Dr. Flemming Wijaya: Relawan dan Dokter TIMA Tzu Chi Pekanbaru
Bersyukur Punya Kemampuan dan Kesehatan
Saya seorang dokter, lulus tahun 1992 di Universitas Tarumanegara Jakarta. Jalinan jodoh dengan Tzu Chi terjadi karena saya memang suka dengan baksos kesehatan. Semenjak jadi mahasiswa saya sudah ikut baksos (bakti sosial). Selesai kuliah, saya ke Pekanbaru dan dapat tugas di Cerenti, Riau selama tiga tahun. Lalu tahun 2000 saya belajar ilmu pengobatan akupuntur ke luar negeri, kemudian buka praktik. Nah kebetulan ada tetangga saya yaitu Suriani Shijie, yang sudah menjadi relawan Tzu Chi, dialah yang mengajak saya ikut baksos Tzu Chi. Saya lalu menjadi relawan Abu Putih pada tahun 2014.
Memang rasa sosial saya sudah tumbuh sejak dahulu, sesuai pesan Papa saya: “kalo orang gak mampu, kamu jangan tarik (ambil bayaran).” Jadi kalau yang datang ke praktik saya itu memang orang tak mampu, saya pasti tidak terima bayaran. Pernah ada satu pasien yang stroke datang dan mengaku tidak mampu. Saya bilang ke pasien itu, “gak masalah, yang penting kamu punya semangat berobat, di sini kamu gak usah pikirkan biaya.”
Saya sangat senang ikut kegiatan bakti sosial, tapi kegiatan Tzu Chi yang paling sering saya jalani itu di Misi Amal. Karena saya pernah jadi Wakil Ketua Xie Li selama empat tahun dan diberi tugas untuk mengembangkan Misi Amal Tzu Chi di Pekanbaru. Saya merasa Misi Amal sangat menarik ya, dan cukup seru, karena kita berdiri di dua sisi. Satu sisi adalah perasaan empati kita, satu sisi lagi apakah pemohon ini benar atau tidak. Karena saya pernah ketemu pemohon bantuan yang tidak jujur juga. Jadi kita berdiri di tengah dan sangat butuh kebijaksanaan, kita harus bisa memutuskan apakah ini perlu dibantu atau tidak.
Berubah Menjadi Lebih Baik
Saya itu termasuk orang yang emosional, ini mungkin tempaan ketika saya tugas di Cerenti ya, karena masyarakat di sana itu agak keras, gampang marah kalo kita gak ikuti kemauan mereka. Semenjak itu, saya berubah menjadi orang yang agak keras. Kadang-kadang saya bisa emosi mendadak, kalo ketemu hal yang tidak sesuai, saya langsung marah. Belakangan sudah ikut Tzu Chi, sifat itu sudah jauh berkurang.
Dulu saya juga jarang mau berdonasi, tapi sejak di Tzu Chi saya jadi lebih mau berdonasi ke mana-mana. Rasa berbagi itu makin besar, cinta kasih dan welas asih juga terus berkembang. Kadang kalau nampak orang tidak mampu di jalanan, atau ada orang yang butuh, saya akan bantu.
Selama berkegiatan Tzu Chi, rasa syukur saya juga bertumbuh. Kita bisa bersumbangsih karena diberi kesehatan yang baik. Kalau gak sehat, kita gak bisa melakukan apa-apa. Seperti pasien yang datang di baksos dalam kondisi sakit, praktis mereka tidak bisa beraktivitas. Saya sendiri pernah mengalami ketika luka karena terjatuh, saya gak bisa ikut membagikan Alat Pelindung Diri (APD) pas wabah Covid-19 merebak. Lihat foto relawan Tzu Chi membagikan, aduh kita mau tapi gak bisa. Intinya, kesehatan itu sangat penting.
Dari Master Cheng Yen saya belajar mengurangi keduniawian. Saya belajar melepas dan menerima apa adanya, kalau pasien datang ya saya terima. Saya tidak memikirkan untuk mengumpulkan kekayaan materi lagi. Sekarang saya lebih banyak berkebun, dengan berkebun saya menemukan banyak ketenangan.
Saya pernah ikut konferensi Tzu Chi International Medical Association (TIMA) di Taiwan, saya bertemu langsung dengan Master Cheng Yen. Bagi saya beliau adalah sosok yang sangat lembut dan berwibawa. Mendengar ucapan beliau itu seperti ada getarannya, kita bisa langsung merasakan dalam hati. Kata-kata beliau yang paling berkesan bagi saya adalah “Ada dua hal yang tidak bisa ditunda, yaitu berbakti kepada orang tua dan melakukan kebajikan.” Jadi selagi diberi kesempatan, diberi kepercayaan dan tanggung jawab, maka saya akan terus bersumbangsih di Tzu Chi.
Seperti dituturkan kepada Erli Tan