapi kalau di Tzu Chi saya bisa mengatakan hal tersebut dengan lantang, dengan yakin bahwa Tzu Chi is the best. Hal itu tidak lepas dari tangan para relawan dan juga Master Cheng Yen tentunya.

Bagi saya, Master Cheng Yen itu seperti malaikat dalam ajaran Kristen, dan Master Cheng Yen juga bagaikan Boddhisatwa dalam agama Buddha. Itu adalah makhluk suci, istilahnya Buddha yang hidup di dunia ini yang saya lihat. Saya begitu salut melihat Master Cheng Yen yang mampu memahami hakikat kehidupan. Beliau tidak hanya melafalkan sutra, namun juga melakukan praktik nyata. Saya pernah belajar (teori) mengenai cinta kasih universal seperti apa, dan Master Cheng Yen memberikan praktiknya, bahwa cinta kasih universal itu tidak mengenal perbedaan agama, suku, ras, negara, maupun perbedaan-perbedaan lainnya. Jadi di Tzu Chi bukan hanya teori, tetapi juga praktik.

Kita harus bisa bersikap rendah hati, namun jangan sampai meremehkan diri sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -