Lim Tjiap Bu: Relawan Tzu Chi Pekanbaru
Melewati Lorong Gelap dan Menemukan Terang


Menikmati gemerlapnya kehidupan dunia malam, Lim Tjiap Bu sempat terlena, terjerumus, dan terpuruk karenanya. Judi, alkohol, dan rokok, dijadikannya sandaran bak sahabat yang menyesatkan. Namun seberapapun pernah terjatuh, ia akhirnya bisa berdiri kembali, melepas masa gelap, sementara Tzu Chi membantu menguatkan langkahnya.

*****


Lim Tjiap Bu, atau yang akrab disapa Abun mengenal Tzu Chi sejak tahun 2008 dimana saat itu istrinya, Lina terlebih dahulu bergabung menjadi relawan. Saat itu Abun hanya sekadar menjadi “sopir pribadi” sang istri, mengantar istrinya kesana-kemari untuk berkegiatan Tzu Chi. Lambat laun, perubahan positif istri turut memengaruhi kehidupan pria kelahiran tahun 1962 ini. Abun ikut tertarik dan mulai berkiprah di Tzu Chi.

Awalnya Abun hanya mengikuti kegiatan di misi amal seperti survei kasus dan kunjungan kasih di tahun 2009. Namun ketertarikan akan kata perenungan Master Cheng Yen, “Ada dua hal yang tidak bisa ditunda dalam kehidupan: berbakti kepada orang tua dan berbuat kebajikan” semakin menguatkannya berada di barisan relawan. Keyakinannya pada ajaran Master Cheng Yen juga membawanya dilantik menjadi relawan abu putih pada tahun 2010.

Memikul tanggung jawab di misi amal Tzu Chi Pekanbaru, Abun kini mempunyai kesempatan untuk bertemu banyak orang dengan berbagai masalah dalam kehidupan mereka. Ia sadar betul, bahwa memikul tanggung jawab adalah kewajiban sebagai seorang murid Master Cheng Yen. Tentu saja dengan memikul tanggung jawab membuatnya berkesempatan berkembang dan bisa terus menebarkan cinta kasih.

Walau usianya sudah tidak lagi muda, Abun tetap bisa menyatu dengan relawan lainnya dan saling bertukar pendapat juga mendengarkan. “Yang paling berkesan dalam menjalankan Tzu Chi adalah: keluar (masyarakat) kita dapat memberikan kebahagiaan kepada banyak orang, ke dalam (diri sendiri) timbul rasa syukur atas kondisi yang penuh berkah,” ungkapnya.

Kesibukan dalam mengurus toko roti tidak menjadi penghalang dalam bersumbangsih dan bertanggung jawab di Tzu Chi, dan ini didukung oleh sosok istri yang juga adalah seorang relawan komite dan anak-anak yang sejak kecil sudah ikut di kelas budi pekerti Tzu Chi.

Namun, siapa sangka di balik sosoknya yang mengispirasi dan penuh tanggung jawab. Kehidupan Abun dulu penuh dengan lika-liku dan tantangan.

Terperosok Dalam Dunia Gelap
Abun lahir di Medan, 60 tahun lalu. Ia adalah anak ke-10 dari 11 bersaudara. Saat masih duduk di sekolah dasar, ia sering membantu mamanya berjualan sarapan. Bersyukur kehidupan masa kecil membentuknya menjadi anak yang peduli dan sifat mama yang suka memberi, menurun padanya. “Saya selalu berusaha mencontoh sifat mama yang baik ini dalam kehidupan saya sampai sekarang,” ungkapnya.

Jika sebelumnya hanya mengantar istrinya berkegiatan Tzu Chi, Abun akhirnya juga tergerak untuk menjadi relawan. Memikul tanggung jawab di misi amal Tzu Chi Pekanbaru, Abun kini mempunyai kesempatan untuk bertemu banyak orang dengan berbagai masalah dalam kehidupan mereka. Ia sadar betul bahwa memikul tanggung jawab adalah kewajiban sebagai seorang murid Master Cheng Yen.


Saat berusia 13 tahun, Abun sudah memulai hidup di perantauan. Ia bersama kakaknya pergi ke Ibukota dan bekerja di sebuah pabrik. Di akhir tahun itu pula, sang mama meninggal. Ia sempat kembali ke Medan beberapa waktu.

Setahun kemudian, Abun kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pekerjaannya. Lumayan lama ia bertahan dalam pekerjaan itu, selama tiga setengah tahun. Banyak sekali ilmu baru yang ia dapat. Namun tak cuma ilmu, Abun ternyata juga terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik.

Dalam masa itu Abun akrab sekali dengan rokok, judi, juga alkohol. “Saya belum genap 17 tahun, tapi sudah berani keluar masuk beberapa arena judi di Jakarta,” akunya.

Memang sejak umur 16 tahun, Abun sudah hobi berjudi. Padahal dia mengaku lebih banyak kalahnya dibanding menangnya. Awalnya, Abun bercerita hanya ikut judi kecil-kecilan, lalu seiring naiknya pendapatan (gaji), ia bisa berjudi kartu setiap hari dengan kalah menang sekitar 2 juta. “Berjudi di kasino juga ada batasan bujet, kalah maksimal 10 juta dan pernah menang sekitar 12 juta,” kisahnya, “ya kalau musim menang, sering belanja dan jadi boros, tapi kalau musim kalah ya berhemat lagi.”

Sepanjang pekerjaannya, Abun mengingat antara tahun 1979 hingga 1986, ia sempat berpindah dan mencari pengalaman pekerjaan di beberapa wilayah. Dari Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Jenis pekerjaannya pun beragam, dari salesman, office boy, hingga pengurus lapangan armada truk tanah.

Selama pindah di beberapa wilayah tersebut, Abun cepat akrab dengan teman-teman baru – khususnya yang mempunyai kebiasaan buruk yang sama dengan dirinya. “Ya judi, ya minum alkohol, dan kehidupan malam. Anehnya di manapun saya tinggal, saya cepat akrab dengan teman baru yang punya kebiasaan buruk yang sama,” kata Abun menyesal.

Saat ia pindah bekerja dan mulai berbisnis ke Papua pun (tahun 1987), kebiasaan buruk itu tetap membayangi Abun. Padahal di sana ia sempat berjodoh dalam pembangunan sebuah wihara. Abun juga aktif mengikuti kegiatan wihara seperti bakti sosial dan lain-lain, tetapi ia masih belum bisa mengubah kebiasaan buruknya.

Seakan sudah seperti bayangan hitam yang selalu ikut kemanapun ia pergi, begitu pula kebiasaan buruknya. “Saya merasa kebiasaan buruk itu sudah berakar kuat. Jadi walaupun di hari Minggu pagi itu saya ikut kebaktian, siangnya tetap ikut kumpul-kumpul main judi, dan malamnya minum alkohol di bar,” sambungnya.

Di tahun 1990, Abun bangkrut. Usaha yang dibangunnya gagal. Ia menyebutkan sebabnya adalah karena semua kebiasaan buruknya yang tak kunjung bisa ia tinggalkan. Ia juga didiagnosis dengan penyakit liver karenanya dan harus kembali ke Medan.

Satu tahun berjalan, tahun 1991, Abun perlahan sembuh dan kembali ke Jakarta untuk mengais rezeki. Beruntung ia masih mendapat kepercayaan dan kesempatan untuk mengerjakan satu proyek bersama seorang teman. Tapi bagai tak kenal kata jera, Abun lagilagi kembali ke kebiasaan buruknya.

“Saya sekarang pun rasanya ingin marah kepada diri saya saat itu. Saya seperti tak punya rasa syukur karena sudah bisa sehat kembali dan mendapat pekerjaan. Kesempatan kedua itu malah saya gunakan kembali untuk memuaskan sifat buruk saya. Saya menjadi tidak jujur dalam tanggung jawab pekerjaan di proyek,” ungkapnya, “dulu saat melakukan semua itu, saya merasa seperti lelaki sejati merokok sambil berjudi atau merokok sambil minum alkohol, tidak menyadari saya sedang menciptakan masalah dalam kehidupan.”

Titik Balik Menuju Terang
Menikah dengan Lina tahun 1996 merupakan titik balik pertama dari proses mengikis tabiat buruk, dimana mulai saat itu Abun meninggalkan kebiasaan minum alkohol dan kehidupan malam. Kala itu, Lina pun sudah mengetahui kebiasaan sang calon suami, namun ia tetap mencoba bertahan karena melihat ada hal baik dari Abun.

Dengan menjadi relawan Tzu Chi, Abun pelan-pelan berhasil mengikis kebiasaan buruknya. Setelah berhasil berhenti minum minuman keras, Abun juga berhenti merokok. Uang yang digunakan untuk membeli rokok ia simpan dan masukkan ke celengan bambu Tzu Chi untuk membantu sesama.

“Tahun 1995, saya berkenalan dengan Lina Shijie, tahun 1996 kami menikah dan saya bertekad dalam hati untuk tidak menjalani kehidupan malam lagi,” katanya. Semua hal itu dikarenakan rasa syukur yang Abun rasakan karena masih ada wanita yang bersedia mendampingi sepanjang hidupnya nanti. “Padahal dari pihak keluarga istri banyak yang tidak setuju. Untuk itu, saya bertekad bisa menjadi suami yang bertanggung jawab dan merawat keluarga dengan baik sehingga anak dan istri bisa bahagia,” tekadnya.

Sebelum pernikahan, Abun berjanji akan meninggalkan satu per satu kebiasaan buruknya. Ia sangat berharap pernikahannya menjadi pernikahan yang baik. Walaupun memang membutuhkan waktu yang panjang, namun sang istri terus membantu mengarahkan Abun ke jalan yang benar. “Dulu ketika masih sering judi, istri sering komplain dan mengingatkan. Untung dia tidak boros dan materialistis sehingga saya berusaha untuk berhenti berjudi,” terang Abun.

Sementara itu kebiasaan merokok berhasil dihapus ketika ia mulai menjadi relawan pada 2009. Ketika survei kasus maupun kunjungan kasih dan melihat kehidupan orang-orang dalam kekurangan menimbulkan rasa syukur yang ia wujudkan dengan berdonasi melalui celengan.

“Tahun 2009, saya ikut Lina Shijie berkegiatan sebagai relawan rompi dan mulai berhenti merokok. Sebagai gantinya, setiap hari uang rokok saya masukkan ke dalam celengan,” tutur Abun. Donasi dari uang rokok itu juga masih ia lakukan hingga saat ini.

Ketika dilantik menjadi relawan abu putih tahun 2010, Abun bertekad berhenti berjudi dan bervegetaris seumur hidup karena sering mendengarkan imbauan Master Cheng Yen bahwa semua makhluk adalah setara. Abun kemudian dilantik menjadi relawan komite tahun 2015 bersama istrinya. Ia berkomitmen untuk teguh memegang tanggung jawab di Tzu Chi dan teguh menjalankan sila.

“Master mengatakan sangatlah sulit terlahir sebagai manusia dan mengenal ajaran Buddha, terlebih lagi bisa berjodoh dengan Tzu Chi dan menjadi relawan. Makanya saya akan genggam jalinan jodoh baik ini,” tegasnya.

Bagi Abun, Sosok Master Cheng Yen adalah penyelamat. “Master adalah Bodhisatwa yang penuh cinta kasih dan welas asih yang berusaha menolong semua makhluk di dunia ini, termasuk menolong saya, menyelamatkan saya dari dunia yang gelap,” ungkapnya.

Penulis: Kho Ki Ho (Tzu Chi Pekanbaru)
Fotografer: Dok. Tzu Chi Indonesia
Bila sewaktu menyumbangkan tenaga kita memperoleh kegembiraan, inilah yang disebut "rela memberi dengan sukacita".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -