Dr Esti Wardhani Sp.M
Senyummu, adalah Bahagiaku

Ketertarikan saya dengan Tzu Chi, berawal dari ucapan teman-teman yang memberitahukan bahwa Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia sering mengadakan baksos kesehatan secara gratis.
Mendengar hal tersebut, saya pun tertarik untuk bergabung, dan akhirnya mendaftarkan diri sebagai salah satu relawan kesehatan.
Dalam setiap kegiatan baksos, saya selalu merasa bahagia bisa menolong sesama, apalagi kalau hasilnya bagus. “Para pasien yang mayoritas berasal dari kalangan kurang mampu tersebut, rasa terimakasihnya tuh besar sekali, jadi rasanya kita sangat berharga juga buat mereka.”
Sebelum bergabung dengan Tzu Chi, saja juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan baksos, tapi ada yang berbeda dengan apa yang saya lakukan bersama Tzu Chi. Di Tzu Chi, kita sebagai dokter tidak hanya bertugas untuk melakukan operasi, lalu selesai , mengenai hasilnya seperti apa, dan bagaimana, kita tidak diwajibkan untuk memonitor. “Jadi keterlibatan perasaan kita tidak terlalu mendalam.”
Sedangkan di Tzu Chi, mulai dari pemeriksaan awal, operasi, hingga post off
(pascaoperasi), kita selaku dokter juga turut memonitor. Cinta kasih
yang kita berikan rasanya lebih menyeluruh, membuat saya merasakan rasa
syukur dan kebahagiaan yang lebih. “Ucapan terimakasih yang tulus, wajah
bahagia mereka, adalah kebahagiaan yang tidak bisa diucapkan dengan
kata-kata.” Bahkan terkadang saya sering merasakan kontak batin dengan
mereka, sangat berbeda dengan mengobati pasien biasa.
Padatnya jadwal praktik di tiga rumah sakit (RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, RS Pantai Indah Kapuk, dan RS Mitra Kemayoran -red), otomatis membatasi waktu saya bersama keluarga. Belum lagi kegiatan baksos, yang mayoritas dilakukan pada waktu weekend. “Awalnya anak-anak sempat keberatan, tapi setelah mereka memahami bahwa apa yang saya lakukan demi untuk menolong orang banyak, mereka pun akhirnya mengerti.” Saya pun berencana, apabila mereka sudah cukup besar saya akan membawa mereka untuk turut serta, agar mereka bisa melihat apa yang kita lakukan di dalam baksos, sehingga nantinya ketika memiliki waktu senggang, mereka juga mau ikut berpartisipasi. “Ini cara yang tepat bagi mereka, untuk belajar peduli terhadap penderitaan orang lain.”
Melakukan operasi katarak dalam kegiatan baksos, memang bukanlah hal yang mudah. Apalagi mayoritas dari peserta baksos berasal dari masyarakat yang minim pengetahuan, sehingga rasa gugup mereka pun cukup tinggi, dan hal ini sangat beresiko terhadap keberhasilan operasi.
Menghadapi
hal ini, saya berusaha untuk tenang dan meyakinkan pasien, kalau
operasi akan berjalan dengan baik, apabila mereka bisa tenang dan
percaya kepada saya. Saya juga melihat ada kecenderungan, bahwa semakin
muda umur pasien, semakin tinggi kegelisahan mereka menghadapi operasi.
“Biasanya, mereka yang sudah berumur lebih tenang dan pasrah, sedangkan
mereka yang muda memiliki ketakutan operasi akan gagal, dan mereka tidak
akan bisa melihat lagi.”
Sudah hampir dua setengah tahun, saya aktif dalam kegiatan baksos Tzu Chi. Meskipun demikian, hingga kini saya belum resmi bergabung dengan Tzu Chi International Medical Association (TIMA). “Masih ada beberapa hal yang belum saya selesaikan. Nanti, setelah selesai, saya akan segera bergabung, karena saya mau memberikan yang terbaik, tidak setengah-setengah.”
Untuk kegiatan yang akan datang, saya berharap Tzu Chi bisa mengadakan baksos yang menjangkau masyarakat di daerah terpencil, karena di Jakarta, baksos dilakukan bukan hanya oleh Tzu Chi. Banyak perusahaan-perusahaan lain maupun rumah sakit melakukan kegiatan serupa. Sedangkan di tempat terpencil, belum tentu dokter maupun perusahaan tersebut mau melakukan baksos di sana, sehingga apa yang kita lakukan akan jauh berguna bagi mereka yang untouchable (tidak terjamah -red).
Seperti dituturkan kepada Veronika U. Immerheiser
Foto: Dok. Tzu Chi