Goh Poh Peng
Menanam Kebaikan, Menuai Kebaikan

Goh Poh Peng
Menanam Kebaikan, Menuai Kebaikan

Kepedulian pada perkembangan dan masa depan anak-anak Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, membuat Goh Poh Peng dan relawan pendamping pendidikan lainnya berupaya memberikan ‘harapan’ kepada mereka untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Seperti yang diharapkan oleh Master Cheng Yen bahwa untuk mengubah nasib sebuah keluarga, harapannya terletak pada pendidikan.

Mulanya biasa saja”, kata-kata ini meluncur deras dari Goh Poh Peng, seorang relawan pemerhati pendidikan di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng saat ditanya kesannya saat pertama kali mengenal Tzu Chi di awal tahun 2000. Saat itu wanita kelahiran Medan, 30 Januari 1957 ini merasa belum tertarik. Dua tahun kemudian, temannya yang lain juga mengajaknya menjadi relawan. “Karena waktu itu masih sibuk bisnis, ya udah jadi donatur dulu aja,” katanya.

Jodoh dengan Tzu Chi mulai terajut saat ia mengikuti acara kebaktian Tzu Chi, dimana sesudahnya diadakan sosialisasi tentang Tzu Chi. Saat itulah hatinya terketuk tatkala melihat tayangan video tentang peperangan di suatu negara. “Saya sedih, ternyata di dunia ini memang banyak bencana. Dari situ saya kepikir untuk berbuat banyak kebajikan. Saya harus luangkan waktu,” tekadnya.

Sejak itu Poh Peng mulai aktif mengikuti kegiatan Tzu Chi, dimulai dengan kegiatan baksos kesehatan pada tahun 2004. Setelah aktif berkecimpung, Poh Peng pun mulai menggalang hati (celengan bambu), dimulai dari lingkaran keluarga dan teman-teman dekatnya. Ia juga turut menjadi relawan pendamping pasien penanganan khusus. Bersama Lulu Shijie ia mendatangi rumah-rumah pasien yang ditangani Tzu Chi, mulai dari Jakarta hingga luar kota: Subang dan Yogyakarta. Hatinya terenyuh, dan tekadnya semakin kokoh tatkala ‘bersentuhan langsung’ dengan para pasien ini. Salah satunya pasien yang terkena kanker payudara. “Waktu itu kita datang untuk menghibur dia, tapi bukannya menghibur, saya justru menangis dan malah dihibur sama relawan lain,” kenang Poh Peng.  

Menjadi Relawan Pendamping
Beragam kegiatan Tzu Chi diikuti Poh Peng, mulai dari baksos kesehatan, shou yu (isyarat tangan), survei pasien kasus, hingga menjadi relawan pendamping pendidikan. Belakangan, kegiatan terakhirlah yang paling banyak menyita perhatiannya. Keterlibatan Poh Peng sebagai relawan di misi pendidikan tak lepas dari peran Su Hui Shijie, relawan Tzu Chi asal Taiwan. Karena terkendala bahasa, Su Hui Shijie kerap meminta bantuan Poh Peng untuk berkomunikasi dengan kepala sekolah, guru, maupun murid-murid Sekolah Cinta Kasih. Dalam seminggu paling tidak tiga kali ia hadir. Misi utamanya satu: membuat siswa-siswi Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi menerapkan budaya humanis Tzu Chi, baik dalam tingkah laku, berpakaian, cara makan, hingga pelestarian lingkungan. Ia pun tak merasa terbebani jika yang harus dibimbing ini adalah anak-anak yang dulunya tinggal di bantaran Kali Angke. ”Justru saya merasa kalau anak yang baik kan dah nggak perlu dibimbing lagi, jadi kita bimbing mereka yang memang butuh bimbingan agar memiliki masa depan yang cerah. Itu harapan saya,” tegasnya.

Ada alasan mengapa ibu dari 4 anak ini: Willey Eliot (35), Willey Olivia (33), Willey Wilson (30), Willey Edison (27) memilih fokus di misi pendidikan. Sejak kuliah ia sudah akrab dengan dunia pendidikan. Semasa kuliah ia sudah menyambi mengajar di Taman Kanak-kanak (TK) di sekitar tempat tinggalnya: TK Sutomo, Medan, Sumatera Utara. Lulus dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) ia kemudian menjadi pengajar di sekolah dasar hingga kemudian menikah dan menjadi ibu rumah tangga. “Saya hobby mengajar, jadi saat masuk ke Sekolah Cinta Kasih, saya lihat anak-anaknya perlu bimbingan. Guru kan sibuk mengajar akademis, jadi untuk budaya humanis dan budi pekerti kita bantu mereka,” terangnya. 

Menurut Poh Peng, pada dasarnya setiap anak memiliki sikap yang baik, tinggal bagaimana kita mendidik, mengarahkan, dan membimbing mereka. Poh Peng yakin jika anak-anak Sekolah Cinta Kasih yang mayoritas merupakan bekas warga bantaran Kali Angke pada dasarnya juga merupakan anakanak yang baik, hanya sifat-sifat dan kebiasaan lama sewaktu tinggal di bantaran Kali Angke masih terbawa meski mereka sudah tinggal di lingkungan yang lebih baik.  

Sebagai relawan Poh Peng memiliki keunggulan dibanding guru dalam mendekati murid-murid. Dengan pendekatan yang lebih cair di sela-sela jam sekolah, ia lebih mudah menangguk ‘simpati’ dan kepercayaan. “Anak-anak kadang nggak mau dengar guru mereka. Dengan sentuhan cinta kasih yang Master Cheng Yen ajarkan kepada kita, seringkali dengan cara begitu bisa berhasil, anak menjadi baik,” kata Poh Peng. Ia juga mengenang, “Dulu ada anak yang bandel banget. Menny Shijie, relawan Tzu Chi yang ngajar di kelas budaya humanis hampir nyerah, lari sana-lari sini. Akhirnya saya panggil, ‘kamu kenapa? Kamu mau nggak jadi anak baik? Dia bilang mau. Kalau kamu mau, yuk sama-sama Shigu minta maaf sama Shigu Menny’. Sejak saat itu saya dapat kabar kalau anak itu dah baik, sekarang dia sudah SMP.” Intinya, pendekatan kepada anak-anak Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi harus penuh dengan kasih sayang.  

Mendorong ke Arah yang Lebih Baik
Ada satu prinsip yang mendorongnya bersedia menerima tanggung jawab ini, yakni kepeduliannya terhadap nasib dan masa depan anak-anak. Datang dari latar belakang ekonomi yang memprihatinkan otomatis membuat orang tua dari anak-anak Sekolah Cinta Kasih ini pada awalnya kurang peduli akan “Anak-anak kadang nggak mau dengar guru mereka. Dengan sentuhan cinta kasih yang Master Cheng Yen ajarkan kepada kita, seringkali dengan cara begitu bisa berhasil, anak menjadi baik,” kata Poh Peng pendidikan. Padahal Master Cheng Yen mengatakan, “Untuk mengubah nasib sebuah keluarga, harapannya ada pada pendidikan.” Sangat sulit mengubah perilaku dan nasib warga, sehingga satusatunya harapan yang terbentang adalah melalui pendidikan. Dengan latar belakang pendidikan yang baik maka anak-anak akan dapat meraih cita-cita dan impiannya. Bukan dengan jalur kekerasan, oh Peng justru memilih pendekatan dengan hati kepada anak-anak ini. Salah satunya ketika ia mengajak para siswa dan guru untuk mempraktikkan pola makan sehat dan ramah lingkungan di Sekolah Cinta Kasih. Ini bukan hal yang mudah, tetapi ia dengan gigih mengajak para murid untuk membiasakan diri membawa alat makan sendiri dan makan makanan vegetarian. “Kita jelaskan bahwa makanan vegetarian itu sehat. Makanan vegetarian juga bukan karena ajaran agama tertentu (Buddhis), tapi demi kesehatan dan pelestarian lingkungan,” jelasnya kepada para orang tua murid dan guru. 

Ia sadar jika alat makan yang harus dimiliki anakanak Sekolah Cinta Kasih ini memang cukup mahal bagi sebagian besar murid (warga Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi), karena itulah ia menerapkan budaya menabung bagi anak-anak untuk memiliki alat makan selama setahun. “Dan berhasil, ada orang tua murid yang datang dan bilang kalau dulu anaknya nggak suka makan sayur, tapi sekarang justru doyan makan sayuran. Dia tahu sayur itu makanan sehat.” 

Berbagai cara dilakukan Poh Peng untuk bisa diterima di lingkungan Sekolah Cinta Kasih. Selain merangkul para murid, tentunya ia pun harus bergandengan tangan dengan guru-guru di Sekolah Cinta Kasih. Jika kepada guru ia memberi dorongan motivasi, maka kepada para murid ia melakukan pendekatan yang bersifat perhatian. “Kalau latihan isyarat tangan, saya pasti siapkan makanan untuk mereka. Walaupun belum jam makan, saya selalu siapkan snack. Kalau sudah selesai, saya kasih mereka suvenir. Ini bentuk Gan En saya kepada mereka,” tukasnya.  

Sebagai relawan pendamping, Poh Peng sejatinya adalah ‘kepanjangan tangan’ dari pihak Tzu Chi. Dan sebagai ‘duta’ Tzu Chi di sekolah, ia menggenggam erat misi Tzu Chi untuk menanamkan budi pekerti dan prinsip-prinsip moral dalam diri anak. “Yang ditekankan adalah moral, karena kalau orang moralnya baik, dia selalu punya prinsip bersyukur dan bisa menjadi orang yang baik.”  

Memberi Teladan, Memperoleh Kebaikan Dalam sebuah organisasi, datang dan perginya anggota tentu menjadi hal yang lumrah. Perbedaan pandangan, gesekan di lapangan, maupun keinginan untuk berpindah hati kerap menjadi alasan utama untuk pergi. Tetapi tidak bagi Poh Peng, selama hampir 8 tahun berkiprah di Tzu Chi ia justru makin merasa bahwa ia berada di jalan yang benar. “Yang bikin mau terus gabung di Tzu Chi itu karena aku rasa ikut Master Cheng Yen itu sudah tidak salah buat kehidupan saya kali ini. Master mengajarkan banyak sekali. Dulu mungkin pikiran saya adalah terus mengejar materi, orang lain punya, saya juga harus punya. Tapi, sekarang saya bisa merasakan kepuasan hati dengan apa yang sudah saya miliki,” jelasnya. 

Bagi Poh Peng, Master Cheng Yen adalah sosok guru yang sempurna: penuh welas asih, bijaksana, dan luar biasa dalam membimbing murid-muridnya. Dan dengan mengikuti ajaran Master Cheng Yen dan kegiatan Tzu Chi ini membawa perubahan positif pada dirinya. “Dulu saya emosian, sedikit masalah aja sudah marah. Sekarang, selalu tahan diri, melatih diri, apalagi dah pake seragam,” terangnya, “kehidupan saya juga lebih bermakna. Why? Karena saya merasa hidup saya nggak sia-sia. Saya hidup nggak cuma untuk diri sendiri dan keluarga saya aja, tapi juga bisa membantu orang lain.” 

Di dalam keluarga, sikapnya pun berubah drastis. Yang kasat mata adalah sikapnya yang kini lebih sabar dan ramah. “Dulu kalau suami ngomong sepatah kata, saya bisa 10 patah kata,” ujarnya sambil tersenyum. Tapi setelah banyak mendengar ceramah dan buku-buku Master Cheng Yen, ia lebih sabar dalam menghadapi sang suami. “Sekarang dah dengar Master Cheng Yen, kalau suami marah, kita mesti bersyukur, berarti dia masih sehat masih bisa marahin kita.” Sikap dan pembawaannya pun memengaruhi dalam kesehariannya berbisnis. “Dulu waktu nangani pabrik konveksi di Medan, kalau liat sedikit yang nggak enak di hati langsung tegur, dan bahkan bisa terbawa emosi sampai ke rumah,” tegasnya.  

Jatuh Bangun dalam Bisnis Sejak kecil bisa dibilang hidup Poh Peng serba berkecukupan. Ayahnya memiliki toko sepeda yang cukup maju dan besar di zamannya. “Aku boleh dibilang keluarga yang tidak kekurangan. Mau apa, ada. Orang belajar piano saya belajar piano,” kata anak ke-6 dari 8 bersaudara ini. Masa kecil praktis dilaluinya dengan penuh sukacita dan kebahagiaan. Begitu pula saat ia melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mengambil jurusan Sastra Inggris di Universitas Islam Sumatera Utara, Poh Peng juga menggunakan waktu luangnya untuk mengajar anak-anak TK. “Saya memang menyukai anak-anak,” tandasnya.  

Menikah pada tahun 1977, Poh Peng dikarunia 4 orang anak. Sejak menikah Poh Peng memutuskan untuk berhenti mengajar dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Sang suami berbisnis di bidang konveksi, pembuatan baju dan celana bayi. Bisnisnya semakin lama semakin berkembang hingga memiliki lebih dari 50 orang karyawan. Di tahun 80-an, sang suami mulai mencoba mengembangkan bisnis di Jakarta. Atas ajakan sang teman, ia pun berbisnis “Dulu saya emosian, sedikit masalah aja sudah marah. Sekarang, selalu tahan diri, melatih diri, apalagi dah pake seragam,” terangnya, “kehidupan saya juga lebih bermakna. Why? Karena saya merasa hidup saya nggak sia-sia. Saya hidup nggak cuma untuk diri sendiri dan keluarga saya aja, tapi juga bisa membantu orang lain.”  

mesin-mesin untuk laundry. Sementara sang suami mencoba peruntungan di Jakarta, Poh Peng yang kala itu merasa sayang jika usaha yang sudah dirintis suaminya ditinggalkan begitu saja memutuskan untuk memegang kendali pabrik konveksi. Sambil mengasuh anak-anak, Poh Peng pun mulai memegang kendali pabrik konveksi. “Saat suami pulang-pergi Jakarta–Medan, saya pikir kalo usaha ini dihentikan sayang, soalnya sudah berjalan,” ungkapnya. Apalagi mereka sudah memiliki banyak pelanggan tetap. 

Namun ‘untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak’. Usaha konveksi yang dirintis dengan susah payah ludes seketika dilalap api pada tahun 1989. Akibat kecerobohan salah satu karyawannya maka ruko yang dijadikan pabrik sekaligus tempat tinggal bersama itu pun hangus terbakar. “Akibat karyawan nggak hati-hati, colokan listriknya korslet,” terang Poh Peng.

Menghadapi musibah itu, Poh Peng pun sempat ‘down’, namun ia mengambil hikmah dari kejadian ini, bahwa ia memang harus menyusul sang suami yang tinggal di Jakarta. “Jujur saat kebakaran awalnya saya down banget. Orang tua dan keluarga mendukung, ‘nggak papa, harta kan bisa dicari yang penting kalian semua selamat dan sehat’,” kata Poh Peng mengulang dukungan keluarga padanya kala itu. Beruntung usaha yang dirintis suami di Jakarta berkembang, dan bahkan sudah berhasil memiliki tempat tinggal sendiri. Meski kala itu masih mampu untuk membangun kembali usahanya, tetapi kali ini Poh Peng lebih memilih mengikuti saran dari orang tua dan keluarga. “Nggak diterusin? Suami di Jakarta, jadi keluarga sarankan saya untuk menyusul ke Jakarta. Mungkin ini jalannya, kalau nggak kebakaran mungkin saya masih di Medan,” tandasnya.  

Di Jakarta, Poh Peng tidak langsung berpangku tangan. Bersama sang kakak dan temannya ia pun mulai mencoba merintis usaha konveksi lagi. Kali ini keterlibatan Poh Peng tak terlalu dalam, ia tak terlalu mengontrol perusahaan karena sudah ada yang menangani. Terlebih anak-anaknya kala itu sudah besar dan membutuhkan perhatian yang lebih. “Anak paling besar SMP, dan yang lain TK, jadi nggak konsen dan nggak berkembang,” ujarnya. Setelah berjalan beberapa tahun, terjadi kerusuhan besar. Meski tak kena jarah dan dirusak, namun Poh Peng memilih untuk tak melanjutkan kembali usahanya. “Kebetulan juga nggak untung. Lihat begitu kecewa karena nggak ditangani sendiri,” sesalnya.

Gagal berbisnis konveksi di Jakarta, Poh Peng sempat vakum dari aktivitas bisnisnya. Terlalu lama berdiam diri di rumah membuat Poh Peng yang terbiasa beraktivas pun merasa jenuh. Atas ajakan seorang teman ia pun kemudian membuka usaha toko roti. Meski kala itu masih buta tentang usaha roti, ia tetap percaya diri. “Sudah mau jalan, tempatnya dah mau dibangun, teman saya bilang kalau nggak bisa join. Sudah terlanjur, jadi ya tetap jalan aja,” ujarnya seraya tersenyum.  

Sewaktu menjalankan usaha ini, Poh Peng sudah semakin aktif dan mengenal Tzu Chi. “Waktu itu, saya kayaknya cari uang dah nggak terlalu ngotot banget. Yang penting buat saya anak-anak yang kerja ini ada kerjaan (penghasilan),” tuturnya. Dan akhirnya karena tak berkembang, usaha ini pun kemudian ia tutup.  

Disiplin dan Perhatian
Gagal dalam berbisnis, tidak demikian halnya dengan keluarga. Bisnis suami terus berjalan, dan ketiga anaknya pun telah hidup mandiri dan sukses di bidangnya masing-masing. Di balik kesuksesan seorang suami dan anak-anak, tentulah ada tangan seorang istri dan ibu yang berjasa membuatnya menjadi kenyataan  

Dalam mendidik anak-anak Poh Peng pun sangat disiplin. Ia tidak pernah memanjakan atau memberikan sesuatu kepada anak-anak secara berlebihan. “Aku karena mungkin mantan seorang guru, jadi mendidik anak-anak dengan sangat disiplin,” kenangnya. Ia tak sembarangan mengabulkan permintaan anakanaknya.  

Ada satu pepatah yang sangat baik dalam mendidik anak: “Berikanlah anak-anakmu uang yang tidak terlalu banyak, sehingga ia tidak merasa bisa melakukan apapun. Dan jangan berikan anakmu uang terlalu sedikit sehingga ia merasa tidak bisa melakukan apa-apa.” Agar anak bisa sukses yang paling penting adalah perhatian dan dukungan orang tua kepada mereka. “Apa yang mereka minta dan saya rasa memang perlu dan penting saya akan selalu usahakan. Jadi mereka merasa dah nggak khawatir lagi dalam kehidupan, jadi tinggal tugas mereka belajar aja di sekolah dan di rumah,” ujarnya.  

Kedekatan emosional anak dan orang tua juga turut berperan dalam membentuk karakter kepribadian seorang anak, karier, dan juga masa depan mereka. “Kayak anak saya yang pertama, dia bisa jadi dokter itu mungkin karena terinspirasi dengan cerita saya. Saya dulu bilang ama dia, ‘mama dulu pengen jadi dokter, tapi nggak kesampean, kamu mau terusin cita-cita mama’. Kita bisa katakan dengan lembut maka pengaruh-pengaruh positif itu akan terus merasuk ke dalam jiwa anak. Kalau kita kasar justru mereka akan menolak. Nah, begitu juga yang saya lakukan pada anak-anak di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi ini.”  

Pendidikan yang diberikan oleh Tzu Chi adalah pendidikan untuk menjadikan manusia seutuhnya, tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan (akademis) dan keterampilan semata, tetapi juga mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan kemanusiaan kepada para siswanya. Hal ini akan terwujud jika para guru dan relawan melakukannya dengan penuh sukacita dan kesungguhan hati, seperti kata Master Cheng Yen: Membimbing dengan prinsip kebenaran, Membina akhlak yang mulia, Mendidik perilaku penuh tata krama, dan Mewariskan jalan kebenaran.  

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Anand Yahya, dan Apriyanto, Dimin (He Qi Barat)
Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -