Livia Tjin
Garda Depan Penggalang Bodhisatwa

   
Mengawali kiprahnya di Tzu Chi, Livia Tjin menjadi salah satu orang yang turut membidani kelahiran Jing Si Books and Cafe di Indonesia. Bermula dari Pluit, berlanjut ke Kelapa Gading, dan Blok M, toko buku Jing Si Books & Cafe  memberi insan Tzu Chi tempat untuk berkumpul, sekaligus mendalami ajaran Master Cheng Yen dan filosofi Tzu Chi
 
Bermula dari ajakan sang teman di awal tahun 2000, Livia Tjin atau yang akrab disapa Livia mulai mengenal Tzu Chi. Wanita kelahiran Medan tahun 1956 ini memang cukup aktif di wihara. Saat itu Tzu Chi akan mengadakan kegiatan pemberkahan akhir tahun. “Waktu itu ada pembacaan sutra, sharing gan en hu (penerima bantuan Tzu Chi-red) dan lihat kilas balik. Saya sangat tersentuh,” kenangnya. Berkesan di hati, Livia pun langsung mengajukan diri sebagai donatur. Satu hal yang menyentuh hatinya karena ia melihat Tzu Chi merupakan organisasi Buddhis yang begitu bagus dalam aktivitas sosial. Selama ini ia merasa umat Buddha lebih banyak berjalan sendiri-sendiri dalam aktivitas sosial.
  
Sebagai donatur, Livia kerap diberitahu kegiatan-kegiatan yang dilakukan Tzu Chi. Namun karena saat itu ia tengah sibuk merintis usahanya–selepas berhenti dari tempatnya bekerja–maka ia belum dapat berpartisipasi. Empat tahun kemudian datang tawaran untuk mengelola toko buku Tzu Chi (Jing Si Books & Cafe). Kebetulan syarat yang diminta sangat lekat pada dirinya: diutamakan tinggal di sekitar Pluit, bisa berbahasa Mandarin, Buddhis, dan mengerti Tzu Chi. Livia yang saat itu tengah membuka usaha baju-baju anak sempat merasa sungkan karena bahasa Mandarinnya terbilang minim. Namun ia kemudian mencoba membuat surat lamaran dalam bahasa Mandarin. Upayanya tak sia-sia, ia kemudian dipanggil untuk menghadap Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia untuk menjalani proses wawancara. Setelah syarat-syarat lainnya terpenuhi, Livia pun mulai bekerja di Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Ada Niat, Ada Kekuatan
Memikul tanggung jawab sebagai penanggung jawab di Jing Si Books & Cafedi Indonesia membutuh-kan kesiapan mental, pengetahuan serta keinginan kuat untuk mendalami ajaran Jing Si.Trainingsebulan di Taiwan pun dijalaninya. Dibimbing sebulan lebih, di akhir acara Livia dipertemukan secara khusus dengan pendiri Tzu Chi, Master Cheng Yen. Satu pesan singkat Master Cheng Yen kala itu: “Kamu sudah diajari semua kungfunya (pengetahuan-red)?” Saya jawab, “Sudah.” “Kalau begitu kamu kerja baik-baik ya,” pesan Master Cheng Yen.Sejujurnya, masih banyak hal yang dikhawatirkan Livia saat itu. “Saya khawatir, bagaimana cara kerja dan mengelolanya. Apalagi Bu Su Mei juga berpesan kalau toko buku Jing Si bukan cuma jual buku saja, tetapi juga menjadi pintu untuk menggalang hati, relawan, dan donatur. Istilahnya pintu penjemputan Bodhisatwa,” terang Livia.

Di tengah kegelisahannya, seusai bertemu dengan Master Cheng Yen, Livia mendapatkan sebuah kata perenungan Master Cheng Yen, bunyinya: “Ada niat ada kekuatan”. Kata-kata ini seolah memompa semangat dan keberaniannya untuk memegang tanggung jawab menjadikan Jing Si Books & Cafe di Indonesia sesuai dengan harapan Master Cheng Yen. Dukungan juga diperolehnya dari relawan Tzu Chi Taiwan yang mengelola Jing Si Books & Cafe di sana. “Kamu nggak usah takut, saya sendiri setelah saya pakai seragam Tzu Chi banyak yang menanyakan dan menjadi donatur saya.Shijie nggak usah takut, Master sudah menjalin jodoh baik dengan banyak orang,” kata relawan tersebut. “Kata-kata itu menambah motivasi saya,” tegas Livia.
 
Tahun 2004, setelah diserahi tanggung jawab untuk mengelola Jing Si Books & Cafe Pluit, Jakarta Utara, Livia pun tak lagi hanya berada di luar lingkaran, tapi ia selalu menyempatkan untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi di sela-sela kesibukannya. “Saya berpikir, saya sendiri nggak ikut kegiatan, cuma sharing bacaan, kalau benar-benar jadi relawan tentu akan lebih mengharukan.
   
Akhirnya toko saya tutup, sewakan ke orang lain.” Sebagai manajer Jing Si Books & Cafe sekaligus Wakil Ketua He Qi Utara, beragam kegiatan diikutinya, mulai dari kunjungan kasih, bagi beras, maupun bedah buku. “Saya sangat bahagia. Dulu saya berpikir berbuat amal hanya untuk orang kaya, tapi di Tzu Chi tidak, semua bisa bersumbangsih.” Banyak kesan yang diperolehnya saat berkegiatan di Tzu Chi.  “Saat bagi kupon, ada seorang nenek yang tinggal sama cucunya. Begitu saya datang dia langsung peluk saya. Dia terharu, merasa seperti ketemu keluarga,” kata Livia haru.

Kebetulan saat itu Jing Si Books & Cafe Pluit  baru berdiri (28 Agustus 2004), sehingga belum begitu ramai. “Saya atur waktu, kalau pagi atau sore mau kunjungan kasih saya masih bisa ikut. Sering juga pas hari libur. Makin lama makin suka dan dapat kebahagiaan,” ungkapnya. Ia pun mulai menggalang hati donatur, baik dari keluarga, relawan maupun pengunjung Jing Si Books & Cafe. “Donatur kadang juga dapat dari toko buku ini. Saya sering sharingsama pengunjung dan mereka kemudian tertarik dan akhirnya jadi donatur dan bahkan relawan.” Dari sini Livia merasa sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mensosialisasikan Tzu Chi, ternyata banyak juga orang yang memiliki keinginan untuk berbuat baik.

Berbagai persiapan dilakukan Livia untuk meng-antisipasi jika ada relawan maupun masyarakat umum yang ingin berdiskusi ataupun bertanya lebih lanjut tentang Tzu Chi. “Kadang ada tamu, mereka kanke sini belum tentu beli buku, kadang baca dan nanya-nanya Tzu Chi. Waktu itu saya baru baca buku Teladan Cinta Kasih versi Mandarin. Saya beli waktu di Taiwan. Sangat mengharukan, dan sayasharing dengan orang bermodalkan buku itu,” jelasnya.

Membawa Jing Si Sebagai Rumah Batin
Sejak tahun 2004 hingga 2012, praktis sudah hampir 8 tahun Livia berkecimpung di Jing Si Books & Cafe.Berbagai cara pun sudah dilakukannya untuk menarik minat pengunjung, seperti membuka kelas bahasa Mandarin, merangkai bunga, kerajinan tangan sampai kegiatan bedah buku. Dan hasilnya pun bisa dibilang cukup lumayan, selain keberadaan Jing Si Books & Cafe menjadi lekat di hati relawan, masyarakat pun banyak yang berkunjung ke tempat ini. “Saya sangat didukung relawan-relawan Tzu Chi senior lainnya, merekalah yang banyak membimbing dan memotivasi saya,” ungkap Livia. Meski begitu ia masih terus tertantang untuk membuat Jing Si Books & Cafe dekat di hati relawan. “Ada beban juga, hingga kini Jing Si belum begitu ramai, saya ingin lebih banyak yang mau datang ke sini,” ujarnya.
 
Bertugas sehari-hari di Jing Si Books & Cafe membuat Livia terkadang menjadi orang pertama yang mengetahui buku-buku ajaran-ajaran Master Cheng Yen. Apa yang kita baca dan pelajari tanpa kita sadari biasanya akan membentuk kepribadian. Dan secara tidak langsung buku-buku itu pun memengaruhi sikap, tingkah laku, dan pandangan hidupnya. “Saya dapat banyak manfaat. Kita harus mengubah diri sendiri dulu, baru bisa menginspirasi orang lain,” tantangnya. Salah satu perubahannya adalah Livia kini tak lagi “alergi” dengan pendapat orang lain, ia pun mulai bisa mengalah dan menerima perbedaan. “Master sering bilang, yang salah harus minta maaf sama yang benar. Minta maaf itu berat sekali. Tapi yang sudah saya jalani, saya bisa mengalah dan nggak selalu merasa yang paling benar.”
 
Di mata wanita kelahiran Medan ini, Master Cheng Yen adalah seorang guru yang sangat bijaksana, welas asih, dan figur yang sangat luar biasa.Meski Master Cheng Yen bertubuh kecil, namun pengaruhnya sangat besar.Hampir semua yang Master mau lakukan, selalu ada murid atau orang-orang yang menjalaninya. Selain itu Master juga memiliki pandangan yang luas dan jauh ke depan. Tak jarang apa yang dilihat dan disampaikan beliau pada akhirnya benar-benar terjadi. “Master luar biasa, dan menjadi sosok yang bisa kita teladani,” pujinya. Ini juga yang membuatnya memutuskan untuk dilantik menjadi komite.

Memikul Tanggung Jawab Besar
Di tengah kesibukannya sebagai manajer Jing Si Books & Cafe, Livia masih berani memikul tanggung jawab sebagai Wakil Ketua He Qi Utara. Memegang tanggung jawab ini bukan perkara mudah, selain masih terbilang baru di kalangan relawan, Livia juga merasa pengalaman dan pekerjaan yang dilakukannya di Tzu Chi masih jauh dari maksimal, namun karena sosok Master Cheng Yenlah akhirnya ia menerima tanggung jawab itu. “Saya melihat Master begitu welas asih, dia harus menanggung kesusahan dan kesulitan seluruh dunia. Kita nggak tega juga ya, masa cuma sedikit tanggung jawab aja kita nggak mau,” tandasnya.

Memajukan Jing Si
Selama bertugas, baik sebagai manajer Jing Si Books & Cafe maupun Wakil Ketua He Qi Utara tentu ada suka duka yang menyelimutinya. Namun menurut Livia sukanya jauh lebih banyak, salah satunya adalah dimana ia bisa menjalin jodoh baik dengan banyak orang. Sedangkan dukanya adalah ketika terjadi perselisihan di antara relawan.Sebagai perekatnya (menyelesaikan masalah), Livia terkadang memakai kata-kata perenungan Master Cheng Yen. “Waktu ada yang ngoceh-ngoceh, saya kirimkansms, Kata Perenungan Master ‘Kita harus memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, kita harus gan en karena kita dibutuhkan’. Kalau dia ngoceh lagi saya sms lagi, ‘Jangan mengambil kesalahan orang lain untuk menghukum diri sendiri’. Kalau kita sendiri menasihati agak susah, dengan kata-kata Master lebih cocok,” ujarnya seraya tersenyum.
 
Untuk menjadikan Jing Si Books & Cafe sebagai tempat para relawan berkumpul, Livia juga mengadakan berbagai kegiatan di tempat ini. Saat itu tahun 2006, atas dukungan Ji Shou Shixiong, relawan Tzu Chi asal Malaysia, di Jing Si Books & Cafe Pluit diadakan kegiatan bedah buku dalam bahasa Mandarin. Kala itu pesertanya ditujukan para relawan komite dan pengurus He Qi. Dari sini kemudian Jing Si Books mulai lebih dikenal dan dikunjungi para relawan. Sayangnya itu tak berjalan lama.Padahal menurut Livia, setiap insan Tzu Chi harus membaca dan memahami catatan-catatan harian Master Cheng Yen (Na Li Zhu Zhi). “Dengan membaca itu kita jadi bisa mengikuti jejak langkah Master Cheng Yen, apa yang dilakukan Master Cheng Yen kita tidak akan ketinggalan terlalu jauh,” ujarnya.
 
Sempat mati suri, kegiatan bedah buku kemudian muncul kembali 3 tahun kemudian dengan konsep dan pengurus yang berbeda. Jika sebelumnya bedah buku dikhususkan bagi mereka yang bisa berbahasa Mandarin, sejak tahun 2009 kegiatan bedah buku mulai berjalan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena sejak tahun itu sudah mulai diterbitkan buku-buku Master Cheng Yen ke dalam bahasa Indonesia, seperti Lingkaran Keindahan, Sanubari Teduh, danTeladan Cinta Kasih. “Sebelumnya Posan Shixiongtanya saya, ‘Kapan diadakankegiatan bedah buku lagi?’ Saya bilang, asal ada yang mau tanggung jawab, boleh, saya dampingi. Saat itu Posan Shixiongmenyanggupi,” kata Livia. Berkaca dari pengalamannya terdahulu, Livia justru memandang tim bedah buku ini lebih solid. Kala itu Posan Shixiong didukung relawan Tzu Chi lainnya, seperti Jodie Lienardy, Amelia Devina, dan juga Hok Lay Shixiong. “Ternyata mereka menjalaninya lebih baik dari saya,” puji Livia. Bahkan sekarang kegiatan bedah buku sudah semakin menyebar dan meluas hingga ke komunitas-komunitas relawan lainnya, seperti He Qi Barat, Timur, Selatan. Mengingat Master selalu berpesan: Kita harus menjadi murid Jing Si (murid yang mau belajar dan mendalami dharma-red), bukan hanya sebagai insan Tzu Chi (murid yang hanya menjalankan kegiatan misi Tzu Chi-red). Maraknya peserta kegiatan bedah buku juga mendorong semua Hu Ai di He Qi Utara menyelenggarakan kegiatan bedah buku di komunitas mereka: seperti Jelambar, Pluit, Sunter, dan lainnya. Semangat untuk mendalami dharma ini juga menyebar hingga ke kantor-kantor penghubung Tzu Chi, seperti Bandung, dan Singkawang.

Tujuan awal kegiatan bedah buku ini sendiri adalah untuk memperkenalkan buku-buku Master Cheng Yen kepada insan Tzu Chi dan juga masyarakat.Master berharap lebih banyak orang yang membaca buku dan memahami intisari bukunya serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menyucikan hatinya. Di Jing Si, semua buku boleh dibaca tanpa harus membeli. Mereka boleh datang setiap hari membaca sampai selesai satu buku atau lebih, kita harapkan mereka  sering datang dan menganggap Jing Si sebagai rumah sendiri,” harapnya.
 
Cara lain untuk memasarkan produk-produk Jing Si adalah memperkenalkan kelebihan produk. “Misalnya ada tamu yang ‘curhat’ mamanya emosional, nah saya kasih buku tentang masalah itu.” Karena itulah Livia menganggap penting bagi dirinya untuk mengetahui dan mendalami ajaran-ajaran Master Cheng Yen. “Saya selalu sempatkan sehari minimal membaca 5 sampai 7 halaman sebelum tidur. Kalau nggakkita benar-benar akan ketinggalan,” tegasnya. Dan ia berharap para staf di Jing Si Books & Cafe juga demikian.
  
Pintu Menggalang Bodhisatwa
Jing Si Books & Cafe mengemban misi mewariskan Ajaran Jing Si dan mengemban budaya humanis Tzu Chi, juga sebagai tempat penyambutan calon Bodhisatwa, dan menjadi salah satu pintu masuk masyarakat untuk mengenal Tzu Chi. Beberapa nama ada yang masih diingat Livia, dimana kala itu jodoh terjalin saat mereka datang mencari sesuatu (buku atau DVD) dan bertanya-tanya tentang Tzu Chi kepadanya. “Usman (Jelambar), dah jadi komite. Datang, beli CD, saya jelasin Tzu Chi akhirnya jadi donatur saya. Karim Baharudin Shixiong, Kevin Shixiong, Efi Shijie, dan Kurniawan mantan ketuaXie Li di He Qi Barat, datang ke sini ambil buletin dan minta ceramah Master untuk perpustakaan wihara. Dia jadi donatur dan saya ajak dia untuk jadi relawan juga,” kata Livia.

Menanggapi adanya pertanyaan mengapa harga barang-barang di Jing Si Books & Cafe terkesan mahal, Livia memiliki sejumlah alasan. Pertama, buku yang dijual berkualitas bagus dan menggunakan kertas pilihan—Master Cheng Yen berpesan saat menerbitkan buku, kertas yang digunakan jangan sampai membuat mata orang silau saat membacanya. “Dan kedua, isi buku-buku Master nggak bisa kita nilai dari harga dan kita jelasin juga bahwa Master dan murid-muridnya hidup mandiri, jadi kalau kita beli buku-buku ini berarti kita ikut mendukung kemandirian hidup para bhiksuni  (murid-murid Master) yang tinggal di Griya Jing Si. Kita juga mendukung penyebaran ajaran Master dan Buddha.”

Livia ingat, saat Jing Si Books & Cafe berdiri di Indonesia, saat itu Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Liu Su Mei menekankan pentingnya peranan untuk menggalang Bodhisatwa. “Kita konsepnya tidak  hanya menjual buku. Beliau berharap melalui sarana, waktu, dan interaksi sesama di Jing Si dapat menyebarkan semangat cinta kasih universal Tzu Chi. Kita lebih mengutamakan keterampilan untuk menyambut dan menggalang calon Bodhisatwa dunia, untuk menggalang orang lebih banyak untuk berbuat kebajikan,” papar Livia. Karena itulah Livia sangat berharap para relawan dam masyarakat bisa berkunjung ke Jing Si Books & Cafe dan menjadikannya sebagai tempat relaksasi batin. “Kita kerja-kerja terus kan jenuh, tapi di sini bisa jadi tempat relaksasi batin yang tenang sambil minum secangkir kopi dan mendengarkan musik yang indah. Tubuh kita kalau capekkita makan suplemen, sebenarnya batin juga butuh suplemen,” kata Livia, “saya harap relawan juga mau menjadi garda terdepan dalam mendukung Jing Si ini, supaya lebih maju dan dikenal masyarakat sehingga dapat berfungsi sesuai dengan harapan Master Cheng Yen, menjadi ‘rumah’ insan Tzu Chi.” Dan apabila ada gabungan yang utuh antara keyakinan, ketekunan dan semangat, tak ada sesuatu pun di dunia ini yang tak dapat dilakukan.

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Anand Yahya, Feranika Husodo, Ivana,(He Qi Utara) dan Stephen Ang(He Qi Utara)
Bekerja untuk hidup sangatlah menderita; hidup untuk bekerja amatlah menyenangkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -