Mansjur Tandiono
Yang Terbaik bagi Kehidupan
Dilahirkan di Cuan Ciu, sebuah kota kecil di Propinsi Fujian, Republik Rakyat China, 29 Agustus 1947, Mansjur Tandiono (Tan Lai Se) melewatkan masa kecilnya di Surabaya, kota pelabuhan terbesar di Indonesia bagian timur. Kota yang terkenal dengan sejarah kepahlawanannya ini turut membentuk dirinya menjadi sosok yang tekun dan melakukan yang terbaik di setiap aktivitasnya. Pendidikan SD, SMP, dan SMA semuanya ia ditempuh di sekolah Tionghoa di Surabaya sehingga tak heran jika kemampuan berbahasa Indonesianya tidaklah fasih benar.
Namun itu tak mengurangi kecintaannya kepada tanah air Indonesia karena terbukti ia sempat tercatat menjadi salah satu olahragawan dan pemain tenis meja nasional di negeri ini. Prestasinya ini membantunya memperoleh keisitimewaan sehingga bisa kuliah di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, padahal seharusnya tidak boleh. Hingga SMA, ia tidak mengantongi ijazah negara karena bersekolah di sekolah Tionghoa. Fakultas yang dipilih Mansjur tidak biasa di masanya, yaitu fakultas bahasa Inggris. Sebuah pilihan dan keputusan yang tepat karena di tahun 1969, seorang pengusaha besar di Jakarta sedang membutuhkan seorang sekretaris yang sedikit bisa berbahasa Mandarin, Inggris, dan Indonesia. Maka merantaulah ia menuju Jakarta. ”Saya banyak belajar di situ,” tuturnya mengenang masa-masa awalnya di Jakarta.
Berselang 6 tahun, di tahun 1975, ia kembali ke Surabaya dan memimpin satu perusahaan induk kopi. Sukses di Surabaya, 5 tahun kemudian, ia diminta kembali ke Jakarta untuk menangani sebuah perusahaan besar yang tradingnya di dunia internasional. Saat itu ia menjabat sebagai managing director yang mengurusi dan menjajaki penjualan ke berbagai penjuru dunia. Tahun 1984, bersama beberapa teman, Mansjur Tandiono mendirikan Prasidha Group, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kopi, karet, kokoa, gaplet, lada, hotel, properti, dan bank. Sayangnya, di tahun 1997 saat krisis moneter menerpa Indonesia, usahanya banyak yang merugi sehingga saat ini perusahaannya hanya berkonsentrasi di kopi dan karet. Kini di usia yang telah matang dan kaya pengalaman, Mansjur Tandiono memimpin stasiun televisi DAAI TV Indonesia. Sebuah stasiun televisi baru yang program-program acaranya senantiasa mengedepankan cinta kasih universal dan kepedulian kepada sesama.
Tahun 2002, Jakarta dilanda banjir besar. Saat itu Sugianto Kusuma (wakil Ketua Tzu Chi Indonesia saat ini –red) pergi ke Hualien, Taiwan dan bertemu dengan Master Cheng Yen. Sepulangnya dari sana, ia bilang kepada Mansjur, ”Tzu Chi ini bagus lho, ayo terjun. Saat itu ia bilang, ‘You ikut saya ke Hualien’.” Akhirnya, di bulan Mei 2002, Mansjur Tandiono pun bersua dengan Master Cheng Yen. ”Saya sedikit kaget ternyata ada seorang bhiksuni yang perawakannya kecil namun memiliki filosofi dan jiwa yang besar ingin masyarakat memiliki cinta kasih universal. Master juga memberikan pertolongan kepada orang lain yang tidak mampu,” tutur Mansjur Tandiono menyatakan kekagumannya.
”Kalau mau kerja sesuatu, kerjalah yang baik. Kalo ndak, ya ndak, kalau iya kerjakan yang baik,” tuturnya saat akhirnya menerjunkan diri dan berkecimpung dalam dunia pendidikan. Pendidikannya di sekolah Tionghoa selama ini membuatnya mengerti bahwa jika kita mau sukses kita harus disiplin. Itu pula yang membuat pendidikan di Tzu Chi berbeda. Selain ilmu pengetahuan yang berguna, Tzu Chi juga mengajarkan pelajaran budi pekerti untuk siswa-siswi. Masyarakat harus punya pemikiran yang sehat. Ini yang selalu ia tekankan dalam setiap rapat bersama para guru. Ia memberikan contoh saat ia bersama siswa-siswi Sekolah Cinta Kasih ke Taiwan. Siswa sekolah di sana jika akan memindahkan kursi tidak akan ditarik, harus diangkat. Begitu pula saat melihat sampah yang teronggok, meski bukan dia yang membuang, mereka akan mengambil sampah itu dan membuangnya sesuai dengan tempat yang telah disediakan.
Mansjur sangat terkesan melihat hal itu dan mengajak guru-guru di Sekolah Cinta Kasih untuk mengajarkan guru-guru di Sekolah Cinta Kasih untuk mengajarkan hal serupa kepada murid-murid. ”Rasanya kita mendapatkan ilmu baru, padahal baru lihat. Hidup ini penuh tantangan dan bisa happy karena bisa memberikan kepada orang lain sesuatu yang berguna,” lanjut ayah yang dikaruniai 4 orang anak dan 3 cucu ini.
Mansjur juga memahami sepenuhnya bahwa Tzu Chi memang benar-benar bergerak di bidang amal, menebarkan cinta kasih universal kepada masyarakat. Tzu Chi membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan tanpa membeda-bedakan. Bahkan beberapa orang yang telah menerima bantuan kini gantian memberikan bantuan untuk orang lain yang membutuhkan bantuan. Suatu saat, ada seorang kepala sekolah di Jakarta yang tidak percaya Sekolah Cinta Kasih begitu baik. Kepala sekolah itu datang dan melihat Sekolah Cinta Kasih yang ternyata memang bersih dan siswa-siswanya rapi. Kepala sekolah tersebut bertanya, “Sampai kapan hal ini bisa bertahan?” Sebuah pertanyaan yang membuatnya sedikit merenung. Oleh karena itu, Mansjur selalu menekankan kepada para guru dan kepala sekolah agar tetap bisa mempertahankan prestasi yang sudah diperoleh.
Berawal dari Nol
Setelah Sekolah Cinta Kasih beroperasi, ia membantu proses pendirian DAAI TV bersama Hong Tjhin. Saat itu, izinnya sudah didapatkan dari Gubernur DKI Jakarta. Saat diminta bantuan, Mansjur mengatakan kalau untuk mengurus sekolah ia tahu kuncinya. Perhatian seorang guru kepada murid-muridnya adalah yang terpenting. Namun stasiun televisi adalah sesuatu yang baru baginya. Mansjur buta sama sekali dengan stasiun televisi, namun untungnya di Taiwan stasiun televisi DAAI sudah beroperasi. Eric Yao selaku CEO Da Ai TV Taiwan pada waktu itu banyak memberikan masukan dan pelajaran kepada staf DAAI TV Indonesia. Dari pertama kali gagasan pendirian DAAI TV lahir, DAAI TV Indonesia benar-benar mulai dari nol. Jangankan tentang program, frekuensi dan pemancar pun, Mansjur tak mengerti sama sekali. Merupakan sebuah keberuntungan bagi DAAI TV Indonesia ketika Eric Yao dan rombongan datang ke Indonesia dan memberikan arahan. Arahannya begitu mendetail mulai dari peralatan siaran hingga program-programnya. Program asistensi ini kemudian dilanjutkan oleh 2 staf senior Da Ai TV Taiwan, Dylan (Yang Dong-liang) dan Grace (Tong Siang-ling).
Tim awal DAAI TV Indonesia mulai melakukan rapat dengan tim Da Ai TV Taiwan. Kedua tim mulai membahas masalah frekuensi, pemancar, program drama yang didubbing, ditranslate, dan lain-lain. Pembahasan menjadi lebih serius di bulan Agustus 2005 dan di tahun 2006 rapat persiapan organisasi pun menjadi lebih intensif. Hasilnya, di bulan Oktober 2006, DAAI TV Indonesia telah mulai menyiarkan program khusus ASEAN News di Da Ai TV Taiwan.
Perkembangan terus berlanjut karena di tahun 2007, persiapan DAAI TV Indonesia sudah lebih matang karena alat-alat sudah mulai dipasang. Jika dahulu DAAI TV Indonesia masih memakai satelit Da Ai TV Taiwan, saat ini DAAI TV Indonesia telah menggunakan satelit sendiri. ”Saya harus berterima kasih kepada Hong Tjhin yang lebih punya banyak waktu untuk rutin memimpin DAAI TV,” ujar Mansjur Tandiono.
Mansjur juga sangat menyukai olahraga. Namun tak seperti kebanyakan orang yang hanya ingin tahu siapa yang menang dan kalah. Mansjur melihatnya dari sisi yang berbeda. Roger Federer contohnya. Ia mengagumi petenis nomor satu dunia saat ini yang memiliki pukulan begitu hebat itu. Hal yang sama ia saksikan pada diri atlet basket, lari, dan golf. Bagaimana manusia dapat memaksimalkan kemampuannya yang luar biasa, itu yang dilihat oleh Mansjur Tandiono dari olahraga. ”Kalau mau sukses harus tekun, tabah, dan latihan yang rajin,” tegas Mansjur yang pernah masuk dalam daftar 5 besar pegolf amatir nasional pada awal tahun 1990-an.
Kehadiran stasiun televisi DAAI TV adalah sebuah fenomena unik di dunia pertelevisian Indonesia. Dengan mengusung prinsip zhen (kebenaran), shan (kebajikan), dan mei (keindahan). DAAI TV Indonesia menyajikan kepada para pemirsanya sebuah kebenaran. Untuk merealisasikan hal itu, setiap program DAAI TV tidak berhubungan dengan politik, mistik, magic, dan segala bentuk kekerasan. DAAI TV memberikan kepada masyarakat sebuah tayangan yang sungguh-sungguh. Begitu pula dengan kebajikan. Apa yang disampaikan kepada masyarakat harus berlandaskan kepada kebajikan kepada sesama. Selain itu, program yang ditayangkan di DAAI TV juga harus memberikan keindahan kepada masyarakat. Materinya lebih berisi, berguna, tontonannya santun serta gambarnya mengharukan. ”Dengan menyaksikan DAAI TV masyarakat akan terhibur dengan sehat. Melihat namun berguna, itulah tujuan dari aliran segar DAAI TV,” jelas Mansjur Tandiono.
Satu saat, Mansjur pernah diwawancarai tentang apakah ia tak takut dengan anggapan orang bahwa ia adalah orang awam di dunia pertelevisian. Mansjur menjawab, tak masalah dan tak khawatir sedikit pun karena stasiun televisi DAAI TV memiliki misi tersendiri. ”Dengan aliran segar membantu masyarakat,” ujarnya optimis. Sejak pertama kali DAAI TV melakukan siaran, telah banyak pemirsa yang terinspirasi dan berubah. ”Banyak contoh perubahan yang lebih baik terjadi di masyarakat setelah menonton DAAI TV,” paparnya.
”Saat ini DAAI TV telah mengudara, masyarakat sudah merespon. Awalnya memang ada yang memiliki tanggapan negatif, ‘Kok banyak bahasa Mandarin, asing to?’ Kemudian ada yang bilang, ‘Apa ini televisi agama?’ Lama-lama dilihat dan tenyata lain serta berbeda. Pokoknya harus ada cita-cita dan perubahan baru,” terang Mansjur Tandiono menutup wawancara di sela-sela waktunya yang padat sore itu.
Seperti dituturkan kepada Himawan Susanto
Foto: Dok. Tzu Chi