Herman
Harus Berbuat Lebih Banyak
Menyaksikan serial drama Da Ai TV membuat saya bertanya-tanya apa benar ada kehidupan seperti itu? Pertanyaan ini muncul di benak saya karena biasanya, seperti drama lainnya, semua itu hanyalah karangan belaka.
Inilah yang membuat saya penasaran dan mulai mencari informasi di internet. Setelah membuka website Tzu Chi, saya memberanikan diri mengirim e-mail untuk mengetahui lebih lanjut tentang Tzu Chi, dan saat itu dijawab oleh Angela Chai, seorang relawan Tzu Chi Taiwan. Angela memberitahu bahwa di Indonesia sudah ada Yayasan Tzu Chi yang berpusat di Jakarta, berikut alamatnya.
Sewaktu tugas di Jakarta, saya menyempatkan diri berkunjung ke kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Berbagai informasi saya dapatkan dan pada saat itu juga saya menetapkan diri menjadi donatur tetap Tzu Chi. Pada suatu ketika, saya bertanya kepada salah seorang relawan Tzu Chi Jakarta, apakah di Bali sudah ada relawannya? Akhirnya saya mendapatkan sebuah nama, yakni Catherine shijie. Sesampainya di Bali, saya menelepon Catherine dan mendapat informasi kalau pada hari itu diadakan bazar penggalangan dana untuk Tzu Chi. Saya pun langsung menuju lokasi tersebut dan berkenalan dengannya. Sejak saat itu, saya sering ditelepon untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi Bali. Saya selalu menyanggupi karena rasa penasaran akan Tzu Chi ini masih ada di hati. Setiap kegiatan Tzu Chi selalu saya ikuti.
Pertanyaan dan keragu-raguan saya terhadap Tzu Chi mulai terjawab ketika mengikuti acara TIMA (Tzu Chi International Medical Association) tahun 2005 di Bali. Di sana saya menyaksikan film dokumenter Tzu Chi dan sharing dari anggota TIMA yang membuka mata saya. Hal itu semakin memantapkan tekad saya untuk menjadi relawan Tzu Chi.
Di tahun yang sama terjadi peristiwa yang sangat memilukan, bom Bali kedua terjadi di Jimbaran. Secara spontan tangan saya meraih telepon dan mencari tahu apakah Catherine dan Santi yang tinggal di daerah itu dalam keadaan baik-baik saja.
Beruntung keduanya baik-baik saja. Di hari yang sama, saya mendapat telepon dari Ji Lu, relawan Jakarta yang menyarankan agar relawan Bali memberi perhatian pada korban pemboman. Dari sini kemudian saya berkenalan dengan relawan Tzu Chi lainnya, yakni Sappho yang banyak mengajarkan tentang Tzu Chi.
Saya sangat terkejut dengan peristiwa ini. Saya tidak menyangka Bali yang saya kira aman bisa juga terjadi hal yang mengerikan. Tekad untuk menjadi relawan pun semakin bulat dengan mengikuti pelatihan relawan di Jakarta.
Pada suatu ketika, saya beserta relawan Tzu Chi dari seluruh Indonesia lainnya pergi ke Hualien, Taiwan. Di sana saya benar-benar tersentuh akan kinerja Tzu Chi selama ini, terlebih setelah mendengar ceramah Master Cheng Yen secara langsung. Dari ceramah Master Cheng Yen ini saya langsung berpikir jika Bali adalah ladang kebajikan yang sangat luas dan saya pun bertekad membantu Master Cheng Yen agar beliau tidak perlu merasa risau.
Di Bali, saya lebih banyak berkonsentrasi di bagian kasus (penanganan pasien khusus –red). Banyak yang saya pelajari selama di Tzu Chi. Saya akhirnya menyadari bahwa hidup itu tidak kekal dan harus menghargai setiap detik dalam kehidupan kita. Hal yang paling menyenangkan adalah ketika melihat kebahagiaan pasien setelah sembuh dan berkumpul kembali dengan keluarganya.
Saya menetap di Bali sejak tahun 1993. Banyak hal yang terjadi pada diri saya, seperti jatuh bangun dalam bisnis ataupun akrab dengan dunia gemerlap. Tetapi setelah bergabung di Tzu Chi, saya mulai sadar akan penting dan berharganya hidup kita, dan terpikir kalau uang yang saya hambur-hamburkan itu akan lebih baik jika saya gunakan untuk kebaikan dan membantu sesama.
Menurut istri saya, sekarang saya lebih sabar dan penyayang. Di tempat kerja, saya juga mulai bisa memercayai pegawai untuk memegang tanggung jawabnya masing-masing. Dulu saya adalah orang yang keras kepala, dimana semua hal harus diputuskan dan disetujui oleh saya.
Saya masih tetap aktif di Tzu Chi adalah juga berkat dukungan istri dan anak-anak. Mereka tidak pernah komplain kalau saya kadang-kadang menghabiskan lebih banyak waktu di Tzu Chi daripada dengan mereka. Saya selalu menjelaskan apa yang saya lakukan di Tzu Chi dan mereka sangat senang mendengarkannya.
Dukungan dari relawan-relawan di Bali juga sangat besar. Catherine, Sappho, Khimberly, dan Lili pernah berkomentar, “Shixiong (kakak laki-laki –red), kamu sekarang sudah berubah banyak lho!” Saya bertanya, ”Apanya?” “Kamu lebih bahagia dan penuh welas asih, terlebih pada keluarga dan pasien-pasien Tzu Chi,” jawab mereka. Dalam hati saya berpikir, mungkin inilah yang dimaksud Master Cheng Yen bahwa pada saat kita menolong orang lain, sebenarnya kita telah menolong diri kita sendiri.
Seperti dituturkan kepada Leo Samuel Salim
Foto : Leo Samuel Salim