Dr. Haryo Suparmun
Sila Sebagai Pedoman, Dharma Sebagai Tujuan
Sebagai konsultan keuangan tak mudah bagi Haryo untuk selalu menerapkan Sila Tzu Chi, perlu pertimbangan kembali efek dan kesannya bagi Haryo. Pekerjaannya membuatnya harus bersentuhan dengan ruang “abu-abu”. Beruntung, lingkungan baru dan pergaulannya membimbingnya untuk tetap teguh pada hati nuraninya.
Memasuki ruang kerjanya, nuansa akademik begitu terasa. Di lemari tepat di belakang meja kerjanya terpampang berbagai foto, buku-buku, penghargaan, dan catatan gelar akademik yang diraih pria kelahiran Belawan, Medan, 55 tahun silam ini. Merintis dari awal sebagai asisten dosen hingga menjadi salah satu dosen ahli dan pengurus di salah satu universitas swasta di Jakarta ini membuat Haryo sangat kenyang asam dan garam dunia pendidikan.
Lahir dari keluarga sederhana, Haryo, begitu ia biasa disapa membuktikan bahwa pendidikan adalah jembatan sekaligus harapan bagi setiap orang untuk meraih kehidupan yang lebih baik. “Waktu kecil saya pernah jualan es buah sama kakek dan menjadi kernet angkutan umum sewaktu SMA. Supirnya ya bapak saya,” kata Haryo tersenyum. Pengalaman ini menempa mental dan tekad Haryo sekokoh baja. Sementara kegigihan, kejujuran, dan sikap rendah hati diperolehnya dari didikan orang tua dan keluarga. Kombinasi inilah yang terus menuntunnya dalam menjalani kehidupan, baik dalam karir, maupun perannya sebagai suami dari Tjong Siat Lin, dan ayah dari ketiga anaknya: Hartadi (22), Megaria (20), Gloria (16).
Dari pendidikan pula Haryo kemudian berkesempatan menduduki beberapa jabatan penting di beberapa perusahaan nasional di Jakarta, sampai kemudian membulatkan tekad untuk merintis usaha sendiri, konsultasi jasa keuangan sambil tetap menekuni profesi yang dicintainya, mengajar.
Berawal dari Donatur
Kalau
sudah jodoh takkan lari kemana, seperti itulah gambaran perjalanan kemanusiaan
Haryo dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Menjadi donatur Tzu Chi sudah
dimulai Haryo sejak tahun 1998, namun kemudian sempat terhenti dan baru mulai
lagi di tahun 2010. Kala itu Haryo diajak oleh Suk Cen, relawan Tzu Chi yang
kebetulan tetangganya di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Adalah Feranika
Husodo, relawan Tzu Chi yang mempertemukan kembali Haryo dengan Tzu Chi. “Kebetulan
Fera Shijie ini perusahaannya
merupakan salah satu klien saya,” terang Haryo. Karena masih sangat sibuk,
bekerja, mengajar, dan menyelesaikan studi doktornya, kala itu Haryo baru
menyanggupi menjadi donatur Tzu Chi kembali.
Setelah hanya berkesempatan menjadi donatur Tzu Chi, Haryo kemudian memutuskan untuk ikut langsung sebagai relawan.
Sampai
kemudian sebuah panggilan telepon masuk ke telepon selulernya. Saat itu ia
ditawari untuk mengikuti proses seleksi auditor bagi Yayasan Buddha Tzu Chi
Indonesia. Ketika itu Tzu Chi masih berkantor di Gedung ITC Mangga Dua Jakarta
dan tengah dalam tahap persiapan pindah ke Tzu Chi Center di Pantai Indah
Kapuk, Jakarta Utara. “Kebetulan kantor saya memang di Pantai Indah Kapuk,
akhirnya saya ikut proses itu dan terpilih,” kenang Haryo. Setelah dinyatakan
terpilih, Haryo pun bergegas mencari informasi sebanyak-banyaknya di internet
tentang Yayasan Buddha Tzu Chi ini. “Prosedur auditor adalah knowing your customer. Padahal saya dah lama jadi donatur, tapi selama ini nggak pernah tahu banget Tzu Chi,” akunya. Tak kenal maka tak sayang, nyatanya
setelah mengenal Tzu Chi lebih dalam, keinginan untuk menjadi relawan pun
tumbuh dengan sendirinya. Tugas sebagai auditor pun diserahkan ke partnernya dan Haryo memilih untuk
“mengaudit hatinya”, menapaki jalan kemanusiaan. Kegiatan bedah buku menjadi
pilihan pertamanya, hingga kemudian berbagai kegiatan Tzu Chi juga dijalaninya.
Pucuk dicinta ulam tiba, sebenarnya jauh di lubuk hati Haryo, keinginan untuk ikut dalam kegiatan sosial kemanusiaan sudah muncul sejak dulu. Namun, bara itu keburu padam seiring aktivitasnya yang sangat padat. “Sejak dulu sudah punya rencana, setelah usia 50 tahun dan anak-anak sudah besar saya sudah mau mulai mengurangi pekerjaan. Tapi, saya harus punya aktivitas pengganti, dan kalau hanya menjadi dosen, waktunya singkat, hanya 4-5 jam saja, jadi sempat terpikir mau jadi relawan.” Namun organisasi yang dicarinya harus memenuhi syarat dan kriterianya: rapi dan terorganisir dengan baik. “Dan itu semua ada di Tzu Chi,” tegasnya.
Antara Sila dan Pekerjaan
Perjalanan kemanusiaan terus
ditorehkan, mulai dari bedah buku, daur ulang, pemberian bantuan, pendidikan,
hingga kunjungan kasih. Pembinaan dan pelatihan diri juga dilakukan Haryo. Kegalauan
mulai menggayutinya seiring tetes demi tetes Dharma yang mengaliri relung
batinnya. Kegelisahannya muncul dan terus mengganggunya lantaran pekerjaannya
yang kerap berbenturan dengan nuraninya. Dulu semua itu bukanlah masalah
baginya, tapi kemudian serasa menjadi duri di dalam hati.
Dalam berbagai kesempatan kegiatan Tzu Chi, Haryo terus mensosialisasikan celengan bambu. Dengan cara ini semua orang bisa ikut bersumbangsih dan berbuat kebajikan.
Sebagai dosen dan konsultan keuangan, Haryo mencoba menerapkan apa yang disampaikan Master Cheng Yen dalam menjalankan roda organisasi, yakni Sila sebagai sistem dalam organisasi Tzu Chi, dan cinta kasih sebagai manajemen. “Namun setelah kita jalankan ternyata sulit,” ungkapnya.
Dari Sepuluh Sila Tzu Chi (Tidak Membunuh, Tidak Mencuri, Tidak Berbuat Asusila, Tidak Berbohong, Tidak Mengonsumsi minuman beralkohol, Tidak Merokok dan Makan Pinang, Tidak Berjudi dan Berspekulasi, Berbakti Kepada Orang Tua, Menaati Peraturan Lalu Lintas, dan Tidak Berpolitik, Tidak Ikut Berdemontrasi), ada dua Sila yang menurut Haryo cukup sulit baginya yang berprofesi sebagai konsultan keuangan. Haryo merasa Sepuluh Sila itu hal yang mudah untuk dipatuhi, kecuali Sila Keempat (Tidak Berbohong) dan Sila Ketujuh (Tidak Berjudi dan Berspekulasi). “Pekerjaan saya sebagai konsultan keuangan, nomor empat ini paling sulit,” ungkap Haryo.
Saat diminta untuk menjadi komite
Tzu Chi, Haryo sempat merasa belum layak, namun ia mempertimbangkannya dengan
serius. “Saya merasa kalau sudah menjadi Komite Tzu Chi maka sudah harus bisa
menjalankan Sila Tzu Chi dengan baik,” tegasnya. Bagi Haryo, ketika menyandang
status Komite Tzu Chi maka dalam diri sudah melekat image Tzu Chi yang kental, sehingga segala tindak-tanduk,
gerak-gerik, langkah, dan perbuatan harus menjadi teladan dan cerminan bagi
diri sendiri dan orang lain. “Kalau saya masih melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan Sila Tzu Chi maka itu akan membebani saya sekaligus
merugikan citra Tzu Chi di masyarakat,” terang Haryo yang dilantik menjadi
Komite Tzu Chi di tahun 2016 ini.
Perjalanan kemanusiaan terus ditorehkan Haryo, mulai dari bedah buku, daur ulang, pemberian bantuan, pendidikan, hingga kunjungan kasih. Setiap kegiatan memberikan pelajaran dan makna yang berbeda-beda dalam dirinya.
Meski tidak mudah dan berdampak terhadap jumlah klien dan pendapatannya, keputusan itu bulat diambilnya. “Kita harus menaati Sila, karena Sila pelindung jiwa. Kalau kita tidak berbuat kejahatan maka kita akan selamat. Kemudian kita juga harus berbuat kebajikan, agar selain selamat, kehidupan kita juga dimudahkan dalam segala sesuatunya,” terang Haryo.
Sila juga bisa melindungi diri kita dan orang lain, dimana menurut Haryo, ketika seseorang menaati aturan (lalu lintas) maka orang tersebut sudah melindungi dirinya sendiri dan juga orang lain. “Bayangkan kalau orang menyerobot rambu lalu lintas maka selain bisa mencelakakan dirinya juga bisa merugikan orang lain,” tegas Haryo. Meski berat menjalankan Sila, namun Haryo berprinsip bahwa segala sesuatu itu berasal dari niat. Niat baik dikembangkan, niat buruk dihentikan. “Karena penyimpangan sekecil apa pun bisa mengakibatkan kita tersesat sampai ribuan kilometer,” ujarnya.
Setelah berdiskusi dengan
istrinya, akhirnya diputuskan jika mereka akan memperbaiki cara kerjanya. Salah
satu caranya yaitu Haryo hanya akan menerima klien-klien yang memang secara
data dan pencatatan keuangan perusahaannya clean (alias bersih dan taat
hukum).
Sebagai konsultan keuangan, pekerjaannya kerap berbenturan dengan nuraninya. Beruntung, tekadnya dalam menjalankan Sila dan Dharma membimbingnya untuk teguh pada nuraninya. Kisah ini ia bagikan kepada relawan Tzu Chi lainnya agar berani memutuskan sesuatu yang benar dalam hidup.
Dari situ Haryo mulai menjelaskan ke para kliennya tentang aturan perpajakan yang baru dari Pemerintah dan para klien ini wajib untuk mengikutinya. “Saya ngomong sama klien-klien saya, kalau saat ini pemerintah sudah mulai terbuka dan transparan, dan saatnya kita juga harus rapi. Kalau Anda mau rapi, satu sampai dua tahun akan saya dampingi. Tapi, kalau Anda nggak mau mengubah cara kerja, mohon maaf saya nggak bisa menjadi konsultan Anda lagi.” Hasilnya…? “Banyak yang pergi,” kata Haryo sembari tersenyum lebar, “tapi hikmahnya saya justru dapat klien-klien yang bagus. Malah banyak perusahaan luar (negeri) yang jadi klien saya.” Ada sekitar 20 – 25 persen klien yang pergi. Mereka juga merasa Haryo sombong, terlalu idealis, karena konsultan besar saja nggak pernah dan berani berbicara seperti itu kepada kliennya. “Saya pikir Dharma itu pasti kan ada Dharmanya. Dan saya dengar dan yakini tentu saya harus praktikkan. Jangan sampe orang bilang saya orang Tzu Chi, tapi cara kerjanya nggak Tzu Chi. Asal nembak segala macam. Saya mesti memperbaiki diri saya sendiri dan klien juga agar sama-sama baik,” katanya.
Termasuk saat kebijakan pemerintah tentang Tax Amnesty (Pengampunan Pajak), harusnya ia bisa mendapatkan banyak klien dan meraup keuntungan finansial yang berlimpah dari momen itu. “Tapi saya tidak menyesal, justru setelah diaudit oleh Departemen Keuangan, perusahaan saya dinyatakan clean, tidak ada temuan yang berarti,” terang pria yang memperoleh gelar Doktor di tahun 2011 ini.
Tidur Dengan Nyenyak
Hikmah lainnya adalah Haryo
sekarang tidak lagi mengalami kesulitan tidur. “Dulu waktu saya terima semua (jenis)
klien, saya sampai harus ke rumah sakit untuk suntik supaya bisa tidur,”
kenangnya. Ia merasa bersyukur setelah berani menjalankan Sila akhirnya justru
mendatangkan banyak manfaat baginya. Workholick,
sifat itu memang layak disematkan padanya. Jika sedang menyelesaikan suatu
pekerjaan, Haryo sanggup bekerja semalam suntuk. “Malam ketemu malam,” ujarnya
tersenyum. Yang menjadi masalah ketika mengerjakan sesuatu yang memang sudah
bermasalah sejak awal laporannya. “Kita kan konsultan jasa, dan orang
kasih kerjaan kan ada deadline. Kalau
masalah dia kita nggak bisa diselesaikan,
ini yang buat tensi kita tinggi dan stres berat,” ungkapnya.
Tzu Chi menjadi tempat yang tepat bagi Haryo dalam berkegiatan sosial, dimana dengan merasakan kekurangan orang lain akan mendatangkan kepedulian kepada sesama.
Sementara tentang Sila ke-7, tentang Tidak Berjudi dan Berspekulasi, Haryo yang gemar “berburu” saham ini mengaku tidak begitu sulit meninggalkan kebiasaannya. “Dulu saya setiap malam kerjanya mantengin monitor, lihat saham naik atau turun. Dag… dig …dug.., terus,” ungkapnya sambil tertawa. Haryo yang pernah menulis buku berjudul Options Strategies tentang panduan praktis berinvestasi di pasar modal (jual atau beli saham ini) mengingatkan kepada relawan bahwa “bisnis” seperti ini sangat rentan dan penuh resiko. “Dalam semalam kita bisa untung seribu persen, tapi dalam semalam kita juga bisa kehilangan semuanya,” kata Haryo. Setelah melepaskan kebiasaan ini, Haryo juga mengaku hidupnya lebih tenang. Ada perbedaan signifikan tentang saham dan option strategi, dimana kalau saham memang jumlah uang yang dikeluarkan lebih besar, bersifat jangka panjang, dan relatif aman. Sementara option strategies berkebalikan seratus persen. “kalau saham jatuh, sahamnya masih milik kita, suatu saat harganya bisa pulih lagi. Kalau options strategies itu seperti pasang lotere, kalo nggak dapat duitnya habis.”