Eva Wiyogo
Berada di Jalur yang Sama



Hampir dalam setiap kegiatan bakti sosial kesehatan Tzu Chi, sosoknya selalu hadir di tengah-tengah pasien. Senyum dan ketulusannya dalam melayani, menjadi penyejuk di tengah kegundahan dan kecemasan para pasien yang akan dioperasi. Eva tidak sendirian, suaminya Hendro Wiyogo kerap mendampingi. Dalam banyak kesempatan, keduanya hadir berpasangan. Sementara sang suami mendampingi dan mengantar pasien ke ruang operasi, Eva bertugas di bagian pemeriksaan mata. Jika pun tidak, mereka datang bergantian. “Kita bagi waktu, misalnya pembagian beras, dia (suami -red) yang datang, saya bantuin kontrol toko. Kalo pas dua-duanya bisa sisihkan waktu, kita jalan. Kami pikir bisa banyak berbuat baik itu bagus daripada terlambat,” kata Eva, mengutip salah satu kata perenungan Master Cheng Yen.


Lihat, Tersentuh, dan Bergabung
Sejak aktif di Tzu Chi, Eva yang bertemperamen keras, perlahan-lahan berubah. Melihat perubahan positif yang terjadi, Hendro pun penasaran dan mengikuti jejak sang istri.

Perjalanan Eva dan suami menjadi relawan Tzu Chi bermula ketika pada tahun 2003, temannya mengenalkan Tzu Chi padanya. Seperti kisah percintaan remaja, seringnya mendengar dan bertemu relawan Tzu Chi membuat Eva tergerak menjadi donatur tetap Tzu Chi. “Padahal waktu itu saya nggak tau Tzu Chi itu apa, yang saya tahu sosialnya aja,” kata Eva. Kala itu, Eva dan Hendro tengah sibuk merintis dan mengembangkan usaha sehingga hampir tiada waktu luang untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi.

Namun, seolah sudah digariskan menjadi bagian dari keluarga besar Tzu Chi, pada tahun 2004, pertautan hati Eva dengan Tzu Chi pun terjalin. Baksos kesehatan Tzu Chi menjadi pintu gerbangnya memasuki dunia relawan. “Saya lihat dan saya tersentuh. Sejak itu saya tertarik banget. Meski sibuk, saya tetap sisihkan waktu,” ucapnya mantap. Bersama relawan lainnya, Eva sering menyurvei dan mengunjungi calon pasien penanganan khusus yang ditangani Tzu Chi. “Tadinya saya pikir biasa, seperti yayasan sosial lainnya. Tapi ini (Tzu Chi -red) luar biasa,” puji ibu 4 anak ini.

Sejak aktif di Tzu Chi, Eva yang bertemperamen keras, perlahan-lahan berubah. “Tahu sendiri deh, orang bisnis, emosian,” kenangnya. Perubahan sikap ini tak luput dari perhatian suaminya, Hendro Wiyogo. Meski awalnya kurang setuju dengan aktivitas Eva yang menyita hampir 80% waktunya di Tzu Chi, melihat perubahan yang terjadi, Hendro pun akhirnya luluh. “Kok bisa berubah banget?” tanya Hendro kala itu. Penasaran, Hendro pun mencoba mengikuti jejak sang istri. Setelah melihat dan terlibat langsung, akhirnya Hendro tertarik dan bergabung di Tzu Chi. Sejak itu, keduanya seolah tak pernah absen dari kegiatan Tzu Chi, khususnya baksos kesehatan.

Selain perubahan positif yang terjadi dalam dirinya, Eva pun merasa tersentuh dan bahagia ketika melihat seri di wajah para pasien yang berhasil ditangani Tzu Chi. “Ada orang yang matanya dua-duanya dari nggak bisa lihat sampai bisa lihat. Bangga nggak kita?” ungkap Eva. Ada pula kisah pasien yang tersentuh dan sampai menitikkan air mata ketika Eva mencuci kakinya sebelum masuk ruangan operasi.“Pasien itu bilang, seumur-umur aja anaknya nggak pernah nyuci kakinya. Sedangkan ini, orang lain kok mau. Mereka bilang, saya mungkin nggak bisa balas, tapi Tuhan pasti akan membalasnya,” terang Eva.

Perubahan Hidup
Tidak hanya memberi manfaat bagi orang lain, Tzu Chi juga memberi dampak positif pada gaya hidup mereka. Jika sebelum mengenal Tzu Chi, seiring dengan kemapanan hidup dan bisnis yang semakin berkembang, membuat keduanya “mabuk kesuksesan”. “Dulu kalo belanja saya nggak mikir, asal suka saya beli. Apalagi kalo ke luar negeri, main borong aja. Apa aja kita beli, walau nggak butuh, asal demen, ya kita beli,” kenang Eva. Alhasil, barang-barang itu pun hanya tertumpuk di rumah. “Cuma jadi sampah,” kata Eva guyon.

Kebiasaan buruk lainnya adalah hobby berkaraoke dan minum minuman keras. “Dulu sepulang toko tutup jam 9 malam, kami langsung pergi ke karaoke hingga jam 2-3 pagi,” kata Hendro dan Eva. Akibatnya, keduanya jarang bisa bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak. “Kita pulang anak-anak dah tidur, anak-anak bangun giliran kita yang masih tidur,” kata Eva tersipu. Sebuah pola hidup yang tidak sehat dan boros. Dalam semalam, cukup besar uang yang mereka hamburkan.


“Tapi sejak kenal Tzu Chi, semuanya berubah,” aku keduanya. Tidak tanggung-tanggung, Eva dan Hendro yang dulu konsumtif dan suka mencari hiburan berubah 180o dalam memaknai uang. “Saya sekarang kalo mau belanja mikir, barang ini benar-benar dibutuhkan nggak? Kalo nggak, kenapa uangnya nggak kita pakai untuk membantu orang,” jawab Eva. Bijak di pengeluaran uang, Eva dan Hendro pun semakin mawas di pergaulan. “Pelan-pelan kita dah kurangin, sampai benar-benar dah nggak kenal karaoke dan minuman keras lagi,” kata Hendro. Akibatnya, mereka pun jarang berkumpul lagi dengan teman-temannya. Meski begitu, Eva tetap bersahabat baik, dan bahkan beberapa temannya berhasil ditariknya menjadi donatur Tzu Chi. “Mungkin mereka belum ada waktu untuk ikut kegiatan Tzu Chi, tapi bisa jadi donatur kita dulu,” imbuhnya.



Dari semula pencinta mal dan karaoke, Eva dan suami kini lebih banyak menghabiskan waktunya di Tzu Chi. Untuk urusan bisnis, Eva sudah hampir 100% lepas, sementara Hendro pelan-pelan juga akan mulai melepas dan mempercayakan pengelolaannya kepada orang lain. “Sekarang saya lebih banyak di Tzu Chi. Bisnis dah tinggal 10%, sedangkan dulu 100% is bisnis,” guyon Eva. Hendro sendiri punya alasan lain mengapa mereka kini lebih fokus dalam kegiatan Tzu Chi. “Banyak teman saya yang meninggal muda, umur 50-an dah nggak ada lagi. Dari situ kepikir, ngapainlah kita ngoyo-ngoyo nyari duit, kalo dah meninggal juga nggak bisa dibawa,” kata Hendro.

Hendro sedikit membuka alasannya turut bergabung bersama istri aktif di Tzu Chi. “Saya lihat perubahan istri saya. Kalo dulu saya telepon dia, saya baru 2-3 kata, dia dah nyerocos marah-marah dan tutup telepon. Tapi sekarang lain, malah dia yang suka telepon,” kata Hendro sembari tersenyum. Pria yang sempat menjadi buruh toko, sales, dan pengusaha ini pun bersyukur karena bisa sama-sama aktif di Tzu Chi. “Saya kalau istri pulang jam berapa dah nggak pernah nanya dan curiga, percaya aja di Tzu Chi. Begitu pula sebaliknya. Saya tahu dia punya tujuan, karena kita berdua satu jalur,” tegas Hendro. Bahkan, di setiap pertemuan keluarga, topik pembicaraan tentang Tzu Chi tak pernah luput dibahas. “Saya cerita, eh tadi saya nengokin pasien, keadaannya begini… begini. Jadi, keluarga pun terpengaruh. Sekarang, adik-adik saya banyak yang masuk Tzu Chi,” kata Eva bangga.

Masa Kecil yang Suram
“Baju bekas dikasih orang aja, kita pake dah senang banget. Orang kasih beras, kita juga senang banget. Makanya, sekarang saya kalau lihat orang yang kesusahan, saya bayangin waktu saya masih kecil dulu.” (Eva Wiyogo)


Melihat kehidupannya kini, tak banyak yang mengira jika sejak kecil Eva dan Hendro punya pengalaman hidup yang pahit. Dilahirkan di Singkawang, Kalimantan Barat pada 26 November 1957, Eva merupakan anak pertama dari 9 bersaudara. “Sebenarnya sih 10, tapi meninggal satu,” kata Eva berkaca-kaca. Ayahnya, Tjhai Jun-kim berdagang daging babi untuk menghidupi keluarga. Jika dagangan sang ayah tidak habis, ibunya mengolah daging itu menjadi potongan-potongan kecil. “Saya yang jual, door to door,” kenang Eva.

Karena serba kekurangan, sejak usia 9 tahun Eva sudah terbiasa berdagang—menjajakan penganan kecil buatan ibunya. “Kue-kue itu saya pikul di kepala. Berat, tapi yang penting dapat duit,” tukasnya ringan. Ditambah sebagai anak sulung, maka Eva pun kerap menggendong adik-adiknya yang masih kecil. “Itu dia, makanya saya itu paling pendek di keluarga,” ujarnya berkelakar.

Meski ikut menopang perekonomian keluarga, nyatanya Eva hanya bisa mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD. “Asal dapat uang, saya kasih Mama semua,” aku Eva. Putus sekolah, tahun 1972 Eva menyusul ayahnya yang sudah setahun lebih dulu merantau ke Jakarta. Bersama mama dan ketiga adiknya, mereka menyusul sang ayah yang berdagang babi di Pasar Blok A. Di Jakarta, Eva dan adiknya tak tinggal diam. Ia membantu mamanya menyelesaikan jahitan yang diambil dari konveksi, sementara kedua adiknya ikut bekerja dengan orang lain. Selama di Jakarta, kelimanya hidup menumpang di rumah saudara. “Makanya sekarang kalau lihat orang susah, saya bayangin waktu diri saya susah,” katanya. Eva teringat pengalamannya semasa kecil. “Dikasih baju bekas sama orang aja, kita pake dah senang banget, apalagi dikasih beras, senang banget,” ungkap Eva.

Tidak mudah bagi Eva untuk berubah dari penerima menjadi pemberi bantuan. Kilas balik hidupnya cukup panjang, penuh rintangan dan hambatan. Kisah manis kehidupannya bisa dibilang terjadi setelah memasuki jenjang perkawinan. Sama-sama dilahirkan di kota kecil, Singkawang, Kalimantan Barat, Eva dan Hendro justru tak saling kenal sebelumnya. Jodoh keduanya justru terjalin di Jakarta. Menikah pada usia 21 tahun dengan Hendro Wiyogo, kehidupan rumah tangga mereka penuh keprihatinan pada awalnya. Bermodalkan 2 mesin jahit, mereka membuka konveksi kecil-kecilan. “Kalo lagi sepi order, kita juga bikin sablon atau suami beli sohun besar, bungkus kecil-kecil dan dijual ke pasar,” kata Eva. Keduanya berprinsip, apa yang bisa dikerjakan, mereka kerjakan. Tidak ada rasa malas ataupun gengsi.

Upaya ini tidaklah sia-sia, di usia ke-4 perkawinannya, perekonomian mereka berangsur membaik. Usaha konveksi yang semula dikerjakan sendiri dan dibantu beberapa kerabat, akhirnya berkembang pesat –memiliki 40 karyawan—dan membuka toko di Pasar Jatinegara dan Tanah Abang. Hal ini tak lepas dari prinsip usaha mereka yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan komitmen kepada mitra bisnis. “Kita nggak boleh bohongin orang, kita harus tepat janji dan jujur,” tegas Eva dan diamini suaminya.

Meski sudah mapan, Eva dan suami tetap ikut bekerja bersama para karyawan. “Waktu itu nggak mikirin jadi bos, yang penting usaha,” terang Eva. Bahkan, bisa dibilang keduanya bekerja dua kali lebih berat ketimbang karyawan mereka. Tapi sayang, masa keemasan itu tak lama, tahun 1988, usaha konveksi yang mereka rintis dengan susah payah terpaksa harus gulung tikar. Penyebabnya, selain ditipu rekan bisnis, mereka pun mengalami musibah, 6 toko mereka di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur musnah dilalap si jago merah. Eva dan Hendro pun terbelit utang besar.


Akibat kejadian ini, kala itu Hendro sempat shock dan frustasi. Eva pun berinisiatif mengambil alih kendali dan memulai usaha baru. Beruntung, adiknya yang memiliki usaha jam tangan membantunya dengan menyerahkan 1 toko untuk dikelola—sistem bagi hasil. “Waktu itu bisnis arloji lagi bagus banget. Dan pun, karena kuat kerja ya, saya berani kerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam,” kata Eva. Sejak itu, kehidupan mereka kembali membaik. “Saya nggak tau, berkah dari mana saya majunya cepat sekali,” jelas Eva. Bermula dari 1 toko di Melawai, Jakarta Selatan, hingga kini terus berkembang sampai memiliki 3 toko di Jakarta dan 10 toko yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Setelah melewati 30 tahun masa perkawinan (menikah tahun1978 -red), Eva dan Hendro dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Dodi Hendro (26), Yunita (24), Angela Desica (22), dan Stephanie (18). Keempat anak ini semua tinggal dan bersekolah di Amerika. “Saya kurang sekolah, saya nggak mau anak-anak sampai seperti saya. Bodoh, apa-apa nggak bisa,” ujarnya merendah. Tidak ingin anak-anaknya mengalami masa lalu seperti mereka, Eva dan Hendro memberikan fasilitas pendidikan terbaik, bahkan hingga ke luar negeri. Siapa sangka, ternyata keputusan ini dirasanya tak sepenuhnya benar. “Saya nggak tahu perkembangan anak-anak, tahu-tahu dah gede aja,“ sesal Eva dan Hendro. “Saya tahunya cari uang melulu, jadi berapa bulan baru nengokin. Makanya sekarang kalau ada waktu saya harus nemenin anak,” tambah Eva. Jika pun berhalangan, minimal ayah dan ibu ini saling berkirim sms dengan putra-putrinya di luar negeri.

Sedikit saran, Eva dan Hendro menganjurkan agar para orangtua tidak terburu-buru mengirim anaknya bersekolah ke luar negeri, terlebih jika masih kecil. “Karena kita sudah merasa salah, jangan sampai orang lain ikut salah juga,” himbau Eva. Hal lain yang mengusik batinnya adalah ketika tidak berada di samping putra-putri mereka saat dibutuhkan. “Waktu mereka sakit, kita nggak tahu. Waktu itu kan kita ngejarnya uang jadi nggak kepikir seperti itu. Kadang-kadang nggak sadar anak cerita, waktu dia pernah sakit begini, begitu, wah kita merasa bersalah banget,” sesal Eva. Kesempatan mendidik dan melihat anak-anak tumbuh inilah yang seperti hilang dari kehidupan Eva dan Hendro. “Dulu pikiran saya, segala-galanya harus ada uang. Ada uang, segalanya bisa beres. Ternyata setelah umur segini dan mengenal Tzu Chi, saya sadar, ternyata uang bukanlah segala-galanya,” tegas Eva dan Hendro.

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Dok. Tzu Chi 
Keharmonisan organisasi tercermin dari tutur kata dan perilaku yang lembut dari setiap anggota.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -