Joe Riadi
Berjodoh di Tempat yang Tepat

Diperlukan kesungguhan hati dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang dilanda musibah. Maka demi alasan kemanusiaan, Joe Riadi memberikan waktu dan tenaganya tanpa rasa penyesalan.

siang itu cuaca terasa terik menyinari muka bumi.  Beberapa relawan Tzu Chi berseragam biru  putih, abu putih, dan berompi cokelat tengah sibuk menyusuri jalan berangkal batu mengangkut  berkarung-karung beras untuk diserahkan kepada  warga kurang mampu di Kampung Belakang, Kamal, Jakarta Barat. Joe Riadi lelaki paruh baya berwajah damai yang biasa dipanggil Ayao ikut sibuk dalam barisan relawan berompi cokelat. Ia mengangkut  karung dan menyerahkannya kepada setiap warga yang antri di depannya. Meski pekerjaan itu kasar dan berat tapi Ayao terus bersemangat melakukannya, ia berharap ada perlimpahan jasa di balik semua yang telah ia lakukan untuk almarhum istrinya. “Semua saya lakukan demi kebaikan, semua saya lakukan demi pelimpahan jasa untuk orang yang saya cintai,” kata Joe Riadi mengenang.

 

Kakak yang Penuh Tanggung Jawab
Ayao bertubuh gemuk dan berwajah kalem keayahan. Penampilannya terlihat lebih sederhana daripada posisinya sebagai seorang pemimpin perusahaan. Ia senang berbicara seadanya dengan tema-tema yang merakyat. Ia senang membuat segala sesuatu menjadi rapi. Ia juga senang membuat persiapan dengan baik sebelum mengerjakan sesuatu. Ayao lahir sebagai anak kedua dari delapan saudara. Masa kecil Ayao banyak dihabiskan dengan urusan rumah tangga, ia rajin membantu ibunya untuk mengantar makanan ke pabrik ayahnya di daerah Krendang, Jakarta Barat. Jika diberi uang saku Ayao selalu menabungnya hingga membuat ia menjadi sosok yang mandiri dan hemat. Ketika sepeda menjadi kendaraan yang popular di zaman itu, Ayao sudah memilikinya yang dibeli dari hasil menabung. Saat menginjak dunia remaja Ayao tumbuh menjadi siswa yang berprestasi. Nilai akademisnya tergolong baik dengan hasil yang memuaskan. Kendati demikian impiannya untuk sukses di bidang akademis tak semulus yang ia harapkan. Pada tahun 1973 ayahnya meninggal dunia karena suatu penyakit dan Ayao harus  menggantikan posisi sang ayah untuk mengelola pabrik  mi telur dan menafkahi keenam adiknya. Ketika itu Ayao tahu bahwa ia harus bersikap arif dan menjadi pahlawan bagi hidupnya, juga bagi ibu dan saudara-saudaranya.

 

Karena melihat usaha mi telor yang ditinggali oleh ayahnya belum berskala besar, Ayao yang masih remaja harus rela membanting tulang demi meningkatkan produksi. Berhubung ia masih sangat muda, maka ia berinisiatif bangun pada dini hari untuk membuat adonan mi sebanyak yang ia mampu dan ketika fajar menyingsing para karyawan sudah tinggal melanjutkannya. Strategi ini ternyata membuahka hasil. Dari hanya belasan karung terigu sehari, Ayao kemudian bisa meningkatkan produksi hingga ratusan karung terigu sehari sebagai bahan baku mi. Omzetnya pun meningkat dan Ayao sedikit demi sedikit mulai bisa melunasi hutang-hutang yang ditinggali oleh ayahnya. 


TERUS BERSEMANGAT.Sejak awal Ayao mengikuti Tzu Chi, ia dengan ikhlas menghadapi semua rintangan dan mengubahnya menjadi pelatihan diri. Tidak terhenti sampai di situ, kini setelah lebih dari sepuluh tahun berkecimpung di dunia kerelawanan Ayao berharap semangat cinta kasih dan ketulusan melayani sesama tak pernah pudar dan selalu hidup di hati para relawan.

Bagi Ayao keluarga adalah segalanya dan bak mutiara dari dasar samudera, hingga membuatnya tak pernah letih untuk berusaha agar saudara-saudaranya bisa bersekolah dan mendapat gelar sarjana, kendati ia sendiri hanya tamatan SMP. “Semua adik-adik saya harus bersekolah,” kata Ayao. Dari kerja kerasnya lama-kelamaan usaha Ayao pun berkembang pesat. Meskipun demikian Ayao tetaplah menjadi sosok yang sederhana. Ia selalu mendahulukan kepentingan keluarga meski ia sendiri harus berhemat dan sederhana. Kesederhanaan dan tanggung jawabnnya pada keluarga membuat ia sanggup menyekolahkan, menikahkan, dan bahkan membelikan rumah yang layak kepada keenam adiknya. 

 

Mencari Makna Kehidupan
Menurut Ayao hidup adalah perjuangan yang harus dijalankan. Maka sesulit dan sepedih apapun ia bekerja, Ayao tak pernah mengeluh atau meratapinya. Baginya semua adalah amanah yang harus dijalankan  dengan tanggung jawab. Kendati demikian ketegaran Ayao pernah terguncang saat istrinya meninggal dunia akibat serangan jantung pada tahun 2000. Ketika itu Ayao memandang semua yang ia dapatkan adalah sia-sia. Dan ia pun terus meratapinya.

 

Ditinggal istri membuat Ayao berpikir kalau kehidupannya terasa hampa. Ia lalu mulai mencari makna kehidupan. Hingga pada suatu hari di tahun 2003, dari ajakan seorang teman ia diminta untuk membantu membagikan beras di daerah Kampung Belakang, Kamal, Jakarta, Barat. Dari situlah rasa sepi dan deritanya mulai terobati. Ia mulai menemukan sebuah tempat yang bisa menjadi pelipur lara dan melakukan kebajikan demi pelimpahan jasa bagi orang yang dicintai. Hingga pada tahun 2006, saat jiwanya merasa benar-benar terpanggil untuk kemanusiaan, Ayao menjadi sangat aktif di kegiatan bakti sosial kesehatan, survei bantuan kesehatan, hingga Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi. “Sejak tahun 2006 saya tidak bolong-bolong mengikuti kegiatan Tzu Chi,” jelas Ayao. Tak disangka dari keaktifannya itu Ayao justru menemukan suatu makna kehidupan yang selama ini tidak ia sadari, bahwa masih banyak orang yang tidak mampu dan harus menjalani hidup ini dengan apa adanya. “Saya melihat kepedihan mereka. Hati saya semakin tersentuh,” ungkap Ayo. Inilah titik balik dalam kehidupan Ayao dan dari sini pula Ayao mulai bertekad mempersembahkan hidupnya dalam kegiatan sosial.


Berawal dari sekadar mengisi waktu luang, kini Ayao semakin giat mengemban tanggung jawab yang lebih besar, yaitu menjadi anggota Tim Tanggap Darurat Tzu Chi. Melihat keseriusannya, akhirnya Ayao diberi kepercayaan untuk memimpin Tim Tanggap Darurat Tzu Chi sejak Juli 2010. Mulailah sejak itu Ayao menjejakkan kaki ke daerah-daerah yang terkena bencana ataupun membutuhkan bantuan segera. Semua ia lakukan dengan sepenuh hati. Tak ada kata mengeluh, lelah atau menyerah dalam menghadapi rintangan di lapangan. Meski hari-harinya banyak dipenuhi dengan pekerjaan, tapi saat TTD memanggil ia langsung jalankan dengan kesungguhan hati. Ayao bukanlah tipe yang banyak bicara atau mengeluh. Semua tugas sanggup ia emban dengan tanggung jawab.

Ketika Merapi meletus pada akhir tahun 2010 Ayao bersama sahabat-sahabatnya di Tim Tanggap Darurat Tzu Chi bergegas menghadiri pemakaman para korban letusan Merapi di Desa Umbulharjo, Sleman Yogyakarta. Meski di pemakaman itu dipenuhi orang, tapi suasananya begitu hening. Suara isak tangis dari keluarga korban terdengar bagai nyanyian yang memilukan hati. Seakan tertikam sembilu, hati Ayao kelu menyaksikannya. Dan Ayao pun menyadari, bahwa alam memiliki kekuatannya sendiri di luar batas manusia. Inilah salah satu pelajaran yang ia dapat dari bekerja sebagai relawan TTD. Lalu setelah acara pemakaman selesai ia langsung membesuk beberapa pasien yang terkena awan panas di dua rumah sakit umum di Yogyakarta untuk memberikan santunan dan menghiburnya sebisa yang ia mampu. Setelah itu ia langsung kembali ke Jakarta dan esok harinya kembali mengejar penerbangan menuju Beijing untuk mengurus bisnisnya. Pada kenyataannya tidak semua orang dapat menjadi relawan TTD. Sejumlah syarat dan kriteria harus dipenuhi sebelum seorang relawan ditempatkan dalam suatu tim: sehat jasmani dan rohani, dapat menjalankan tugas sesuai dengan prosedur, serta memiliki integritas tinggi. Dan sampai saat ini Ayao telah membuktikannya semua.


 

MENEMUKAN MAKNA KEhiDUPAN.Dengan mengikuti kegiatan Tzu Chi, Ayao memperoleh banyak pelajaran hidup. Salah satunya adalah bahwa masih banyak orang yang tidak mampu dan harus menjalani hidup ini dengan apa adanya.

Hidup di Hati Setiap Orang
Peristiwa-peristiwa mengesankan lainnya terus menyusul seiring keaktifan Ayao di Tzu Chi. Semuanya bagaikan mozaik peristiwa yang terangkai indah dalam lukisan imajiner Ayao. Pada awal tahun 2013, ketika Jakarta dilanda banjir besar, Tzu Chi langsung mengadakan baksos membantu korban banjir. Kala itu Tzu Chi yang sudah berkantor di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, segera mengerahkan ratusan relawan untuk memasak masakan hangat dan membagikannya ke berbagai titik bencana banjir. Dan Ayao adalah salah satu relawan yang ditunjuk untuk mengemban tugas berat, yaitu mengoordinasikan relawan-relawan yang tergabung di TTD. Kendati demikian ia tidak pernah merasa kelelahan menjalani semua tugas itu meski fisiknya kurang sehat. ”Waktu itu kondisi saya memang kurang fit. Saya mengalami saraf kejepit. Tapi untuk tugas tetap harus saya jalankan. Siang hari saya bersama relawan yang lain mencari informasi lokasi-lokasi yang terkena banjir. Malam harinya kembali membagikan makanan untuk makan malam kepada korban banjir. Waktu itu jelas-jelas saya sedikit tidur, banyak kerja, tapi tetap kuat karena ada semangat,” kenang Ayao.

 

Banyak kisah-kisah menarik yang pernah disaksikan dan dialami oleh Ayao. Tapi semua itu tak cukup diungkapkan dalam kisah yang singkat. Meskipun demikian karya Ayao adalah energi yang membakar semangat siapa saja, khususnya para relawan muda, untuk berkarya dan menebarkan cinta kasih. Sebab sejak awal Ayao mengikuti Tzu Chi, ia dengan ikhlas menghadapi semua rintangan dan mengubahnya menjadi pelatihan diri. Tidak berhenti sampai di situ, kini setelah lebih dari sepuluh tahun berkecimpung di dunia kerelawanan Ayao berharap semangat cinta kasih dan ketulusan melayani sesama tak pernah pudar dan selalu hidup di hati para relawan. 

 

Hidup di Hati Setiap Orang Peristiwa-peristiwa mengesankan lainnya terus menyusul seiring keaktifan Ayao di Tzu Chi. Semuanya bagaikan mozaik peristiwa yang terangkai indah dalam lukisan imajiner Ayao. Pada awal tahun 2013, ketika Jakarta dilanda banjir besar, Tzu Chi langsung mengadakan baksos membantu korban banjir. Kala itu Tzu Chi yang sudah berkantor di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, segera mengerahkan ratusan relawan untuk memasak masakan hangat dan membagikannya ke berbagai titik bencana banjir. Dan Ayao adalah salah satu relawan yang ditunjuk untuk mengemban tugas berat, yaitu mengoordinasikan relawan-relawan yang tergabung di TTD. Kendati

demikian ia tidak pernah merasa kelelahan menjalani semua tugas itu meski fisiknya kurang sehat. ”Waktu itu kondisi saya memang kurang fit. Saya mengalami

saraf kejepit. Tapi untuk tugas tetap harus saya jalankan. Siang hari saya bersama relawan yang lain mencari informasi lokasi-lokasi yang terkena banjir. Malam harinya kembali membagikan makanan untuk makan malam kepada korban banjir. Waktu itu jelas-jelas saya sedikit tidur, banyak kerja, tapi tetap kuat karena ada semangat,” kenang Ayao.

Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -