Denasari: Relawan Tzu Chi Jakarta
Memetik Buah Kebajikan di Misi Amal


Selama 15 tahun menjadi relawan Tzu Chi banyak hal yang dipelajari oleh Denasari Yandi terutama pendampingan kepada para penerima bantuan Tzu Chi (Gan En Hu). Dari sini pula, ia banyak belajar tentang arti bersyukur serta berbahagia jika para penerima bantuan sudah bisa mandiri bahkan ikut turut membantu sesama.

*****

“Karena kita menganggap mereka (Gan En Hu) sebagai keluarga sendiri. Itulah kekuatan sebenarnya dari misi amal,” tandas Denasari Yandi. Sejak tahun 2011, Denasari dipercaya menjadi koordinator penanganan Gan En Hu (penerima bantuan Tzu Chi) di wilayah Bekasi, Jawa Barat dan sekitarnya.

Perkenalan Denasari dengan Tzu Chi dimulai ketika melihat tayangan DAAI TV. “Pertama kali saya mengenal Tzu Chi karena menonton DAAI TV. Ada rasa penasaran, betul enggak kenyataannya seperti itu kegiatan relawan Tzu Chi,” jelasnya.

Hingga pada suatu hari, tepatnya 3 Mei 2008, Denasari bersama dua orang temannya berjalan-jalan di sekitar wilayah Mangga Dua, Jakarta Pusat. Karena sebelumnya sudah tahu tentang Tzu Chi, mereka bertiga lalu mengunjungi Kantor Tzu Chi yang saat itu berada di ITC Mangga Dua. “Mungkin sudah jodoh, pas kami mampir kesana itu ada sosialisasi relawan,” cerita Denasari.

Singkat cerita setelah ikut sosialisasi tersebut mereka bertiga mulai aktif berkegiatan dan menjadi relawan Tzu Chi. Seiring berjalannya waktu, kedua temannya perlahan mulai tidak aktif karena kesibukan masing-masing dan hanya menyisakan Denasari yang terus lanjut menjadi relawan aktif.

Dari sinilah Denasari mulai mengikuti hampir semua kegiatan relawan Tzu Chi. Awal-awal menjadi relawan, Denasari dilibatkan dalam kegiatan baksos kesehatan. Kemudian berlanjut dengan mengikuti serangkaian training relawan, ikut Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi, dan berbagai kegiatan lainnya. “Kenali dulu kegiatannya, cocoknya dimana, jodohnya dimana, Semua dicoba, hasil belakangan,” ungkap Denasari.

Setelah banyak berkegiatan, Denasari juga semakin banyak mengenal relawan Tzu Chi lainnya. Ia juga banyak berdiskusi dengan relawan seputar misi-misi yang ada di Tzu Chi. “Almarhum Hemming Shixiong pernah bilang ke saya, ‘banyak kasus yang belum disurvei, coba terjun kesana’. Dari sini saya mulai coba fokus di misi amal,” kenang Denasari.

Saat terjun lebih jauh di misi amal, Denasari mulai belajar tentang cara mendampingi pasien kasus. Kerap kali ia juga melakukan survei ke rumah-rumah pasien kasus untuk melengkapi data-data. “Saya dulu piket juga seminggu sekali di RSCM untuk mendampingi para penerima bantuan berobat. Survei juga di Bekasi, Cikarang, Karawang, sampai Rengasdengklok,” katanya.

Bahkan untuk berkegiatan Tzu Chi, Denasari juga kadang menggunakan sepeda motor untuk survei. Walaupun harus merogoh kocek sendiri untuk berkegiatan Tzu Chi, tidak sedikitpun ada niatan untuk mundur. Semua itu dilakukan berkat pengalaman ikut mengelola usaha keluarga dan didikan orang tua.

“Kita mensiasati saat mau berkegiatan Tzu Chi, jika ada kebutuhan yang bisa hemat ya di hemat, bisa buat ongkos. Kita juga atur waktu dengan baik, sehingga keluarga pun nggak merasa kehilangan. Anak mau sekolah saya ada di rumah, suami dan anak pulang ke rumah saya juga sudah ada di rumah,” ungkap Denasari.

Menjadi Pribadi yang Lebih Baik
Sejak kecil Denasari juga sudah ditempa untuk bisa mandiri oleh kedua orang tuanya. Karena memiliki banyak anak, punya usaha, dan tidak ada pembantu, Denasari sedikit mendapatkan perhatian dari orang tuanya. “Saya 7 bersaudara, anak nomor 2, dan yang tomboy saya sendiri. Karena anaknya banyak jadi sedikit kurang diperhatikan haha,” ungkap Denasari.

Selain di misi amal, Denasari juga aktif dalam menjalankan berbagai kegiatan kerelawan Tzu Chi khususnya di Kota Bekasi dan sekitarnya. Selain itu ia juga aktif menjalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan masyarakat dan instansi pemerintah.

Ada kisah sewaktu Denasari masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia melihat salah satu temannya berkelahi, kemudian orang tuanya datang ke sekolah. “Saya memahami waktu itu kalau ada anak yang berkelahi di sekolah, orang tuanya datang untuk membela,” kenang Denasari. Hingga suatu hari Denasari juga sempat berkelahi dengan teman sekolahnya. “Biasanya kalau ada apa-apa saya selesaikan sendiri. Tapi kali ini saya pulang ke rumah,” ungkapnya. Hal tersebut dilakukan Denasari supaya diperhatikan oleh orang tuanya.

“Mama saya tanya, ‘kenapa pulang, kan belum jam pulang sekolah’? Ini ma, si A, si B. Boro-boro dibelain, saya dimarah-marahin. ‘Pasti kamu yang mulai? Balik lagi nggak ke sekolah?! Mah, ayo datang ke sekolah. Balik lagi nggak ke sekolah, sendiri?! Kan malu,” cerita Denasari.

Sejak itu Denasari paham bahwa yang bisa menolong diri kita adalah kita sendiri. “Justru saya sangat berterima kasih kepada mama dan papa, karena saya sekarang menjadi pribadi yang kuat. Tidak gampang menyerah,” jelasnya.

“Saya juga kalau mau melakukan sesuatu hal ya kalau stop ya stop, nggak pakai tawar-menawar,” cerita Denasari. Sifat inilah yang juga ia terapkan saat menjadi relawan Tzu Chi. Sebelum bergabung jadi relawan, Denasari senang berambut pendek dan di cat warna, baju juga agak terbuka, serta melakukan beberapa hal kurang baik lainnya. Setelah menjadi relawan, semua sifat-sifat dan penampilannya yang kurang baik tersebut langsung diubah semuanya.

“Ketika di Tzu Chi saya stop semuanya. Rambut dipanjangin, penampilan diperbaiki. Berbicara juga lebih diatur dengan baik, tidak cepat-cepat,” kata Denasari.

Setelah mengubah penampilan luar, Denasari juga mulai melihat ke dalam dirinya saat menjadi relawan Tzu Chi. Karena gemar membaca, ia juga banyak menyerap hikmah dari Kata-Kata Perenungan Master Cheng Yen salah satunya tentang berbakti kepada orang tua. Walaupun sempat kesal karena dulu kurang diperhatikan, namun Denasari membalasnya dengan cinta kasih.

“Tuhan masih kasih kesempatan untuk merawat papa dan mama saya ketika mereka sakit. Sampai di titik ini, orang tua saya waktu itu pun merasa terharu, karena dulu merasa kurang memperhatikan saya, justru saya malah memperhatikan mereka ketika sakit,” ungkap Denasari.

Banyak Belajar dari Penerima Bantuan
Selama 15 tahun menjadi relawan Tzu Chi, Denasari yang dilantik menjadi relawan Komite Tzu Chi pada tahun 2012 ini juga banyak memetik buah kebajikan selama bergelut di Misi Amal Tzu Chi. “Di misi amal banyak belajar tentang kehidupan, belajar banyak berkah dalam keluarga kita,” jelas Denasari.

Bagi Denasari, kerja sama yang baik serta diskusi antara relawan dan penerima bantuan menjadi salah satu kunci keberhasilan pendampingan bagi para penerima bantuan. Selain itu relawan di misi amal juga harus terjun langsung ke penerima bantuan untuk mengetahui seluk beluk keluarganya dan menemukan solusi yang baik untuk masalahnya.

Bagi wanita kelahiran Bekasi ini, Misi Amal di Tzu Chi itu bertujuan mencari solusi agar para penerima bantuan bisa lepas dari penderitaannya. Selain itu karena sudah lama berkecimpung di Misi Amal Tzu Chi, Denasari juga dipercaya menjadi Wakil Misi Amal Relawan Tzu Chi Komunitas He Qi Pusat. Tidak berhenti sampai disitu, Denasari saat ini juga menjadi Ketua Hu Ai Pusat Sehati yang membawahi Xie Li Bekasi 1, Xie Li Bekasi 2, dan Xie Li PGC. Ia pun masih aktif melakukan survei dan pendampingan Gan En Hu juga sekaligus mendampingi anak asuh bersama relawan Tzu Chi lainnya.

Tentunya perjalanan menggeluti Misi Amal Tzu Chi juga memiliki kesan tersendiri bagi Denasari. “Yang paling berkesan bagi saya selama ini ketika pasien mengucapkan terima kasih. Lalu saya bilang ‘jangan terima kasih ke saya, tapi kepada para donatur yang ada di Tzu Chi’. Mereka lalu bilang ‘tanpa ibu, bantuan juga nggak bakal sampai ke kami,” cerita Denasari. “Makanya sampai sekarang saya berterima kasih diberikan kesehatan. Saya cocok di Tzu Chi,” tambahnya.

Nilai kehidupan yang didapat Denasari di Tzu Chi juga ia bagikan ke keluarga. Dulu sewaktu anak-anaknya masih bersekolah, Denasari mengajurkan untuk ikut berdana di Tzu Chi. “Jadi dananya atas nama mereka, saya yang kasih uang. Sekarang mereka sudah bekerja, mereka tinggal meneruskan saja,” jelasnya.

Selain itu, Denasari juga mengajak keluarganya untuk selalu menghemat waktu serta memanfaatkan waktu dengan baik. “Master Cheng Yen bilang tidak ada waktu lagi karena ketidakkekalan tidak mengenal waktu. Beliau juga guru spiritual yang baik, orang mulia yang dikirim pada kehidupan saat ini,” ungkap Denasari.

Tentunya bukan hal yang mudah juga bergelut dengan misi amal apalagi mendampingi para Gan En Hu. Namun sesulit apapun, bagi Denasari selalu ada harapan bagi para Gan En Hu. Kuncinya adalah kesabaran dan yang paling penting ada kerja sama antara relawan dan keluarga penerima bantuan.

“Pendampingan dan penanganan Gan En Hu Itu adalah lahan berkah kita untuk melatih kesabaran. Kadang-kadang pasien itu banyak sekali permintaan dan kemauannya, kalau kita pikir-pikir lagi mereka itu sedang panik, tidak ada uang dan lainnya. Jadi kehidupannya seperti benang kusut, untuk itu harus kita urai satu persatu supaya lurus kembali,” kata Denasari.

Bisa berjodoh menjadi relawan Tzu Chi dan ikut membantu orang lain yang membutuhkan menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Denasari. Apalagi jika para Gan En Hu yang dibantu sudah bisa mandiri dan para anak asuh Tzu Chi bisa sukses. Hal tersebut semakin memantapkan tekadnya untuk terus menjadi relawan Tzu Chi.

“Selama masih sehat lahir batin ya mau menjadi relawan, itu kan harus sepaket. Saya senang sekali menjadi relawan Tzu Chi, saya mencintai apa yang saya jalankan, karena tidak ada beban, bisa bertemu orang-orang baru dan belajar,” tandas Denasari.

Penulis dan Foto: Arimami Suryo Asmoro
Hadiah paling berharga di dunia yang fana ini adalah memaafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -