Kaswanto
Niat Tulus dari Hati dalam Bersumbangsih

Saya mulai mengenal Tzu Chi sejak tahun 2008. Saat itu istri saya  tengah menonton DAAI TV yang menayangkan ribuan santri dari Pondok Al Ashriyyah Nurul Iman sedang memeragakan isyarat tangan “Satu Keluarga”. Dari situ saya dan istri penasaran, hingga akhirnya kami cari info dan datang ke Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi (dulu di Gedung ITC Mangga Dua) untuk ikut sosialisasi. Beberapa tetangga bertanya kepada kami, “Kenapa mau ikut, ini kan Yayasan Buddha?” Tapi setelah saya lihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan Tzu Chi, semua murni kemanusiaan, jadi saya semakin yakin dan ikut sosialisasi calon relawan. Tak lama, Tzu Chi mengadakan Program Bebenah Kampung di Pademangan, dan kebetulan saya tinggal di daerah Pademangan. Saat ada relawan Tzu Chi survei, istri saya bilang kalau dia sudah pernah ikut sosialisasi calon relawan Tzu Chi. Istri saya langsung mengajukan diri untuk ikut membantu relawan (Yophie Shixiong), dan kami pun diberikan kesempatan. Sejak itulah saya bersama istri (Yuliati) mulai aktif menjadi relawan Tzu Chi.

Saya juga mengikuti kegiatan-kegiatan Tzu Chi lainnya, seperti baksos kesehatan dan pelestarian lingkungan. Dalam kegiatan pelestarian lingkungan, kami sering ke Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi Muara Karang untuk melakukan pemilahan sampah. Saat itu kondisi saya masih dalam kondisi kurang sehat. Hampir 3 bulan tidak bisa bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Saraf tulang belakang terjepit, sehingga posisi badan saya pun membungkuk. Selama saya sakit, orang tua yang membantu memenuhi kebutuhan kami. Dokter menyarankan untuk dioperasi, tetapi biayanya cukup besar sehingga saya tidak melakukan operasi. Kebetulan saat di depo saya bertemu dengan Polin Shixiong dan disarankan untuk berobat alternatif (akupunktur). Dua kali melakukan pengobatan, alhamdulillah bisa sembuh seperti sedia kala. Dengan kondisi yang lebih sehat, saya pun semakin aktif di Tzu Chi.

Di awal tahun 2013, hujan yang tak henti-hentinya turun membuat Jakarta terendam air termasuk rumah saya. Saat itu saya tengah bekerja (shift malam) di sebuah pabrik plastik di kawasan Jayakarta, Jakarta Pusat. Tepat jam 1 dini hari, istri saya menelepon dengan nada panik memberitahukan bahwa rumah kebanjiran. Rupanya debit air yang membuncah tak lagi sanggup ditampung melalui sungai yang berada persis di depan rumah, otomatis air pun meluap. Setelah izin dari tempat kerja, saya segera meluncur ke rumah. Istri dan ketiga anak saya tengah berkemas-kemas untuk mengungsi. Beberapa barang berharga sudah berada di tempat yang aman (tinggi). Kebetulan di lantai 2 rumah, tinggal adik saya beserta keluarganya. Namun ruangan itu tak dapat menampung dua keluarga. Dalam kondisi seperti ini, saya segera memutuskan untuk mengungsikan istri dan anak-anak ke rumah orang tua yang berada tak jauh dari rumah.

Setelah anak-anak berada di rumah orang tua, saya dan istri bergegas membantu tetangga-tetangga yang lain. Kami mencoba membantu apapun yang bisa kami lakukan. Namun lokasi pengungsian yang terbatas membuat banyak warga terpaksa tinggal di atap lantai 2 maupun menempati masjid yang aman dari banjir. Kendala yang dihadapi warga yang terperangkap banjir adalah sulitnya mencari air bersih (minum) dan makanan. Siang harinya, kebetulan ada bantuan dari salah satu yayasan sosial, saya dan istri langsung ikut terjun membagikan makanan ke warga. Meski saya juga korban banjir, saya tetap berusaha untuk membantu orang lain. Orang lain banyak yang lebih parah banjirnya. Ibaratnya saya (kebanjiran) sepinggang, orang seleher, makanya kami coba membantu mereka.

Sejak saat itu, saya dan istri mulai mencari dan mendistribusikan bantuan dari donatur kepada masyarakat di wilayah kami (Pademangan). Pernah ada yang malam-malam memberi makanan matang di kelurahan, kemudian saya bersama teman-teman langsung membagi-bagikannya ke rumah-rumah warga. Kami  pun tak lupa berkoordinasi dengan Yayasan Buddha Tzu Chi, salah satunya melalui Yopie Shixiong, salah satu relawan Tzu Chi yang tinggal di Sunter, Jakarta Utara. Kami juga saling memberi kabar, tetapi karena waktu itu kondisinya sama-sama kebanjiran, terus Tzu Chi juga sedang sibuk memberi bantuan di banyak tempat, maka kita coba bantu sesuai dengan kemampuan yang ada.

Baru pada hari ketiga (Sabtu, 18 Januari 2013), saat banjir mulai surut di tempat tingga saya, saya dan beberapa relawan Tzu Chi yang tinggal di Pademangan datang ke Aula Jing Si Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara untuk membantu relawan Tzu Chi memasak, membungkus nasi, dan barang bantuan untuk dibagikan kepada para korban banjir. Kegiatan ini terus berlanjut sampai kondisi tanggap darurat mulai dihapuskan. Seminggu kemudian, giliran Tzu Chi membantu warga Pademangan Barat. Sejak tanggal 23 Januari saya bersama relawan Tzu Chi lainnya membagikan kupon kepada warga korban banjir. Mengingat hampir semua warga di sini (Pademangan) merupakan korban banjir, maka kupon bantuan pun diprioritaskan bagi para korban banjir yang kurang mampu dan para lansia. Kami menyurvei dan memberikan kupon ke rumah-rumah warga sesuai dengan prinsip Tzu Chi dalam memberikan bantuan, agar bantuan yang diberikan bisa tepat sasaran kepada warga yang membutuhkan.

Melihat warga dengan penuh sukacita menerima bantuan membuat saya dan istri merasa bahagia. Walaupun sebenarnya kami hanya bisa membantu tenaga, tetapi saat melihat orang lain terbantu rasanya senang senang sekali. Kami merasa senang, bangga, dan penuh syukur, karena meski cuma tenaga kita juga bisa membantu orang lain.

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto

Tak perlu khawatir bila kita belum memperoleh kemajuan, yang perlu dikhawatirkan adalah bila kita tidak pernah melangkah untuk meraihnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -