Hendra Tanumihardja: Relawan Tzu Chi Jakarta
Indahnya Menjalani Masa Tua yang Bermakna


Tak berlebihan kiranya menyebut Hendra Tanumihardja sebagai sosok teladan. Di usia 75 tahun, kakek dari dua cucu ini masih semangat membaktikan hidupnya di kegiatan amal dan kemanusiaan Tzu Chi. Berikut ini sekelumit kisah hidupnya.

*****

Tiga hari dalam sepekan, Hendra Tanumihardja menjalankan perannya sebagai relawan pemerhati yang mendampingi pasien di Tzu Chi Hospital PIK dan Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng. Di hari berikutnya Hendra mengoordinir kegiatan misi amal di komunitasnya, He Qi Barat 2. Boleh dibilang 75 persen waktunya dicurahkan di Tzu Chi.

“Setua ini rasanya kok masih dibutuhkan orang. Bukan dibarengi kesombongan ya, bukan merasa dibutuhkan, ibarat mobil tua tapi masih fit di jalan,” tutur Hendra tersenyum.

Dengan kemampuan bahasa Mandarinnya, Hendra banyak membantu pasien dari Tiongkok yang kebetulan bekerja di Jakarta tapi belum lancar berbahasa Indonesia. Ia menemani pasien mulai dari pendaftaran, menemani saat bertemu dokter, hingga menjelaskan petunjuk meminum obat. Mendampingi para pasien sejak pukul delapan pagi tak terasa tahutahu sudah sore.

“Rumah sakit itu ladang pelatihan diri. Lahir ada di situ, sakit, tua, menderita, meninggal, semua ada di situ. Jadi ini tempat yang kalau ibarat tanah itu subur untuk belajar,” katanya.

Para pasien dan keluarga pasien tak akan kebingungan berada di Tzu Chi Hospital karena para relawan pemerhati seperti Hendra selalu stand by untuk membantu dan memberikan informasi. Termasuk bagi pasien yang tak mahir berbahasa Indonesia dan hanya bisa berbahasa Mandarin, ada Hendra yang siap membantu.

Hampir lima tahun terakhir Hendra mengemban tugas sebagai Ketua Misi Amal di komunitas He Qi Barat 2. Di misi amal, banyak orang sakit yang meminta bantuan Tzu Chi, ia pun turut mendampingi termasuk saat mengantar ke dokter. Sebagai ketua misi amal, Hendra juga membina para relawan agar paham cara menjalankan kegiatan di misi amal sesuai prosedur.

“SOP ini memang tidak kaku, tapi kita harus terapkan semua ajaran dari Tzu Chi. Secara pertimbangannya juga, kenapa kita mesti begini, mesti begitu. Kan kita dasarnya welas asih tapi bukan artinya kita memanjakan orang, kita ada simpati, kita ada juga empati, saatnya kapan kita mesti terapkan supaya yang baru-baru jadi relawan bisa menjalankannya. Sebisa mungkin jangan salah dari semula. Kalau kita biarkan kan makin lama makin melenceng,” terang Hendra.

Bermulai dari Menonton Serial di DAAI TV
Perkenalan Hendra dengan Tzu Chi bermula tahun 2008 saat menonton tayangan DAAI TV. Ada serial berbahasa Hokkien yang sangat ia suka. Cerita berlatar kehidupan orang desa yang sederhana membuat Hendra tak jemu menontonnya. DAAI TV juga menayangkan kegiatan Tzu Chi Indonesia. Ia pun penasaran apa itu Tzu Chi.

Setelah dapat informasi, Hendra mendatangi Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng yang saat itu mengadakan kegiatan pelestarian lingkungan dan pembagian bantuan beras pada warga yang kesusahan. Sebuah kegiatan yang sangat positif, kesan Hendra. Ia pun mau saja ketika diajak mengikuti sosialisasi tentang Tzu Chi dan berlanjut mengikuti pelatihan relawan Tzu Chi.

“Tahun 2009 akhirnya pakai seragam Tzu Chi. Setelah pakai seragam sudah beda perasaannya, merasa sudah di tempat yang resmi. Sebenarnya begitu pakai seragam, ikut kegiatan juga tidak terlalu pemilih. Diajak ke amal ya jalani. Nah waktu itu yang ajak saya Shixiong Johnny Chandrina. Dia termasuk yang menginspirasi saya,” ujarnya.

Hendra mendampingi Engellie, salah satu penerima bantuan Tzu Chi yang kala itu menderita stroke di usia belia.

Hendra dilantik menjadi relawan komite pada November 2016. Sejak menjadi relawan Tzu Chi, banyak perubahan pada pola pikir Hendra. Salah satunya, ia jadi mudah memahami keadaan orang lain. Sedangkan dulu, Hendra seakan tak peduli dan mudah marah.

“Kami kan banyak menemui masalahmasalah, dan di Tzu Chi kan banyak orang. Boleh dibilang kalau dulu kita banyak teman, tapi dalam pergaulan lebih dekat itu tidak sebanyak ini. Dari relawan semua komunitas bertemu, menyapa. Jadi gesekan sebisa mungkin tidak ada,” tuturnya. Menghindari gesekan dengan orang lain, ini juga yang membuat Hendra ‘awet’ berada di Tzu Chi. Ditambah juga dengan Hendra yang senang terjun di tengah masyarakat ketimbang berdiam diri di rumah.

Kata Perenungan Master Cheng Yen juga mengubah sikap dan perilaku Hendra menjadi lebih berwelas asih. “Mula-mula saya biasa saja dengan Master Cheng Yen, tapi makin kemari merasa beliau sangat istimewa. Ternyata apa yang beliau ajarkan kepada kita kelihatannya simple, tapi benar-benar ada,” katanya. Hendra pun merujuk pada ucapan Master Cheng Yen tentang Tiga Tiada. Yakni Tiada orang yang tidak kupercayai, tiada orang yang tidak kucintai, dan tiada orang yang tidak kumaafkan.

“Suatu hari saya pulang sendiri, di atas jam 11 malam, masuk jalan tol, jalan tol ada 2 pintu, yang satu ada mobil berhenti karena tidak bisa lewat. Saya masuk ke pintu yang satu lagi. Tapi saat mobil saya mendekati untuk tap kartu, dia bilang, ‘Pak bisa tolong nggak, saya ini kehabisan’. ‘Oh iya sebentar’. Saya ingat Kata Perenungan Master Cheng Yen tentang tiada orang yang tak kupercayai. Tapi kalau dulu, saya tinggal, saya tidak mau, saya juga takut kan. Jadi jalani tiada orang yang tak kupercayai saja,” ceritanya.

Lain Dulu, Lain Sekarang
Bila saat ini kehidupan Hendra berlimpah berkah karena bisa membantu banyak orang melalui tanggung jawab yang diembannya, siapa sangka kehidupan Hendra yang dulu sangat bertolak belakang. Hendra dahulu bekerja sebagai humas (hubungan masyarakat) di sebuah klub judi tak berizin selama 20 tahun. Ia banyak berurusan dengan pihak-pihak agar klub judi tersebut bisa terus beroperasi. Tapi lucunya, Hendra sama sekali tak tertarik untuk berjudi.

Hendra bersama para relawan dari He Qi Barat 2 yang kompak saat bebersih Aula Jingsi. Dalam berkegiatan Tzu Chi tak penah sekalipun Hendra mengeluh, bahkan selalu enjoy.

“Bukanmarketingya,malahkalaudi lapangan ketemu teman, saya bilang ‘ngapain main, nanti bangkrut, sudah pulang saja,” katanya. Hendra lalu meninggalkan pekerjaannya itu pada tahun 2003, atau lima tahun sebelum mengenal Tzu Chi.

“Dulu saya beresin urusan, semua pakai uang. Apa yang enggak? Tapi di Tzu Chi tidak pakai uang, tapi mesti bereskan urusan. Ini yang beda. Ini yang saya belajar dari Tzu Chi bahwa tak semuanya harus pakai uang,” katanya. Dulu, dengan anggapan semua bisa diselesaikan pakai uang membuat Hendra merasa sombong. Bahkan kadang kurang menghargai orang lain.

“Bersyukur saya di Tzu Chi karena kalau tidak di Tzu Chi, saya hari ini tidak tahu di mana. Bersyukur untuk masa tua saya itu ada tempat untuk menjalani masa tua. Kalau saya lihat banyak orang lain diam di rumah, tidak tahu mau ngapain. Tapi di sini saya bersukacita, banyak teman, banyak kenalan, saya bilang hoki amat sih saya jadi orang, termasuk masih sehat, masih bisa jalan,” ujarnya.

Ada satu kebetulan yang membuat Hendra tersenyum jika mengingatnya. Sewaktu dulu masih remaja, Hendra pernah membayangkan punya rumah sakit supaya bisa memberikan pengobatan bagi orang-orang yang tak punya biaya berobat. Tapi seiring waktu angan-angan itu hilang karena ia bukan seorang dokter atau tenaga medis.

“Nah pada satu saat ketika lagi di Tzu Chi Hospital, saya teringat. Oh iya ya saya pernah pikir seperti itu,” Hendra tersenyum. “Jadi saya di sini juga merasa ini rumah sakit saya sendiri. Bisa ke sini, bisa ke sana untuk bantu pasien,” pungkasnya penuh Syukur.

Penulis: Khusnul Khotimah
Fotografer: Arimami Suryo A., Khusnul Khotimah
Kita harus bisa bersikap rendah hati, namun jangan sampai meremehkan diri sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -