Lu Lien Chu: Relawan Tzu Chi Tangerang
Lakukan dengan Cinta
“Master sudah susah payah membangun Tzu Chi, saya ingin menggunakan waktu sebaik- baiknya untuk Tzu Chi dan tidak menyia-nyiakan waktu,” tuturnya haru.
*****
Juli 2006. “Kan a, ni men duo me xing yun neng tao chu zai nan, xian zai hai zi cai neng hao hao de zai zhe li. (Lihat, kalian sungguh beruntung bisa selamat dari bencana. Makanya sekarang anak-anak bisa berdiri di sini dalam keadaan selamat -red),” ucap seorang wanita berkulit putih kemerahan dengan suara lantangnya. Wanita bernama lengkap Lu Lien Chu ini menyulap kebisuan di tempat penampungan korban bencana alam tsunami Pangandaran, Jawa Barat, menjadi hangat dan ceria.
Ketulusan Hati
Butuh waktu sekitar satu jam untuk bisa mencapai tempat penampungan para korban bencana alam tsunami Pangandaran. Namun lokasinya yang berada di atas perbukitan, tidak menyurutkan semangat wanita kelahiran Taiwan, 52 tahun lalu ini, untuk memberikan bantuan dan penghiburan kepada para korban bencana.
Sesampainya di atas, tanpa sungkan Lien Chu langsung mendekati para korban dan memeluk mereka. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang agak terbata, Lien Chu mengajak para korban mengobrol dan memberikan semangat kepada mereka. Walaupun para korban tidak terlalu memahami apa yang diucapkan Lien Chu, namun mimik muka dan intonasi suaranya yang penuh semangat membuat para korban menjadi terhibur dan tertawa. “Karena saya belum lancar bahasa Indonesia, jadi kata-kata saya suka bercampur dengan bahasa mandarin. Itu yang buat orang yang saya hibur menjadi tertawa. Mungkin karena lucu mereka dengar,” tuturnya sambil tersenyum malu.
Banyak pasien yang lama tak merasakan sentuhan kasih sayang dari keluarganya, tugas insan Tzu Chi untuk selalu memberi perhatian yang tulus dan harapan pada mereka.
Ditanya apakah pernah takut mendapatkan perlakuan kasar dari para korban yang mungkin tidak menyukai kehadirannya? Sambil tersenyum Lien Chu pun menjawab, “Saya menghibur dengan hati. Mereka baik sama saya, tidak pernah saya diperlakukan buruk oleh mereka.” Ia menambahkan, ketika memberikan penghiburan Lien Chu tidak pernah takut apakah mereka yang dihiburnya akan suka atau tidak. “Ketika saya menghibur, saya lakukan dengan cinta kasih. Saya tidak takut apakah mereka akan berpikiran buruk tentang penghiburan yang saya berikan. Dan hasilnya selama ini saya tidak pernah mendapatkan penolakan, justru mereka sangat senang kami hibur. Walaupun ada kesulitan bahasa, tapi sepertinya cinta kasih melunturkan perbedaan itu.”
Selain berinteraksi dengan para korban, Lien Chu juga menghibur para korban dengan pertunjukan gerakan bahasa isyarat tangan. Ketulusan dalam setiap sentuhan dan tutur katanya, membuat wanita ini selalu diterima dengan baik oleh para korban bencana alam.
Belajar Mengenal Tzu Chi
Apabila dibandingkan dengan 11 tahun lalu, penampilan Lien Chu sekarang sangatlah berbeda. Selain ladang kebajikan yang dulu sudah dimilikinya semakin lama semakin subur dan bertunas, rambut panjang yang selalu dikonde dengan rapi adalah salah satu hasil perkenalannya dengan Tzu Chi. “Dulu saya tomboi sekali. Kurang suka memakai rok dan gemar menggunakan kaus oblong dan celana pendek,” ujar Lien Chu.
Namun semua telah berubah. Rambutnya yang dulu pendek, sekarang dibiarkannya panjang sehingga mudah untuk dikonde. “Dulu rambut saya tidak pernah panjang. Tapi suatu saat, ketika sedang bekerja Tzu Chi (membagikan beras-red) rambut saya yang pendek turun menutupi mata, sehingga mengganggu pekerjaan. Semenjak itu akhirnya saya memutuskan untuk memanjangkan rambut agar bisa dikonde,” jelas Lien Chu. Selain rapi, ternyata rambutnya yang senantiasa dikonde juga membuat ibu dua anak ini terlihat semakin feminin dan anggun.
Awalnya, meskipun berasal dari Taiwan, Lien Chu tidak pernah mengenal Tzu Chi sebelumnya. Ia mengenal Tzu Chi, setelah cukup lama berada di Indonesia melalui ibu dari salah satu teman sekolah anaknya. Saat itu anak Liu Su Mei (Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia) dan Lien Chu sama-sama bersekolah di Taipei School Indonesia. “Sejak kenal dengan Su Mei Shijie, dia juga sudah resmi menjadi relawan Tzu Chi,” ucap Lien Chu. Ia menambahkan, sebenarnya Liu Su Mei sudah seringkali mengajaknya untuk bergabung dengan Tzu Chi, tapi hal tersebut tidak diindahkannya.
Di tengah kesibukannya sebagai Ketua Tzu Chi Tangerang, Lu Lien Chu tetap menyempatkan diri untuk melakukan daur ulang sampah. Dalam setiap kegiatan, ia selalu mengajak generasi muda untuk turut melestarikan lingkungan.
“Saya juga suka mengikuti kegiatan sosial. Dulu waktu di Taiwan, saya sering mengunjungi dan mengajar anak-anak tunanetra. Dan ketika saya bertemu dengan Su Mei, saya juga tengah menjadi relawan perpustakaan,” tutur Lien Chu. Tapi baginya, melakukan kegiatan sosial tidak harus menjadi relawan Tzu Chi, makanya ia tidak langsung bergabung dengan Tzu Chi. “Awalnya saya bukan tipe orang yang suka mengikuti peraturan. Apalagi menjadi relawan harus menggunakan seragam, dan mematuhi beberapa peraturan lainnya, membuat saya menjadi enggan untuk bergabung,” tandasnya.
Tahun 1998 setelah kerusuhan, atas dasar ajakan Liu Su Mei , akhirnya Lien Chu mulai bersedia untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi, walaupun hanya sebatas ikut kegiatan. Namun Su Mei tidak pernah patah semangat untuk terus mengajak Lien Chu bergabung. Pada suatu hari, Liu Su Mei datang ke rumah Lien Chu untuk mengambil dana sumbangan dan memberikan buletin Tzu Chi. Setelah membaca buletin tersebut, suami Lien Chu, Huang Jia Hong langsung berkata, “Yayasan ini sangat bagus, gurunya juga sangat baik. Mau menjadi relawan harus keluar uang sendiri, dana sumbangan yang mereka kumpulkan hanya digunakan untuk kegiatan sosial.” Merasa sepaham akhirnya sang suami mendukung Lien Chu untuk bergabung dengan Tzu Chi.
Biarpun telah bergabung, tapi Lien Chu belum menyerahkan seluruh hatinya pada Tzu Chi. Pada suatu hari, Su Mei dan Bao Qin, yang sedang berkunjung ke rumahnya melihat xiang si dou (biji saga yang dalam bahasa mandarin dapat berarti kacang kerinduan –red) koleksi Lien Chu yang sangat bagus. Mereka lalu memintanya pada Lien Chu untuk dibawa ke Taiwan sebagai suvenir untuk Master Cheng Yen dan shixiong shijie di sana. Tapi Lien Chu hanya memberi mereka sedikit karena ia sangat menyukai koleksinya itu. Malam harinya, ia pun bercerita kepada suaminya, “Hari ini ada shijie yang meminta xiang si dou untuk bawa ke Taiwan buat Master Cheng Yen, tapi saya hanya memberinya sedikit.” Mendengar hal itu, suaminya langsung berkata, “Guru minta, masa kamu pelit!” “Karena bagus saya mau taruh di rumah jadikan hiasan,” jawab Lien Chu bersikukuh.
Malamnya ketika tidur, Lien Chu bermimpi Master Cheng Yen datang, dan coba merangkulnya. Hal ini membuat Lien Chu terjaga dan tersentuh. Pada ulang tahun Tzu Chi yang ke-33, Lien Chu pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke Taiwan. Di sana, Master Cheng Yen pernah berkata, “Saya juga merasa susah. Tapi saya harus bercerita pada siapa? Kesusahan saya, akan saya tanggung semuanya.” Mendengar hal tersebut, hati Lien Chu sangat tersentuh. Di dalam hati ia berpikir, kesusahan yang kita miliki bisa kita ceritakan kepada orangtua, sanak saudara, ataupun teman-temannya. Sedangkan bagaimana dengan Master? Setelah kejadian ini Lien Chu pun jatuh hati kepada Tzu Chi, dan mulai aktif dalam setiap kegiatan Tzu Chi dengan maksimal.
Tularkan Semangat Positif
Dimulai dari menjadi relawan dapur, pembagian beras, dan baksos kesehatan, Lien Chu akhirnya mendapat kepercayaan untuk bertanggung jawab dalam pengaturan logistik Tzu Chi. Hal ini memang bukan pekerjaan yang mudah, mereka harus bekerja sebelum kegiatan dimulai dan pulang belakangan setelah kegiatan tersebut selesai.
“Sebelum baksos kesehatan dilaksanakan, saya harus mempersiapkan seluruh logistiknya terlebih dahulu. Dan hal itu menuntut saya untuk bekerja lebih awal,” ucap Lien Chu, yang mengaku menjadi jarang menghabiskan waktu bersama keluarga. Meskipun demikian, suami dan kedua anaknya Huang Shi Yin dan Huang Ging Jie, tidak pernah mengeluh. Bahkan sang suami pernah berkelakar, “Lebih baik kamu masuk Tzu Chi, jadi ada kerjaan. Daripada kamu di rumah nganggur, sering mencereweti saya. Saya telah “menyumbangkan” kamu kepada Tzu Chi adalah perbuatan yang sangat bijak, kupingku juga terasa lebih tenang.”
Tidak hanya para pasien pengobatan yang memerlukan dukungan dan perhatian, tapi juga keluarganya untuk tetap tabah dan menjalani ujian ini dengan lapang dada (atas). Selain memberikan bantuan, Lu Lien Chu juga berusaha menanamkan rasa bersyukur dan kepedulian untuk turut membantu sesama kepada para pasien pengobatan Tzu Chi (kiri).
Kecintaannya kepada Tzu Chi, juga ditularkan Lien Chu kepada kedua anaknya. Dalam beberapa kegiatan, ia terlihat mengajak serta sang buah hati untuk sama- sama melakukan kebajikan. Benih cinta kasih yang ditanamkan oleh Lien Chu ternyata berkembang subur dalam diri Huang Shi Yin. Selain aktif dalam setiap kegiatan Tzu Chi, Huang Shi Yin yang saat ini telah menyelesaikan sekolahnya dan menikah, juga bergabung dengan Tzu Chi Afrika Selatan. “Setelah menikah dengan suaminya (yang juga merupakan orang Tzu Chi -red), Huang Shi Yin yang tinggal di Afrika Selatan juga mengabdikan diri untuk menebar cinta kasih bersama Tzu Chi di sana,” tambah Lien Chu.
Selain menularkan semangat positif kepada anak- anaknya, Lien Chu pun menaruh perhatian khusus kepada misi pelestarian lingkungan. “Saat ini bumi sedang menderita. Lingkungan yang tercemar akan membahayakan kesehatan kita. Tidak hanya itu, akibat pemanasan global beberapa bencana alam juga terus terjadi. Oleh sebab itu, ini adalah misi yang sangat penting dan harus segera dilakukan,” ungkap Lien Chu.
Dimulai dari rumahnya sendiri, Lien Chu selalu membiasakan anggota keluarga dan pembantu rumah tangganya untuk melakukan pemilahan sampah. “Dari kecil orangtua saya sudah mengajarkan cara memilah sampah sesuai dengan jenisnya. Dan hingga kini hal tersebut tetap saya terapkan di rumah,” tambah Lien Chu. Ia juga sangat menghemat air. Hal ini terlihat dari air yang digunakan untuk mencuci sayur maupun buah ditampung kembali untuk menyiram tanaman. Sedangkan air bekas mandi dan mencuci muka digunakan untuk menyiram toilet. Tidak hanya itu, sisa makanan dan sayuran bekas memasak juga diolah Lien Chu untuk menjadi pupuk, “Sisa makanan dan sayuran dimasukkan ke dalam sebuah ember besar. Setelah didiamkan beberapa hari, air dan ampas dari sisa makanan tersebut bisa digunakan sebagai penyubur tanah dan tanaman.”
Semuanya ini dilakukan hanya untuk menjaga bumi dari kehancuran. “Kita harus segera mengontrol diri dan tidak menyia-nyiakan waktu,” tegasnya mantap.
Kantor Penghubung Tangerang
Program pemberantasan TBC sepanjang tahun 1995 yang dilakukan oleh Tzu Chi di Desa Gaga dan Kiara Payung merupakan cikal bakal didirikannya Kantor Penghubung Tangerang. Sejak berdiri, Tzu Chi memang sering melakukan aktivitas di daerah Tangerang. Mulai dari membantu para pasien kasus, baksos kesehatan, hingga program anak asuh, membuat pendirian Kantor Penghubung Tzu Chi Tangerang tidak bisa terbendung lagi. “Di Tangerang banyak sekali ladang kebajikan. Tingginya tingkat kemiskinan memaksa masyarakat di sini untuk selalu menomorduakan kesehatan mereka. Hasilnya, tidak jarang dari mereka kini terpuruk dalam penyakit,” tutur Lien Chu.
Bagi wanita yang sangat ekspresif ini, tidak pernah ada rasa menyesal bisa bergabung dengan Tzu Chi. Buatnya, Tzu Chi adalah tempat yang tepat untuk proses pembelajaran diri.
Sejak resmi didirikan pada tanggal 16 September 2006, beban tanggung jawab Lien Chu, yang dipercaya untuk bertanggung jawab sebagai ketua kantor penghubung tersebut itu pun bertambah. “Dulu ketika bekerja di bagian logistik, saya sibuk dan hanya fokus mengurus kebutuhan logistik saja. Berbeda dengan sekarang, selain mengurus anak-anak asuh dan pasien kasus, saya juga harus menjalin komunikasi dengan para relawan dan donatur.
Untuk mengembangkan Tzu Chi Tangerang, Lien Chu mulai melebarkan sayap dan menjaring para relawan baru untuk berbuat kebajikan. Beragam kegiatan pelatihan, mulai dari pengenalan Tzu Chi, pelatihan relawan abu- abu, hingga sosialisasi daur ulang, dilakukan oleh Lien Chu untuk menarik perhatian masyarakat. “Tujuan kami bukan hanya mengajak mereka untuk bergabung, tapi menyucikan hati manusia,” tegasnya.
Program pelestarian lingkungan yang diusung oleh Tzu Chi Tangerang juga terus digalakkan dan disosialisasikan. “Sosialisasi kami lakukan mulai dari sekolah, hingga perumahan yang berada di sekitar Tzu Chi Tangerang. Kami harap, mereka akan menerapkan kegiatan pelestarian lingkungan dalam kehidupan sehari- hari,” tegas Lien Chu.
Sebagai salah satu bentuk nyata keseriusan Tzu Chi Tangerang dalam menjalankan misi pelestarian lingkungan, sebuah Posko Daur Ulang Tzu Chi di Gading Serpong, Tangerang hasil sumbangan seorang relawan resmi digunakan pada 29 Maret 2009.
Depo ini memiliki tanah seluas 552 meter persegi dan 3 bangunan utama. Bangunan pertama adalah bangunan penyimpanan sampah daur ulang, bangunan kedua adalah kantor dan kamar mandi, dan bangunan ketiga adalah ruang terbuka kosong yang dapat dipergunakan untuk berbagai macam kebutuhan. Di halaman depan depo, sebuah taman cantik dan indah telah dibuatkan. Depo daur ulang ini sendiri memiliki 5 bagian utama proses pemilahan daur ulang. Bagian itu terdiri dari bagian kardus, botol/gelas air minum kemasan, kertas dan majalah, botol kaca, dan plastik. Di halaman depan depo, sebuah mobil boks daur ulang terparkir, siap untuk mengambil sampah daur ulang warga. Agar para relawan daur ulang betah dan nyaman, atap depo daur ulang ini juga telah dilapisi dengan lapisan penahan panas.
Setiap hari Minggu, depo daur ulang rutin melakukan pemilahan sampah. “Agar sampah tidak menumpuk, kami membagi pemilahan sampah menjadi 3 kelompok: Tangerang, Serpong, dan Karawaci. Sedangkan relawan yang bertugas dan bertanggung jawab untuk mengelola depo adalah salah satu keluarga anak asuh Tangerang. “Nama anak asuh yang bertugas menjaga depo adalah Iwan, setelah lulus ia bersedia untuk membantu. Tidak hanya Iwan, ayahnya juga sering membantu di depo,” terang Lien Chu.
Hingga kini jumlah relawan Tangerang berjumlah 20 relawan biru-putih, 366 abu-putih, dan 20 anak asuh. Sedangkan untuk jumlah donatur lebih kurang 1.000 orang. Lien Chu menuturkan, “Jumlah ini belum seberapa. Kita harus lebih banyak lagi menggali kepedulian masyarakat berbuat amal.”
Kesibukan yang dilalui Lien Chu setiap hari membuatnya merasa waktu 24 jam dalam sehari seolah tidak cukup untuk dilaluinya. “Kalau sedang sibuk mengurus pelatihan atau kegiatan, sepertinya waktu 24 jam sehari itu tidak cukup,” ucap Lien Chu sambil tertawa. Ia pun mengaku baru bisa tidur larut malam, atau bahkan tidak bisa tertidur pulas karena memikirkan acara besok, “Hati jadi gelisah dan khawatir.” Jadi kalau kegiatan Tzu Chi sedang penuh, terkadang ia tidak istirahat, kecuali sakit parah, dan setelah sembuh besoknya harus bekerja lagi. Setiap kali merasa lelah, ia langsung ingat apa yang Master Cheng Yen lakukan. “Master sudah susah payah membangun Tzu Chi, saya ingin menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk Tzu Chi dan tidak menyia-nyiakan waktu,” tuturnya haru.
Hingga kini, Lien Chu tidak pernah merasa menyesal masuk Tzu Chi, bahkan selalu merasa beruntung, “Ajaran Master penuh motivasi, mengajarkan kesabaran, dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Karena setelah masuk Tzu Chi akan mengubah pandangan dan cara berpikir orang ke arah yang lebih baik. Dan semangat ini harus terus ditularkan kepada seluruh manusia, sehingga kita dapat hidup lebih damai dan jauh dari bencana.”
Penulis: Veronika
Fotografer: Anand Yahya, Apriyanto, Hadi Pranoto