Minarni: Da Ai Mama Sekolah Tzu Chi Indonesia
Berpusar dalam Misi Pendidikan Tzu Chi
Mendidik satu anak di rumah terasa beda dengan puluhan anak di sekolah. Saya belajar karakter mereka dan belajar memberikan metode pendidikan yang berbudaya humanis.
Saya mengenal Tzu Chi berkat almarhum kakak saya seorang relawan Tzu Chi. Lalu semakin tahu Tzu Chi sejak anak saya, James Joelianto, masuk ke Sekolah Tzu Chi Indonesia pertengahan tahun 2012 lalu. Waktu itu saya merasa banyak waktu terbuang karena menunggu James bersekolah. Dua jam bagi saya sangat lama, dia masuk jam 8 pagi dan selesai jam 10 pagi. Namun kalau untuk pulang lagi ke rumah di daerah Puri, semakin membuang waktu. Saya lalu bertanya kepada salah satu orang tua murid, apa kesibukan mereka saat menunggu anaknya sekolah. Jawabannya adalah membantu menjadi relawan konsumsi.
Di dapur sekolah, saya dan relawan Tzu Chi lainnya membantu memotong sayuran atau hal lain untuk persiapan makan siswa siswi. Beberapa bulan saya terus aktif di dapur sekolah. Pada bulan September – Oktober tahun 2012 menjadi tahun yang membuat saya sangat bersemangat karena ikut membantu di dapur umum Tzu Chi menyiapkan nasi bungkus untuk korban banjir Jakarta. Saya merasakan cinta kasih sangat besar tercipta di sini dan membuat saya semakin semangat untuk berbuat lebih banyak.
Menjalani aktivitas kerelawanan sebagai Da Ai Mama (relawan Tzu Chi dari orang tua siswa siswi Sekolah Tzu Chi Indonesia) mulai saya jalani ketika Sekolah Tzu Chi Indonesia akhirnya membentuk komunitas ini (Da Ai Mama). Selain memberi pengajaran budi pekerti kepada anak-anak, Da Ai Mama juga memberi pelatihan merangkai bunga, menyajikan teh, dan mendampingi kelas budi pekerti di kelas. Saya sangat beruntung mendapat pelajaran melatih kesabaran.
Mendidik satu anak di rumah sangat beda dengan menghadapi puluhan anak di sekolah. Saya belajar karakter mereka dan belajar memberikan metode pendidikan yang berbudaya humanis. Saya juga belajar kemurnian hati anak-anak.
Master Cheng Yen mengatakan bahwa, dalam belajar kita membutuhkan kepolosan hati seorang anak, ketangguhan seekor unta, serta keberanian dan ketangkasan seekor singa. Dengan bergabung menjadi Da Ai Mama, kepekaan saya mulai tumbuh dan saya semakin mantap berada di jalan Tzu Chi.
Lompatan besar lainnya yang saya jalani adalah ketika saya akan dilantik menjadi komite. Sebelum dilantik saya sempat meminta izin kepada suami saya untuk bervegetaris, tapi suami saya bilang, “Ya sudah kamu tidak usah menjadi komite dulu lah.” Suami saya takut kalau saya kurang gizi karena menjadi seorang vegetarian. Tekad keteguhan hati saya, saya mencoba meyakinkan suami dengan bantuan anak saya. Anak saya yang sudah mengetahui apa itu bervegetaris mengatakan kepada ayahnya, “Daddy, kasih-lah mami jadi vegetarian, nggak apa-apa, sehat itu.”
Perlahan-lahan suami saya mulai mengijinkan. Ketika pergi ke luar untuk makan, suami mengajak ke tempat makan yang bisa menyediakan menu vegetaris. Sampai pada saat perayaan Bulan Tujuh Penuh Berkah tahun 2017, ia akhirnya mengizinkan saya untuk bervegetaris secara penuh. Saya rasa dia merasakan tekad saya begitu besar dan melihat sendiri bagaimana Tzu Chi bisa mengubah saya menjadi lebih baik.
Sekarang saya sudah relawan komite yang membuat saya lebih berkomitmen. Komite adalah sebuah tanggung jawab, sebuah komitmen untuk menjadi murid Master Cheng Yen yang seutuhnya. Saya bertekad untuk terus membantu Master untuk mewujudkan 3 harapan Master yaitu Mensucikan hati manusia, masyarakat hidup harmonis, dan dunia bebas bencana. Karena ketika dilantik menjadi relawan komite, ada kalimat fo xin shi zhi (Hati Buddha Tekad Guru) yang tersemat di dada setiap relawan.
Seperti dituturkan kepada: Metta Wulandari