Chia Wen Yu
Tzu Chi Tempat yang Mengubah Saya


“Saya Tahu Ini Untuk Berbuat Baik”

Adakah relawan Tzu Chi yang tidak mengenal Wen-yu? Tampaknya sangat jarang, seandainyapun mereka tidak mengetahui nama perempuan kelahiran Padang, 40an tahun yang lalu ini, minimal mereka pasti mengenal baik sosoknya yang terbilang tinggi itu. Tentu saja, sebab Wen-yu seringsekali tampil sebagai MC dalam acara-acara Tzu Chi. Lamanya Wen-yu bergabung dengan Tzu Chi Indonesia adalah sama dengan usia Tzu Chi Indonesia sendiri.


Dulu, Wen-yu tidak jauh berbeda dengan karyawan perusahaan pada umumnya. Posisinya sebagai sekretaris dari konglomerat Eka Tjipta Widjaja, pemilik Grup Sinar Mas, membuatnya sangat dekat dengan kehidupan elit kelompok masyarakat atas.


Lingkungan yang mewah ini tidak terelakkan turut mempengaruhi gaya hidup Wen-yu. “Dulu kalo terima gaji saya sudah langsung mikir, mau beli tas apa ya, baju apa ya, kepenginnya kok banyak bener,” kenang Wen-yu, “tapi setelah ‘kerja’ Tzu Chi, kita liat orang lain untuk makan aja gak ada. Dari situ saya berubah banget.” Meskipun hingga sekarang, Wen-yu, sebagai seorang wanita yang cukup memperhatikan penampilan ini, tetap suka berbelanja pakaian, tapi ia tidak lagi menghabiskan uangnya untuk membeli pakaian yang mahal-mahal.


Jalinan jodoh Wen-yu dengan Tzu Chi mulai ditenun pada tahun 1995. Pada tahun ke-13 sejak ia mulai bekerja sebagai sekretaris Eka Tjipta, istri dari salah seorang teknisi Taiwan di Sinar Mas yang bernama Pik Hwa, mengajak Wen-yu untuk menyumbang dana ke Tzu Chi. Sejak saat itu, Wen-yu rutin memberi sumbangan setiap bulan. Suatu kali, ia menerima kiriman buku dari Ru Yin, seorang relawati Tzu Chi dari Taiwan, yang disertai tulisan “Orang yang berjodoh tetap berjodoh”. Bersama buku itu juga dikirimkan buku penggalangan donatur Tzu Chi. Setelah menerima buku penggalangan donatur tersebut, Wen-yu dengan penuh semangat mulai mengumpulkan dana dari orang-orang di sekitarnya, salah satunya adalah dari bosnya sendiri, Eka Tjipta Widjaja.


Dalam bulan pertama Wen-yu mulai menggalang donatur, ia berhasil mengumpulkan Rp 20 juta. Suatu angka yang bukan main kala itu. Wen-yu mengakui ia menggunakan hubungan relasinya dalam pekerjaan untuk mendukung usaha penggalangan donaturnya. Dalam menggalang dana, Wen-yu termasuk nekat, tak peduli siapa pun yang dihadapinya, “Saya senekat itu karena saya tahu ini untuk sosial, untuk berbuat baik,” kata perempuan yang suka membaca buku ini.
Hal ini terus dijalankannya sampai suatu saat ia berkesempatan untuk pergi ke Hualien, Taiwan bersama ibu dan seorang temannya. Di sana ia bertemu dengan Master Cheng Yen untuk pertama kalinya. “Master tidak pernah bicara tentang agama, melainkan ajaran Buddha harus diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari dimana ajaran Buddha adalah supaya kita peduli kepada sesama, peduli kepada masyarakat, peduli kepada bumi. Inilah yang membuat saya sangat cinta kepada Master,” kata Wen-yu mengenang pertemuannya dengan Master Cheng Yen. Demikianlah Wen-yu terus menapaki jalan Bodhisattva Tzu Chi hingga pada tahun 1996, ia dilantik menjadi komite Tzu Chi Indonesia, bersama dengan Liu Su-mei, Chun Ing, dan Pao Chin.

Gerbang Hidup yang Lebih Bermakna “Kalau bukan karena ‘kerja’ Tzu Chi, sebagai orang yang kerja (karyawan), kapan saya ada waktu masuk Tangerang, masuk Serang (Tangerang dan Serang adalah tempat di mana Tzu Chi mendapati sejumlah kasus TBC yang perlu ditangani -red)?” kata Wen-yu. Ia tak menyangkal bahwa berbagai informasi juga bisa didapatkan lewat majalah, televisi atau media lainnya, namun semua berita tersebut belum tentu cukup membuat kita benar-benar merasakan apa yang dialami orang yang sedang menderita tersebut.


Sekitar 4-5 tahun yang lalu, Tzu Chi mengadakan baksos kesehatan di Serang yang saat itu sedang dilanda banjir. Tzu Chi memberikan pelayanan kesehatan umum dan gigi kepada anak-anak di sana. Wen-yu yang saat itu bertugas di poli gigi melihat anak-anak yang datang berpenampilan sangat kotor dan jorok. Terhadap hal ini, ia dapat memakluminya, namun ia lebih kaget melihat anak-anak itu kelihatan belum mandi ataupun cuci muka, tampak seperti baru bangun tidur. Karenanya ketika ia menyerahkan pasta gigi dan sikat gigi yang dibagikan Tzu Chi pada masing-masing anak, Wen-yu angkat bicara, “Adik-adik, lain kali, setiap hari sikat gigi, mandi, cuci muka baru ke sekolah! Mengerti?!” Anak-anak yang hadir pada baksos itu mengangguk-anggukkan kepala, tapi dokter gigi yang berdiri di sebelahnya menyenggol Wen-yu dan berbisik, “Aduh Ibu! Ibu minta mereka cuci muka apaan! Gosok gigi apaan! Di daerah ini setetes air bersih pun tidak ada.” Mendengar penjelasan ini, tanpa sadar air mata Wen-yu mengalir. Ia langsung teringat bahwa selama ini ia selalu boros saat menggunakan air.


“Selama ini saya selalu berpikir bahwa Indonesia meskipun miskin tetapi airnya banyak, alamnya subur. Tidak sangka di Serang yang masih di wilayah Jakarta, setetes air pun tidak ada. Sedangkan saya kalau cuci muka, saya buka ledeng, lalu saya cuci muka saya pelan-pelan sambil ngaca, sementara air terus mengalir,” Wen-yu bercerita. Hingga sekarang, kejadian itu masih terus diingatnya. Setiap kali minum, ia selalu meminum habis air di dalam gelasnya, jangan sampai ada setetes air pun yang terbuang. Itulah pelajaran berharga yang dipetik Wen-yu dari prinsip ‘langsung’ memberikan bantuan pada orang yang membutuhkan, memberinya kesempatan untuk melihat betapa beruntung dirinya dibandingkan orang-orang tersebut.


“Master Cheng Yen Bilang …”Selama ini Wen-yu dikenal sebagai pembawa acara atau MC dalam kegiatan-kegiatan Tzu Chi, baik itu berupa training, pembagian beras, peresmian, ataupun panggung Tzu Chi yang lain. Suaranya nyaring dan energik membuat acara yang biasa-biasa saja pun terkesan meriah dan seru. Berbincang tentang awal mula terpilihnya Wen-yu sebagai MC, rupanya sejak setelah lulus kuliah dari Taiwan Cheng Chi University, Taipei, Wen-yu yang mengambil jurusan jurnalistik ini, memang sudah sering diminta untuk menjadi pembawa acara dalam acara-acara pertemuan alumni. Mungkin karakternya yang ceria dan talkative memang pas untuk peran ini.


Dari penuturan Wen-yu, tugas membawakan acara tidaklah semudah dan sesederhana kelihatannya. Meskipun hanya sekadar berbicara di atas panggung, peran ini menuntut kerja keras panjang di balik panggung. “Saya rasa semua orang bisa jadi MC, tapi yang utama kita harus mengerti apa spirit Master Cheng Yen, serta apa yang Tzu Chi Indonesia kerjakan. Dengan begitu kita baru bisa ngomong,” demikian Wen-yu menjelaskan bagaimana ia mendapatkan bahan untuk disampaikan kepada peserta/undangan dalam kegiatan-kegiatan Tzu Chi. Wen-yu menambahkan, “Orang kadang lihat kita ngomong (sepertinya) gampang, tapi sebenarnya harus ada persiapan.”

Dunia Tzu Chi yang sering pula hadir meliput acara-acara Tzu Chi yang dibawakan oleh Wen-yu, hampir selalu mendengar seruannya yang penuh semangat, “Bapak-Ibu, Shi-siong (relawan laki-laki -red), Shi-cie (relawan perempuan -red), Master Cheng Yen bilang.....” yang lalu disambung Wen-yu dengan sejumlah ajaran Master tentang cinta kasih yang dipraktekkan dalam macam-macam sisi kehidupan, sesuai topik yang dibahas dalam kegiatan itu. Barangkali Wen-yu melalui perannya sebagai MC termasuk seorang relawan yang sering melakukan penyebaran filosofi Tzu Chi kepada masyarakat luas. Namun bagaimana Wen-yu dapat mengetahui demikian banyak hal yang ‘Master Cheng Yen bilang’ hingga dapat meneruskannya pada orang lain? Tak heran, sebab ia setia mendengarkan ceramah Master Cheng Yen setiap hari di Da Ai TV Taiwan dan sering membaca buku-buku Tzu Chi.


Semakin banyak kita memberi, lebih banyak pula kita menerima. Meskipun menjadi MC juga menambah beban tanggung jawab, Wen-yu merasa banyak yang ia dapatkan. “Kalau saya nggak jadi MC, mungkin saya juga nggak baca sebanyak begitu,” katanya. Selain itu, untuk kelancaran tugasnya, ia juga menjadi lebih banyak menonton video tentang Tzu Chi, terutama yang akan ditayangkan dalam suatu kegiatan, lebih serius mendengarkan sharing dari relawan-relawan lain dalam kegiatan Tzu Chi, dan banyak lagi. Kesungguhan hati Wen-yu membawakan acara Tzu Chi agar menarik tampak dari cara ia mempersiapkannya. Setiap mendapat pelajaran atau kata-kata yang baik ketika ia sedang membaca buku atau menonton tayangan Tzu Chi, Wen-yu dengan telaten mencatatnya agar sewaktu-waktu dapat dipergunakan. Wen-yu juga berharap Tzu Chi Indonesia dapat memiliki lebih banyak MC mengingat kegiatan yang semakin banyak dilakukan Tzu Chi di berbagai kota.


Vegetarian dan Pecinta Binatang

Sejak sebelum bergabung dengan Tzu Chi, tepatnya sejak tahun 1992, Wen-yu yang sejak kecil beragama Buddha, telah memilih jalan hidup yang berbeda dari orang pada umumnya dengan menjadi seorang vegetarian. Ajaran Buddha yang menganjurkan untuk menghindari tindakan pembunuhan dan mengharuskan untuk menghargai semua makhluk hidup, bukan manusia saja, telah mendorong Wen-yu untuk berhenti memakan daging makhluk berjiwa.


Ia mulai menjalani pilihannya ini secara bertahap. Mula-mula ia menghentikan konsumsi daging sapi, kemudian berlanjut berhenti makan daging babi, lalu ayam, dan terakhir daging ikan serta hewan air lainnya. Semula, ibunda Wen-yu sendiri yang juga merupakan seorang vegetarian, sempat khawatir pada pilihan putri bungsunya ini. “Mama saya takut nanti saya jadi susah bergaul,” kata Wen-yu, tapi pada kenyataannya Wen-yu tidak mendapati masalah berarti yang muncul akibat pilihannya ini.


“Selama kita menghargai jalan hidup kita sendiri, orang lain pasti akan menghormati juga,” tegasnya.

Niat Wen-yu untuk menjadi vegetarian semakin kuat karena ia sangat menyayangi binatang. “Di rumah saya ada kucing ada anjing. Semua saya pungut dari jalan,” tambahnya lagi. Tidak hanya itu, jika ia menemui jasad anjing atau kucing yang tergeletak di jalan, ia akan mengurus agar jasad tersebut dikuburkan. “Kita semua takut mati, mereka (binatang) juga sama,” katanya. Wen-yu tak henti-hentinya memberikan pengertian ini kepada teman-temannya, mencoba berbagi tentang maksud baik dari menjadi vegetarian. Namun sama sekali Wen-yu tidak memaksa orang lain untuk mengikuti jejaknya, “Semua itu harus dimulai dari niat sendiri,” katanya.


Menjadi ‘Manusia’
Tzu Chi adalah tempat berkumpul berbagai orang, dengan beraneka ragam latar belakang. Karena itu perbedaan pendapat dan pandangan menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Untuk Wen-yu yang telah memasuki tahun kesepuluh bergabung dalam yayasan ini, permasalahan yang ia hadapi dan lalui sudah tak terhitung lagi. Wen-yu yang dulu mungkin akan menyimpan rasa kesal sampai berhari-hari ketika seseorang mengatakan sesuatu yang menyakiti hatinya, tapi “Sekarang saya sudah lewati masa-masa itu,” tegas Wen-yu.


Sikap lapang dada ini dipelajarinya ketika ia semakin menyadari bahwa kehidupan ini tidak kekal, khususnya setelah ia melihat begitu banyak orang yang menderita selama ia mengikuti kegiatan Tzu Chi. Apalagi di Tzu Chi ia belajar untuk menjalin jodoh baik dengan setiap orang, bahkan meskipun hanya dengan satu sentuhan ataupun satu senyuman selama dapat memberi kebahagiaan pada orang lain.

Di akhir bincang-bincang selama kurang lebih 1 jam itu, Wen-yu bercerita bahwa kalau dulu setiap kali mendengar berita tentang bencana atau musibah yang dialami orang lain, reaksinya adalah bersyukur bahwa bencana atau musibah itu tidak terjadi pada diri atau keluarganya. Namun Master mengajarkan bahwa semua manusia di belahan dunia mana pun adalah saudara kita. Karenanya sekarang Wen-yu bisa merasakan rasa simpati-empati terhadap penderitaan orang lain.“ Karena itu saya sering bilang, saya belajar jadi manusia itu di Tzu Chi.”

Mungkin, di mata orang lain, Wen-yu sudah berbuat banyak hal untuk membantu orang lain untuk Tzu Chi, namun itu bukan hal yang ia banggakan apalagi sombongkan. “Master bilang, membantu orang sakit atau miskin itu hanya menjalankan kewajiban kita sebagai manusia,” demikian katanya. Sebaliknya ia juga berpendapat bahwa dalam semua yang dilakukannya memang tampaknya relawan Tzu Chi sudah memberi banyak, namun sebenarnya justru relawanlah yang mendapat (belajar) lebih banyak.


Seperti dituturkan kepada IvanaFoto: Dok. Tzu Chi

Hakikat terpenting dari pendidikan adalah mewariskan cinta kasih dan hati yang penuh rasa syukur dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -