Iea Hong
"Kebahagiaan Itu Mengalahkan Rasa Sakit"
Sejak kecil saya sudah belajar dan mendalami ajaran Buddhis. Hal ini yang kemudian membuat saya setelah dewasa aktif membentuk Komunitas Buku Dharma. Tujuannya adalah waktu itu untuk menggalakkan minat membaca buku Dharma di kalangan umat secara online. Jadi kita mencari donatur untuk membeli buku-buku Dharma dan kemudian dipinjamkan kepada orang secara gratis. Bahkan biaya pengiriman pun kita yang menanggung.
Saya juga sering melakukan debat via online dengan berbagai macam orang, baik dari kalangan Buddhis maupun umat agama lain. Debatnya sifatnya non formal. Sampai suatu ketika, rekan debat dari agama lain bertanya, “Oke yang kamu terangkan di situ sangat bagus, tapi apa yang sudah umat Buddha lakukan (untuk masyarakat)? Dari situ saya mengaku “kalah”, karena meski secara teori bagus, tapi di dalam praktiknya saya menganggap saya kalah dengan dia yang memang dalam agamanya praktik kemanusiaannya sangat bagus. Dari sini saya berpikir, mempelajari teori penting, tetapi mempraktikkan ajaran Buddha juga penting.
Saya pun kemudian mulai mencari yayasan yang mengarah ke praktik. Kebetulan saat itu saya menonton DAAI TV bersama rekan saya Benny, dan merasa cocok dengan misi-misi yang dijalankan Tzu Chi. Tapi waktu itu belum memutuskan untuk bergabung. Sampai kemudian saya menyaksikan ceramah Master Cheng Yen, dan beliau mengatakan, “Saya sudah membuka ladang berkah ini, apa yang kalian tunggu.” Jadi seolah-olah Master Cheng Yen sedang berbicara dengan saya. Akhirnya saya pun kemudian langsung mendaftar menjadi relawan Tzu Chi.
Keterbatasan Bukan Halangan
Meski saya mengalami keterbatasan fisik, tetapi itu tidak menghalangi niat saya bersumbangsih di Tzu Chi. Sejak lahir saya mengidap sakit Ankylosing spondylitis (rematik sistemik). Ini menyebabkan peradangan pada tulang belakang dan sendi-sendi. Saat kecil, penyakit ini menyerang bagian kaki dan tangan hingga membuat saya terkadang tidak bisa bangun dan bergerak. Pernah satu kali sekitar dua minggu tidak bisa bangun sama sekali tidak bisa gerak, jadi kalau gerak itu sakitnya luar biasa. Satu minggu itu saya di kamar tiduran tidak bisa gerak, buang air kecil di situ mau makan semua di situ. Setelah dewasa, mulai merambat ke punggung sehingga postur tubuh saya cenderung menekuk ke depan. Meski sudah menjalani berbagai pengobatan tradisional, ternyata sakit itu tak kunjung hilang.
Karena keterbatasan fisik ini akhirnya membuat saya tumbuh menjadi sosok yang penyendiri dan pendiam. Saya cenderung menutup diri, sehingga tidak banyak memiliki teman. Terkadang banyak orang yang menatap saya karena cara jalan saya yang lambat dan pincang. Ini membuat saya minder dalam pergaulan. Saya cenderung menutup diri sehingga tidak memiliki banyak teman, baik di sekolah maupun rumah.
Saya mulai terjun menjadi relawan Tzu Chi di awal tahun 2010. Saya memilih Tzu Chi karena di Indonesia jarang sekali ajaran Buddhis yang menjalankan praktik ajaran, praktik di dalam Bodhisatwa itu hanya sedikit. Selain itu saya juga sejalan dengan pemikiran Master Cheng Yen. Beliau lebih menerapkan Dharma ke dalam kehidupan nyata, dan membuat ajaran Buddha itu membumi, mudah dijalankan.
Pertama kali ikut kegiatan Tzu Chi saya ikut kegiatan daur ulang di Depo Pelestarian Lingkungan Muara Karang. Saya kemudian juga sempat menjadi relawan logistik, relawan pemerhati di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, dan kemudian relawan di bagian penanganan pasien pengobatan khusus Tzu Chi.
Awalnya tidak mudah untuk menjadi relawan Tzu Chi, karena saya harus naik motor (dibonceng teman-red) dan itu membuat saya harus menahan rasa sakit sampai keluar keringat dingin. Tapi begitu di lapangan, melihat orang yang sakit dan dibantu itu sembuh, rasa sakit itu hilang dengan sendirinya. Selama kurang lebih dua bulan rasa sakit saya berkurang 90%. Mungkin karena mengurusi orang sakit jadi lupa penyakit sendiri.
Saya merasa kebahagiaan mengalahkan rasa sakit. Jadi walaupun sakit, selama 2 bulan itu saya hampir setiap hari keluar rumah mengunjungi para pasien. Kita sering ketemu sesama relawan, orang-orang, dan para pasien yang dibantu, dan kita banyak tersenyum dan bergembira. Sebenarnya kita dapat lebih banyak daripada orang yang kita bantu. Setiap orang punya penyakit masing-masing, baik fisik maupun batin. Dari situ saya merasa penyakit itu adalah hal yang wajar, yang penting bagaimana kita menjalankan hidup supaya bisa berguna bagi orang lain. Manfaat lain yang saya dapat setelah menjadi relawan Tzu Chi adalah saya kini jadi banyak bergaul dan memiliki banyak teman. Jika dulu saya hanya bergaul dengan komputer, kini saya memiliki banyak teman dan sahabat. Saya juga sudah dapat mengendarai motor, sesuatu yang dulu tidak pernah saya bayangkan dengan kondisi fisik seperti ini.
Berbagi Kisah Inspirasitif
Selain mendampingi para pasien pengobatan khusus Tzu Chi, saya juga mencoba mendokumentasikan (foto) dan menuliskan kisah-kisah perjuangan mereka untuk dikirimkan ke media cetak Tzu Chi. Saya terpanggil untuk menjadi Relawan Zhen Shan Mei (Dokumentasi) karena saat di lapangan saya melihat penderitaan dan perubahan-perubahan hidup orang yang dibantu Tzu Chi ke arah yang lebih baik. Tetapi, karena jarang ada relawan (bakti amal) yang mendokumentasikannya saya pun berinisiatif untuk merekam jejak cinta kasih ini. Menurut saya, sesuatu yang baik (kisah-kisah inspiratif) ini harus dibagikan kepada orang lain. Khususnya di Indonesia, ini bisa mengambarkan ternyata di zaman ini masih banyak orang-orang yang mengulurkan tangan untuk membantu orang lain.
Saya tidak memiliki background penulis ataupun fotografer, tetapi saya berkeinginan kuat untuk berbagi kisah ini kepada relawan dan masyarakat. Pada dasarnya saya sangat suka membaca buku, jadi saya pikir dari pengalaman membaca ini mungkin juga bisa dipakai untuk menulis. Dari situ saya coba-coba menulis, dan ternyata cukup menyenangkan. Karena setiap kali kita menulis, misalnya kita sedang badmood, tapi saat kita menulis kita harus menulis sesuatu yang baik, sesuatu untuk menginspirasi orang lain, nah pada saat itu badmood kita hilang. Kita kembali ke hal-hal yang baik, karena yang kita tulis harus hal-hal yang baik.
Bagi saya fungsi dokumentasi itu sangat penting, karena kejadian penting apapun itu hanya sekali terjadi, jika tidak dicatat, dan sudah lewat maka orang akan lupa. Tapi kalau kita catat dan dokumentasikan bisa dipakai untuk menjadi pengalaman dan pembelajaran orang lain di masa depan. Sejarah itu perlu dicatat, mungkin seratus tahun lagi, apa yang kita tulis bisa menjadi ‘emas’ bagi generasi berikutnya, bahwa di masa itu ternyata banyak manusia yang saling tolong menolong dan membantu satu sama lain.