Lim Jian Liang & Lai Chen Yue
Relawan Tzu Chi Tangerang: Lim Jian Liang & Lai Chen Yue
SUKACITA BERSUMBANGSIH. Selain memegang tanggung jawab pada misi amal berupa kunjungan kasih dan pendampingan pasien Tzu Chi di Serang, Chen Yue juga aktif dalam kegiatan Tzu Chi lainnya, seperti baksos pembagian beras, baksos kesehatan, dan lain-lain.
Pernah merasakan pahitnya kehidupan masa lalu menjadi titik balik pasangan suami istri ini dalam memaknai kehidupan; tidak tinggi hati dalam memaknai kesuksesan dan tetap rendah hati dalam memperlakukan sesama yang membutuhkan pertolongan
“Bisa menikah karena Shixiong (panggilan untuk relawan pria di Tzu Chi -red) tipu saya,” ucap Lai Chen Yue melontarkan candaan diikuti tawa sambil memandang suaminya, Lim Jian Liang yang duduk di sebelahnya. Jian Liang, sapaan akrabnya tersenyum memandang sang istri sejenak, kemudian membalas candaan istrinya. Keduanya saling tertawa memecahkan keheningan dalam ruangan di lantai 4 sebuah ruko di Karawaci, Tangerang, Banten. Mereka pun saling menceritakan kisah perjumpaan keduanya. Perkenalan yang cukup unik dari sebuah goresan tinta hingga akhirnya saling memutuskan untuk berumah tangga.
Sebagai warga negara Taiwan, setiap pemuda yang sudah lulus sekolah diwajibkan untuk mengikuti wajib militer, tak terkecuali Jian Liang. Ia mengikuti wajib militer selama dua tahun di daerah Ma Zu dan merupakan teman satu angkatan kakak Chen Yue. “Dulu waktu pelatihan, saya mendapat tugas memeriksa surat-surat yang masuk dan keluar,” kisah Jian Liang mengawali ceritanya. Dari tugas itulah menjadi awal perkenalannya dengan Chen Yue. “Shigu menulis surat untuk kakaknya dan diperiksa oleh saya. Kemudian saya menulis surat untuk dia,” ujarnya tersipu.
Chen Yue pun mengiyakan apa yang diceritakan Jian Liang. Bahkan saat pertama kali menerima surat, ia merasa terkejut lantaran tidak mengenal pria tersebut. “Saya bertanya pada kakak saya, dan kakak bilang tidak usah memedulikan orang ini, dia juga tidak mengenalnya. Jadi saya tidak pedulikan suratnya,” aku Chen Yue. Hingga suatu saat Jian Liang dipindahtugaskan ke daerah lain. Keinginan untuk mengenal Chen Yue pun masih membara meski tidak mendapatkan respon. Jian Liang tak hentinya mengirimkan surat untuk Chen Yue. Namun kali ini, Jian Liang mengirimkan pesan tertulis bukan untuk mengajak berkenalan melainkan menanyakan kabar kakak Chen Yue yang terpisah dengannya. “Dia sangat pintar, dia tidak lagi menulis surat berkata ingin mengenal saya, tetapi bertanya kakak saya ditugaskan di tempat apa, jadi saya menulis surat balasan,” kata Chen Yue. “Sejak itu dia terus menerus menulis surat, tidak pernah berhenti. Jadi begitulah saya ditipu,” akunya sambil tertawa menggoda suaminya.
Komunikasi keduanya pun terus terjalin hingga akhirnya Jian Liang dan Chen Yue memutuskan untuk bersama-sama mengarungi bahtera rumah tangga. Mereka menikah tepat pada malam Festival Kue Bulan di tahun 1977. Dan keduanya pun dikaruniai empat buah hati, tiga wanita dan satu pria yang sebagian menetap di Taiwan.
MEMBANTU SESAMA YANG MEMBUTUHKAN. Setelah melihat dan merasakan langsung penderitaan masyarakat tidak mampu dalam Baksos Tzu Chi, Chen Yue merasa tersentuh. Ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam barisan Tzu Chi.
Memulai Lembaran Baru
Sejak kecil Jian Liang merupakan anak yang rajin bekerja. Meskipun masih remaja, ia sudah membantu mencari nafkah untuk keluarga. Ia bekerja di sebuah pabrik plastik. Selain bekerja Jian Liang juga mempelajari bagaimana proses pembuatan plastik, hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk membuka pabrik plastik sendiri. Pabrik plastik yang dirintisnya membuahkan hasil, semakin hari makin berkembang dan tentu membutuhkan lebih banyak karyawan. Namun sulitnya mencari karyawan, Jian Liang dan Chen Yue memutuskan untuk emigrasi ke negara lain. “Jadi dulu ada tren memindahkan pabrik ke luar negeri, dan kami memilih pindah ke Indonesia,” ujar Chen Yue.
Sejak pindah ke Indonesia di tahun 1994, tepatnya di daerah Cikande, Serang, Banten inilah Jian Liang yang terus didukung oleh istrinya merintis kembali industri plastik. Banyaknya warga asal Taiwan yang beremigrasi ke Indonesia mempertemukan Chen Yue dengan emigran lainnya, Mei Ling yang merupakan relawan Tzu Chi. Mei Ling bersama keluarganya juga mendirikan usaha di daerah yang tidak jauh dari lokasi Chen Yue tinggal. “Ketika kami berkenalan, dia mengajak saya bergabung melakukan pembagian barang untuk penderita TBC (Tuberculosis), penduduk kurang gizi,” kata Chen Yue.
Chen Yue pun merasa penasaran dan akhirnya memutuskan untuk ikut membantu program baksos yang diadakan Tzu Chi. Setelah melihat dan merasakan langsung penderitaan masyarakat tidak mampu dalam baksos ini, ia merasa tersentuh. Meskipun awalnya ia adalah warga Taiwan, namun belum begitu mengenal Yayasan Buddha Tzu Chi. Saat masih berada di Taiwan, ia hanya sebagai donatur. Merasa bahwa kegiatan Tzu Chi itu baik maka pada tahun 1995 Chen Yue memutuskan untuk masuk ke dalam barisan Tzu Chi. “Sejak itu saya merasa ikut Tzu Chi itu pilihan yang benar. Dan sejak saat itu terus mengikuti Tzu Chi,” ungkap Ibu empat anak ini.
Keaktifan Chen Yue membuatnya menerima tanggung jawab dalam menjalankan misi amal Tzu Chi di daerahnya, Serang, Banten. Ia bersama relawan lainnya melakukan kunjungan kasih dan mendampingi pengobatan pasien mulai dari mengantar pasien ke rumah sakit, mengurus prosedur pengobatan, dan memperhatikan pasien selama pengobatan. “Saya sangat terkesan kami dapat melakukan semua hal ini, ketika melihat pasien pulang dengan sehat, kita sangat gembira. Sejak saat itu saya merasakan apa yang dikatakan Master Cheng Yen bahwa menyadari berkah setelah melihat penderitaan,” ujar Chen Yue.
Kebahagiaan yang dirasakan Chen Yue tidak hanya dinikmatinya sendiri, ia pun berbagi kisah dengan suaminya, Jian Liang. Setiap ada kegiatan Tzu Chi, Chen Yue mulai mengajak Jian Liang, namun kesibukan suaminya yang sangat padat belum bisa untuk mengikuti kegiatan sosial ini. Hingga ketika Kantor Tzu Chi yang di Kelapa Gading pindah ke lokasi baru di gedung pusat pembelanjaan di ITC Mangga Dua, Jakarta Utara, barulah Jian Liang ikut terlibat. Ini dikarenakan kurangnya tenaga pria untuk mengangkut barang-barang berat. Sejak saat itu jodoh baik Jian Liang mulai terjalin. Ia sering ikut kegiatan kebaktian dan kegiatan Tzu Chi lainnya. Kenyamanan dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan Tzu Chi membuat Jian Liang memutuskan untuk mengikuti jejak sang istri sebagai relawan Tzu Chi pada tahun 1996.
BEKERJA BERSAMA-SAMA. Bersumbangsih di Tzu Chi tidak melihat berapa tinggi kadar pekerjaan, melainkan dari hati. Pasangan suami istri ini bersama-sama aktif di Tzu Chi di bidang apa pun, termasuk sebagai tim konsumsi.
Makin Giat Bersama Tzu Chi
Jiang Liang dan Chen Yue adalah pasangan suami-istri yang terus aktif bersumbangsih setelah keduanya sama-sama masuk ke dalam barisan Tzu Chi. Jian Liang aktif dalam kegiatan baksos. Terbatasnya relawan pria membuatnya memilih bagian logistik. “Dulu relawan pria lebih sedikit, jadi seringkali harus ke lokasi dan membantu memasang tenda, pipa, peralatan (baksos),” kata Jian Liang. “Dulu seringnya kegiatan baksos diadakan di luar ruangan, seperti di Gunung Sahari, Bekasi, dan lain-lain,” tambahnya.
Selain aktif dalam kegiatan baksos dan misi amal lainnya, pasangan suami-istri ini juga makin giat dalam misi-misi lainnya. Jian Liang dan Chen Yue ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian bumi dengan memilah barang daur ulang bersama relawan Tzu Chi Tangerang lainnya. “Master Cheng Yen berkata, ’pelestarian lingkungan adalah fondasi untuk menyelamatkan bumi’. Jadi saya merasa sudah seharusnya melakukan pelestarian lingkungan,” aku Chen Yue yang diiyakan suaminya.
Jian Liang dan istrinya mengikuti kegiatan Tzu Chi dengan penuh semangat. Mereka juga membantu bagian konsumsi. “Asalkan kita dapat melakukan, maka tidak peduli kegiatan apa pun, di mana dibutuhkan orang kita tidak memilih-milih, jadi sebisa mungkin mengikuti,” aku Jian Liang. “Hanya kami merasa yang dapat dilakukan sangat sedikit, jadi kerjakan yang dapat dikerjakan. Walau kadang-kadang merasa sangat lelah tapi hati bahagia. Melakukan dengan tulus, menerima dengan sukacita,” ucap Chen Yue menimpali.
Rasa sukacita itulah yang menempa keduanya makin aktif bersama-sama bersumbangsih di Tzu Chi. Puluhan tahun bersama Tzu Chi tentu banyak yang dirasakan dan diperoleh Jian Liang bersama istrinya, khususnya dalam hubungan rumah tangga. Setelah merasakan kebahagiaan ini, Jian Liang juga sering mendorong relawan wanita lainnya agar mengajak suami mereka untuk berkegiatan Tzu Chi juga. “Jika suami-istri bersama-sama aktif di Tzu Chi, pemikirannya akan sama dan tidak bertengkar,” ucap Jian Liang.
Merasa banyak nilai positif yang bisa dipelajari dalam dunia Tzu Chi, Chen Yue dan Jian Liang pun mengenalkan Tzu Chi kepada orang-orang yang mereka temui. Memang bahasa menjadi kendala utama bagi dua sejoli ini dalam berkomunikasi dengan masyarakat (Indonesia), namun tidak berarti niat baik untuk memperkenalkan Tzu Chi pupus. Segala akal mereka lakukan. Hingga akhirnya menemukan solusinya melalui alat perekam. Mereka merekam cemarah Master Cheng Yen ke dalam bentuk compact disc (CD). CD yang berisi rekaman inilah yang selalu dijadikan media untuk mensosialisasikan Tzu Chi. Jian Liang mengaku kesulitan untuk menjelaskan Tzu Chi dengan baik, sehingga CD atau majalahlah (Buletin dan Majalah Tzu Chi-red) yang sangat membantu mereka. Dan pasangan ini selalu mengingat apa yang dikatakan guru yang membimbing mereka, Master Cheng Yen bahwa, “Lakukan apa yang dikatakan, katakan apa yang dilakukan.” Hal inilah yang membuat mereka mampu melampaui keterbatasan.
“Bahasa Indonesia kami tidak lancar, dan ketika berbicara kurang jelas. Jika ada rekaman bahasa Indonesia langsung kami berikan, jadi CD kami sangat banyak, ada seribu lebih,” ujar Chen Yue tersenyum. “Donatur kami juga banyak,” celetuk sang suami. Usaha keras Jian Liang dan istrinya dalam mensosialisasikan Tzu Chi dan menggalang hati masyarakat membuahkan hasil. Banyak donatur yang memberikan respon positif, dan tidak sedikit dari mereka yang terinspirasi untuk ikut bergabung menjadi relawan.
Lim Jian Liang dan Lai Chen Yue sama-sama dilantik menjadi relawan komite pada tahun 2006. Sembari bersumbangsih, mereka pun saling belajar memahami makna kehidupan. Tak heran jika Jian Liang dan Chen Yue terus mengikuti jejak guru mereka, Master Cheng Yen. “Saya merasa ajaran Master lebih mudah dimengerti. Pandangan beliau juga sangat tepat, jadi kami mengikuti sampai sekarang,” aku Chen Yue. Sependapat dengan istrinya, Jian Liang menambahkan, “Prinsip Master baik dan lurus, mengajarkan kita untuk menenangkan batin dengan melakukan aksi. Kita harus mempelajari sifat Buddha, di mana ada makhluk yang menderita kita harus menolongnya.”
Banyak kesan mendalam yang dirasakan Jian Liang dan Chen Yue, mereka pun berpegang teguh pada ajaran Master Cheng Yen dalam melakukan segala tindakannya. Mereka berpegang pada satu niat pikiran. Sebersit niat baik inilah yang membuat pasangan suami istri ini rela mengeluarkan waktu, tenaga, dan materi untuk bersumbangsih di Tzu Chi. Terlebih bagi Jian Liang, sebagai warga pendatang ia harus melakukan hal baik dan bersumbangsih di daerah yang ditinggali. “Berbuat kebajikan manfaatnya (karma baiknya) untuk diri sendiri. Jadi asalkan ada kegiatan Tzu Chi, jika kami dapat melakukan, kami akan lakukan sepenuh hati. Jika kami bisa bersumbangsih, kami sangat gembira,” ungkap sang istri.
EMOSI TERKONTROL. Puluhan tahun melangkah di jalan Tzu Chi, banyak perubahan diri yang dirasakan oleh pasangan suami-istri yang telah menikah selama 39 tahun ini. Sifat mudah marah dan emosi tinggi makin bisa ditinggalkan.
Saling Mengingatkan
Puluhan tahun melangkah di jalan Tzu Chi, banyak perubahan diri yang dirasakan oleh pasangan suami-istri yang telah menikah selama 39 tahun ini. Jika dulunya Jian Liang memiliki karakter tidak sabar dan gampang emosi, sekarang tidak lagi. Ia mengaku dulu jika menemukan permasalahan, emosinya mudah tersulut. “Sebelum mengikuti Tzu Chi, emosi lebih meledak-ledak, sering tidak sabaran. Bahkan saudara-saudara saya sangat takut melihat saya, apalagi saya merasa anak sulung, jadi setiap hal harus mendengarkan keinginan saya,” akunya, “tetapi sekarang emosi menjadi lebih baik.”
Tabiat yang sama juga dimiliki sang istri, Chen Yue. Kebiasaan ngomel yang dilakukannya menjadikan dirinya lebih mudah marah. Sehingga sedikit saja mendengar ocehan orang lain, maka emosi pun cepat meluap. “Tiap kali mendengar ocehan Shibo, emosi saya meninggi. Kadang kalau sangat marah saya akan banting pintu. Tapi setelah sering mendengar Dharma Master Cheng Yen bahwa marah itu seperti gila sesaat, akhirnya saya pelan-pelan tidak mudah marah, tidak banting pintu (saat emosi),” beber Chen Yue. “Dia banyak berubah. Dulu di rumah sangat berantakan suka ngomel-ngomel, setelah melakukan Tzu Chi menjadi lebih perhatian dan lemah lembut,” ucap Jian Liang menimpali pembicaraan yang disambut tawa.
Dengan sama-sama terjun pada organisasi sosial ini membuat Jian Liang dan Chen Yue saling menjadi alarm harmonisasi hubungan antara satu sama lain. Pasangan suami istri ini pun mengakui tidak ada lagi perdebatan dalam keluarga karena perbedaan pandangan. Perubahan positif yang dialami keduanya pun ditanamnya dalam lingkungan keluarga. Banyak nilai-nilai Tzu Chi yang diterapkan dalam keluarga mereka. Meskipun tidak semua anggota keluarganya mengikuti jejak mereka di Tzu Chi, namun Chen Yue menilai keluarganya tetap harmonis, anak-anaknya pun memiliki karakter yang baik. “Ketika orang tua melakukan maka anak dapat melihat sendiri,” tukas Jian Liang.
Banyaknya perubahan yang dirasakan dalam diri maupun keluarga yang memecut pasangan ini makin semangat bersumbangsih. Selain menjadi relawan Tzu Chi, Jian Liang juga menjadi salah satu Komisaris Kehormatan Tzu Chi (Rong Dong) dengan menyerahkan dana sebesar NTD 1.000 (setara 400 juta rupiah) kepada Tzu Chi. Jian Liang pun dilantik menjadi Rong Dong pada tahun 2012 lalu. Pria pemiliki kost (kamar sewa) berjumlah 143 pintu ini sejak awal memang memiliki niat ingin bersumbangsih dengan menjadi rong dong. “Dari dulu sudah ingin menjadi rong dong,” ujar Jian Liang mengangguk. Namun terbatasnya dana yang dimiliki membuat Jian Liang menundanya. Hingga suatu kali ketika usahanya mengalami gejolak, Jian Liang kemudian memutuskan untuk menjual pabrik miliknya.
“Pada saat itu ada orang yang tidak membayar hutang kepada kami, sangat parah. Kemudian kami menjual pabrik kami dan mendapat kesempatan, maka kami langsung menggunakan uang itu untuk didanakan dan menjadi rong dong,” ungkap Jian Liang. “Shibo berkata, ‘uang ini jika tidak disumbangkan sepertinya juga akan hilang’. Jadi setelah menjual pabrik segera melaksanakan niat itu (rong dong),” imbuh Chen Yue menjelaskan. Jian Liang pun merasakan sukacita yang mendalam setelah niat baik yang ditanamnya berhasil digapai. “Gembira sudah mencapai niat saya, karena dulu belum ada kemampuan, setelah menjual pabrik baru ada kemampuan,” akunya tersenyum lebar.
SALING MENJADI PELENGKAP. Dengan sama-sama terjun pada organisasi sosial ini membuat Jian Liang dan Chen Yue saling melengkapi antara satu sama lain, sehingga tidak ada lagi perdebatan dalam keluarga karena perbedaan pandangan.
Telapak Tangan Mengarah ke Bawah
Apa yang dilakukan Jian Liang dan Chen Yue adalah bentuk timbal balik yang diterimanya pada masa kecil. Di usia Chen Yue yang masih belia harus mencari nafkah membantu memutar roda perekonomian keluarga. “Saya hanya lulus sekolah dasar karena masih ada 5 saudara yang harus sekolah, jadi saya tidak dapat sekolah. Saya harus bekerja dan belajar memotong rambut,” kisah wanita 57 tahun ini. Pendamping hidup Jian Liang ini juga menceritakan bagaimana kesulitan yang dialaminya sebelum hingga akhirnya meraih kesuksesannya bersama suami. “Sudah melupakan semua kesulitan itu, tapi banyak kenangan indah,” aku wanita kelahiran Pu Li, Nan Tao ini. “Jadi dulu hidup susah, tetapi sangat bahagia,” tambahnya.
Kesulitan masa kecil yang dialami Chen Yue juga dialami Jian Liang. Sulung dari lima bersaudara ini hanya bisa menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas satu. Itu pun berkat hasil keuletannya. “Setelah lulus SMP pergi ke Taipei untuk bekerja sambil (melanjutkan) sekolah malam, tapi hanya satu semester harus berhenti karena ekonomi keluarga tidak baik. Orang tua berkata adik-adik masih harus sekolah,” kisah pria kelahiran Yi Lan pada tahun 1952 ini.
Sejak berusia 13 tahun, Jian Liang memang sudah terbiasa bekerja. Semua dilakukan karena ambisinya untuk mengejar pendidikan. “Dulu tinggal di pedalaman, sekolah tidak memakai sepatu dan juga tidak ada tas sekolah. Dulu waktu kecil sangat miskin, saudara sangat banyak. Dulu tidak punya panci, dan pot tanah liat pun dibelah untuk memasak,” kisah Jian Liang menceritakan masa kecilnya. Masa sulit yang pernah dialami Jian Liang dan Chen Yue inilah yang membuat mereka peka dengan penderitaan orang lain. “Dulu keluarga kami adalah penerima bantuan sosial, setiap bulan mendapat beras bantuan dari (organisasi sosial) Amerika, keluarga sangat miskin,” kenangnya.
Roda kehidupan terus berputar. Kerja keras Jian Liang di masa kecil membuahkan berkah yang dinikmati bersama keluarganya sekarang. Meski segala kebutuhan Jian Liang dan keluarganya selalu terpenuhi, ia tidak pernah menjadi individu yang angkuh. Justru sebaliknya Jian Liang dan Chen Yue selalu memanfaatkan kesempatan untuk berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Mereka menjadi pribadi yang rendah hati. “Dulu saya dibantu orang, sekarang saya dapat membantu orang lain. Dulu telapak tangan mengarah ke atas, sekarang telapak tangan mengarah ke bawah,” ungkap Jian Liang diikuti senyum bahagia. Hingga sekarang Jian Liang dan Chen Yue selalu mengenggam kesempatan baik menggarap ladang berkah untuk bersumbangsih membantu sesama yang membutuhkan dan melatih diri.