Lie San Ying: Relawan He Qi Pusat
Membayar Utang dengan Bersumbangsih di Tzu Chi


Ketekunan dan rasa tanggung jawab yang tinggi merupakan gambaran dari sosok San Ing. Ketua Misi Amal He Qi Pusat ini sepenuh hati bersumbangsih melalui Tzu Chi untuk membayar Utang. Membayar utang kepada siapa?  

   ****

Waktu baru menunjukkan pukul 05.30 WIB, tapi San Ying Lie yang akrab disapa San Ing berpacu dengan waktu agar tak terlambat sampai di Stasiun Sudimara. Untuk sampai di stasiun, ia menumpang ojek dari rumahnya di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan. Terlambat sedikit saja, ia harus menunggu kereta ke arah Tanah Abang berikutnya. Itu berarti ia bakal berdesakan dengan penumpang commuter line lainnya yang sudah bejibun, yang juga ingin cepat sampai.  

Sesampainya di Tanah Abang, San Ing harus naik jembatan penyeberangan untuk pindah kereta arah Jatinegara yang menuju ke Stasiun Kampung Bandan. Ia berpegangan pada bahu tangga agar seimbang. Dari Kampung Bandan ia jalan kaki ke kantor He Qi Pusat yang berada di Pusat Perbelanjaan ITC Mangga Dua Lantai 6 Jakarta Utara. Jika tak tertinggal kereta, biasanya San Ing sampai di kantor sebelum pukul 07.00 pagi.

Untuk seukuran San Ing yang kini berusia 67 tahun, tentu ini luar biasa. Apalagi setidaknya 5 hari dalam sepekan ia datang ke Kantor He Qi Pusat dan juga ke Tzu Chi Center, PIK Jakarta Utara untuk menjalankan tugasnya.

“Berarti saya masih dikasih kesempatan untuk berdiri, bahwa kaki saya masih bagus, masih kuat,” ujarnya dengan senyum sumringah.

Datang pertama, pulang terakhir. Buka pintu, tutup pintu. Begitu istilah yang disematkan relawan lainnya di He Qi Pusat untuk San Ing.

Sudah 15 tahun San Ing jadi relawan Tzu Chi. Sejak 2004, San Ing bergabung dan fokus di Misi Amal. Cukup lama menjadi Ketua Misi Amal He Qi Pusat, kemudian menjadi wakil dan tahun 2016 kembali menjadi ketua hingga saat ini. Pengalamannya menangani berbagai jenis permintaan bantuan, membuatnya sangat bijaksana dalam memutuskan apakah seseorang layak atau tidak untuk dibantu.

San Ing juga sabar membimbing relawan yang lebih muda atau yang baru bergabung supaya lebih telaten dan aktif berinteraksi dengan para penerima bantuan atau Gan En Hu.

Mengenal Tzu Chi
Sebelum menjadi relawan, San Ing aktif di Vihara Avalokitesvara di Mangga Besar Jakarta Barat. Ia yang mahir berbahasa Mandarin ini sebelumnya sudah pernah mengenal tentang Tzu Chi melalui sebuah majalah yang ada di Vihara.

“Isi detailnya saya lupa, cuma saya pikir boleh juga ini yayasan, tapi kan saya tidak tahu di mana. Alamat kantornya tidak tercantum. Nah waktu diajak ke sini, shigu langsung ingat sama majalah itu. Ya mungkin sudah jodoh kali ya,” tawanya terbahak.


Rapat tentang pasien kasus di He Qi Pusat siang itu berlangsung serius. Tampak Sang Ing, Ketua Misi Amal He Qi Pusat ini menengahi diskusi itu. Sesekali tawa memecah. 

Suatu hari seorang teman mengajak San Ing berkunjung ke Kantor He Qi Pusat. Ia lalu berkenalan dengan relawan Tzu Chi, Like Hermansyah.

“Like Shijie tanya kepada saya, ‘Shijie mau jadi relawan tidak’? Apa syaratnya? kalau uang saya tidak punya uang. ‘Enggak’, kata Like Shijie. Ya sudah, kadang saya ditelepon untuk ikut kegiatan,  saya datang,” jelasnya.

Kegiatan besar yang San Ing ikuti di awal-awal bergabung menjadi relawan adalah peletakan batu pertama di Pesantren Nurul Iman, Parung, Bogor. Lalu lomba mendayung perahu di Kali Angke, sebuah lomba yang menandai wajah baru Kali Angke yang telah dibersihkan oleh relawan Tzu Chi.

“Saya tidak ikut mendayung, tapi sebagai relawan yang ikut menyiapkan acara itu. Sempat ketawa juga karena pesertanya kan banyak dokter, mereka pada bilang ayo, ‘cepat-cepat’. Airnya muncrat-muncrat masuk ke mulut, ha ha ha..,” kenangnya.

Setelah itu San Ing lebih banyak ikut kegiatan bakti sosial. Ia paling sering bertugas sebagai tim konsumsi dan melayani dokter. San Ing menikmati sukacita bersumbangsih di Tzu Chi. Seperti yang dirasakan oleh para relawan yang fokus di Misi Amal, menjalankan Misi Amal membuatnya pandai bersyukur.

“Bersyukur saya masih sehat, masih bisa bantu orang. Apalagi kalau di Tzu Chi, sebetulnya saya sedang bayar utang. Saya kan beragama Buddha, di Buddhist kan ada karma. Mungkin dulu saya kurang berbuat baik atau perbuatan saya kurang baik, sekarang coba diganti berbuat baik. Bagusnya, saya kenal Tzu Chi,” ujarnya.

Tapi mengapa harus di Tzu Chi? San Ing punya jawabannya.

“Dengan keadaan saya yang sudah tidak bekerja, cuma mengandalkan  dua anak saya, saya bisa bantu orang berapa sih? misalnya saya punya 500 ribu rupiah, ya satu orang saja yang bisa saya bantu 500 ribu rupiah. Tapi dengan ikut Tzu Chi, walaupun kita sumbangannya cuma berapa, tapi kita sudah membantu orang banyak,” ujarnya.

Satu lagi yang San Ing tekankan, bahwa di Tzu Chi ia menjadi lebih berkembang, karena dapat melatih diri melalui tanggung jawab yang diberikan.

“Seperti untuk bicara, mungkin lebih halus. Kalau bertemu orang senyum. Dulu waktu muda itu saya jarang tertawa. Kalau film sedih cepat menangis. Yang lucu-lucu itu saya jarang tertawa, tidak ada perasaannya untuk lucu,” kata San Ing.

Keterbatasan di Masa Lalu
Hingga tertawa saja begitu sulit, rupanya tak lepas dari kondisi masa kecil San Ing yang hidup pas-pasan. San Ing lahir di Jakarta pada 7 November 1952. Ayahnya seorang guru, sementara ibunya yang dahulu guru setelah menikah memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Beranjak remaja, ayahnya meninggal. Beberapa bulan kemudian, sekolahnya yang berbahasa Mandarin itu tutup.

“Dahulu saya bisa sekolah di sana karena ayah saya guru di sana, walaupun belakangan tidak jadi guru lagi. Karena itu saya dan kakak saya bisa sekolah gratis saat itu,” ujarnya. 

Sang Ing pun tak bisa melanjutkan sekolah di sekolah negeri karena saat itu statusnya adalah warga negara asing (WNA). San Ing yang saat itu seharusnya kelas 2 SMP terpaksa putus sekolah dan ikut ibunya berjualan keliling.

“Jualan macam-macam, ada sirup, teh botol, berat, kemana-mana ikut. Ya mungkin karena keadaan itu ya jadi saya agak sedikit minder waktu itu,” terangnya.

Kondisi ekonomi yang sulit menempa San Ing menjadi seorang pekerja keras. Ia sempat bekerja di toko onderdil dan menjadi wanita karir yang mapan. Ibu dari dua orang anak ini juga pernah bekerja di pabrik tenun.


Potret lama San Ing saat menjelaskan kepada salah satu Gan En Hu tentang Celengan Bambu. Kepada relawan yang lebih muda atau yang baru bergabung, San Ing dengan sabar membimbing supaya mereka lebih telaten dan aktif berinteraksi dengan Gan En Hu.

San Ing tak pernah lupa ketika di awal-awal terjun ke Misi Amal Tzu Chi, latar belakangnya di masa kecil ini sempat membuat San Ing kebal rasa saat menyurvei pasien yang sudah mengajukan permohonan bantuan.

“Banyak relawan yang bilang si pemohon bantuan ini sangat susah, kasihan sekali. Dalam hati saya, kenapa? Saya dulu juga susah. Waktu kecil pernah orang tua saya bisa beli beras tapi tidak bisa beli lauk. Jadi kami masak bihun goreng, tidak lama lapar lagi. Dia susah, saya juga pernah susah kok. Jadi saya tidak merasa empati bagaimana (empati yang kurang),” kenangnya. 

Lama-lama menjalankan Misi Amal, hati San Ing pun berubah menjadi lebih lembut, lebih peka. Ia yang dahulu galak sekarang tidak lagi. Segaris senyum selalu menghiasi wajahnya.

“Kalau begitu terus, mana bisa kita dapat teman. Senyum dapat mengatakan segalanya. Kita tidak kenal, ya senyum saja. Nah dari situ lama-lama saya jadi terbiasa,” ujarnya.  

Berusaha Menjadi Murid Master Cheng Yen yang Baik
Pada November 2007, San Ing dilantik menjadi Relawan Komite Tzu Chi. Ia tak pernah melupakan bagaimana perasaannya kala itu. Momen ini juga menjadi salah satu momen terindah bagi San Ing yang spiritnya terus dipegang hingga saat ini.

“Waktu saya ganti seragam biru (dilantik menjadi komite) itu saya seperti sedang menikah. Karena menikah kan harus menyesuaikan perbedaan latar belakang kedua keluarga. Apalagi di Tzu Chi, malah lebih banyak lagi beda latar belakang itu,” tuturnya.

Karena itu, berbaur dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda yang mutlak juga memunculkan beda pendapat, tak pernah lagi menjadi masalah besar bagi San Ing. Justru di sinilah ia gunakan itu sebagai ladang pelatihan untuk menjadi manusia yang lebih baik. San Ing pun terus berusaha menjadi relawan Komite Tzu Chi yang baik dengan cara berkomitmen dengan tanggung jawab yang diembannya.

“Kalau mau dibilang menuju apa yang Master inginkan ya masih jauh. Tapi saya ingin menjalankan tugas-tugas yang saya bisa. Pokoknya sepenuh hati saya kerjakan,” pungkasnya.

Seperti dituturkan kepada Khusnul Khotimah

Penyakit dalam diri manusia, 30 persen adalah rasa sakit pada fisiknya, 70 persen lainnya adalah penderitaan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -