Oey Hoey Leng
Ribuan Teratai Bermekaran di Hati
Jalinan jodoh Oey Hoey Leng dengan Tzu Chi terajut di tahun 1998. Ratnawaty Boestami, sang teman, kala itu bercerita padanya tentang kegiatan yang sedang diikuti oleh kantornya. Saat itu adalah pertama kalinya ia mendengar nama Tzu Chi. Percakapan tersebut membuat hati Oey Hoey Leng pun berdebar-debar. Dan di kesempatan berikutnya, dari sang teman pula ia kemudian mendapatkan sebuah buku yang berjudul “Ribuan Teratai Bermekaran di Hati”.
Sejak mendapatkan sebuah buku kecil hijau tersebut ia pun mulai membaca dan langsung tertarik. Buku yang berisikan kisah perjalanan Tzu Chi, Master Cheng Yen, serta visi dan misi Tzu Chi ini kemudian membuat teratai dalam hati seorang Oey Hoey Leng bermekaran, sehingga ia pun mulai mengikuti kegiatan Tzu Chi.
Pada tahun 1998, krisis moneter melanda Indonesia, inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Melihat keadaan tersebut Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang baru 4 tahun berdiri di negeri ini pun segera mengambil tindakan untuk membagikan paket sembako kepada warga yang membutuhkan. Saat itu tidaklah mudah membagikan paket sembako dalam jumlah yang begitu besar mengingat jumlah relawan Tzu Chi belum sebanyak saat ini. Bertepatan dengan itu, Eka Tjipta Widjaja dan putranya Franky Oesman Widjaja, pimpinan Grup Sinarmas–tempat Hoey Leng bekerja-tergerak untuk mendukung misi Tzu Chi di Indonesia. Franky juga mengajak Hoey Leng untuk ikut berkontribusi. Hal ini yang kemudian amat disyukuri wanita kelahiran Jakarta 22 Juni 1956 ini karena sejak saat itu ia juga diberi keleluasaan untuk bersumbangsih lebih banyak di Tzu Chi di tengah tugas utamanya memimpin Divisi Audit di Grup Sinarmas.
Jalinan Jodoh Tzu Chi dengan Pati
Di tahun 1999, beberapa anak Pati yang tinggal di Jakarta datang kepadanya untuk meminta bantuan pendidikan bagi anak-anak di Pati yang kurang mampu. Saat itu kondisi Pati benar-benar sangat sederhana bahkan kekurangan. Tanpa ragu lagi ia pun mau membantu dan berpikir hanya beberapa orang saja yang perlu dibantu. “Ternyata pada Bulan Juni dia balik ke saya dengan data seratusan anak asuh dan saya pun kaget. Dulu sangat polos, segala apa yang terpikir saya sampaikan. Saya ajukan ke Bu Su Mei (ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia-red), dan Bu Su Mei pun tidak menolak. Ia bilang kalo ada yang mau pegang ya boleh aja,” ucapnya. Karena sudah mendekati masa masuk sekolah, Hoey Leng pun memutuskan untuk segera melakukan survei ke setiap anak yang mengajukan bantuan. Ditemani beberapa relawan dan dua anak Pati yang mengajukan bantuan tersebut mereka pergi dari satu tempat ke tempat berikutnya. Banyaknya tempat dan rumah yang harus mereka kunjungi membuat survei terkadang berlangsung sampai malam hari. Saat itu belum ada lampu di Pati sehingga jalanan pun gelap dan mereka harus menggunakan senter untuk menerangi jalan.
Setelah disurvei dan disetujui dalam rapat yayasan, akhirnya ratusan anak Pati pun menjadi anak asuh Tzu Chi. Setiap 6 minggu sekali, Oey Hoey Leng bersama dengan relawan lainnya berkunjung ke sana untuk memberi semangat, bermain bersama, dan mengajari anak-anak beberapa pelajaran seperti bahasa Inggris agar mereka lebih percaya diri. “Mereka yang nggak bisa baca diajarin baca. Senang sih, secara tidak sadar sebenarnya saya merasa welas asih dalam diri kita juga jadi tumbuh karena kita concern kepada mereka, kita ingin memberikan sesuatu kepada mereka,” ungkapnya.
Memanusiakan manusia adalah sebuah panggilan hati yang telah dimiliki Hoey Leng sejak kecil, dan saat tumbuh dewasa pemikirannya pun semakin matang dan memiliki kebijaksanaan. Di matanya, anak-anak tersebut adalah sosok manusia yang eksistensi dan keberadaannya harus menjadi perhatian utama. Salah satu caranya adalah melalui pendidikan. Ia ingin setiap anak merasakan pendidikan di bangku sekolah. Program anak asuh ini juga dilakukan agar dapat menghambat pernikahan dini anak-anak di Pati, mengingat di pedesaan anak-anak yang masih di bawah umur pun sudah dinikahkan. Ia menjelaskan, “Kalo bagi saya, dengan cara ini kita bisa menghambat pernikahan dini mereka. Dengan mereka bersekolah, merasakan dunia kerja, tentunya wawasan mereka akan semakin berkembang.”
Belajar dari Masa Kecil
Pemikiran Hoey Leng untuk membantu anak-anak kurang mampu untuk mendapatkan kesempatan pendidikan ini tentunya tak lepas dari pengalamannya yang juga pernah berada dalam posisi seperti anak-anak itu sehingga ia pun dapat merasakan keinginan dan harapan yang dirasakan oleh mereka. Oey Hoey Leng di masa kecil sangat berbeda dengan saat ini kehidupannya. Anak ketujuh dari 8 bersaudara ini hidup dalam keluarga yang sederhana.
Meskipun begitu, sang ayah ingin semua anaknya dapat menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi, dan keinginan sang ayah pun terwujud. Kedelapan orang anaknya dapat menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. “Kalo ditanya, kita bisa bingung uangnya dari mana. Papa saya bukan pedagang, uangnya pernah hilang ditipu orang, akhirnya papa hanya bekerja sebagai karyawan biasa, dan ibu saya yang mengatur keuangan keluarga.”
Segala hal mereka kerjakan untuk menutupi kekurangan. Pada saat ia duduk di bangku kelas 6 SD mereka pernah membuka usaha konveksi. Sang ibu membuat baju dari sepotong kain yang dititipkan orang dan baju itu pun terjual. Dari satu kain yang dibuat oleh ibunya, lalu mulai menjadi dua dan semakin lama terus bertambah. Saat itu keluarga mereka juga berjualan “Es Mambo” untuk dititipkan di warung-warung. Hoey Leng kecil bertugas untuk mengantarkan sebuah termos berisi es setiap pagi. Saat pulang sekolah, ia pun mengecek apakah esnya laku atau tidak. Jika laku ia merasa senang, dan jika ada yang tidak laku maka ia akan menukarnya dengan yang baru karena es yang lama sudah mulai mencair.
Kedua orang tua Oey Hoey Leng bukanlah sosok yang terbuka dengan anak-anaknya. Mereka tak menunjukkan kasih sayang mereka secara langsung kepada anak-anaknya. Walaupun begitu, melihat perjuangan keras kedua orang tuanya membuat Hoey Leng kecil tak tega dengan pengorbanan yang harus dilakukan kedua orang tuanya. Saat melihat sang Mama pergi ke pasar, ia pun memaksa untuk ikut. Saat tidak diizinkan ikut, ia akan berdiri di depan pintu pagar supaya bisa ikut. Untuk menghemat pengeluaran, mereka berjalan kaki ke pasar yang berjarak cukup jauh bagi langkah kakinya yang kecil. “Mama merasa saya merepotkan dia, karena saya jalannya lama dan suka mengamati keadaan di jalan. Saya mau ke pasar bukan karena suka, tapi karena saya mau bawain keranjangnya, karena merasa kasihan Mama membawa itu berat,” ucapnya mengenang masa kecilnya.
Semakin bertumbuh dewasa pandangannya pun semakin terbuka. Ia mulai berpikir bahwa walaupun kedua orang tuanya bukan sosok yang terbuka, namun rasa sayang mereka sebenarnya ada. Begitu dewasa ia pun mulai berkomunikasi. Melihat salah satu anaknya bekerja, kuliah, dan menjadi asisten dosen, sang ayah gembira dan bangga sehingga mulai lebih terbuka. Saat duduk di semester 4, ia melamar menjadi asisten dosen agar terbebas dari uang kuliah, dan ternyata setelah lulus ia pun ditawari menjadi dosen. “Papa seneng saya sharing tentang pekerjaan saya, ia senang melihat kemajuan anaknya. Sebenarnya di balik tidak komunikatifnya mereka, ada satu keunggulan yang luar biasa, keteladanan. Melihat Papa yang sangat rapi dengan administrasi, rumah yang sangat sederhana tapi rapi, terus prinsip yang tidak mau menerima bantuan dari orang lain membuat saya kagum terhadap Papa.”
Pengalaman masa kecil itu membuat ibu dari Wiryadi Winata Nagawijaya (27 tahun) dan Wiryani Winata Nagawijaya (23 tahun) ini mengerti akan perasaan anak-anak Pati yang menjadi anak asuh. “Mereka kadang nggak terpikir bahwa dulu begitu susah. Saya bilang bahwa itu sangat bermanfaat, dan kadang saya temui banyak anak Pati yang hidup begitu susah, tapi punya prinsip yang begitu hebat. Mereka bisa bertahan dan tetap tekun sehingga mereka akhirnya bisa maju,” ucapnya.
Menerima Tanggung Jawab Menjadi Pembina RSKB Cinta Kasih
Konsistensi Oey Hoey Leng pada misi kesehatan membuatnya hingga saat ini dipercaya menjadi Pembina Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. Bukanlah hal yang mudah untuk menangani sebuah rumah sakit, apalagi latar belakang pendidikan Hoey Leng bukan berasal dari dunia medis. Saat itu izin rumah sakit pun sulit didapatkan, bukan dari pemerintah namun dari Master Cheng Yen. “Saat itu Master Cheng Yen sebenarnya belum menginginkan kita memiliki rumah sakit. Kenapa? Karena Master tahu bahwa tanggung jawab untuk punya rumah sakit itu besar. Kalau kekuatan untuk mewujudkan visi Tzu Chi (menyucikan hati manusia-red) nggak kuat tentu nggak mudah untuk punya tim di bidang ini yang mampu menjalankan rumah sakit,” ungkapnya.
Pada tanggal 10 Januari 2008, rumah sakit ini mulai beroperasi selama 24 jam dengan sarana dan fasilitas yang cukup lengkap. Walaupun melewati banyak kesulitan, RSKB Cinta Kasih Tzu Chi pun menunjukkan perubahan yang jauh lebih baik. “Satu mungkin yang dulu nggak diduga, dulu saat masih berupa poliklinik, pasien sepuluh aja sulit tercapai. Kita pikir kepercayaan orang terhadap kita nggak mudah sebagai rumah sakit baru. Tapi seiring waktu, pasien mulai meningkat, banyak juga dokter senior dari rumah sakit lain, termasuk Dokter Kurniawan yang bersedia menjadi direktur rumah sakit, mau join kemari. Pasien pun mulai meningkat dan fasilitas semakin membaik,” tuturnya dengan semangat.
Baginya tantangan yang terbesar yaitu bukan pada operasional rumah sakit tapi pada adanya relawan yang mau bergabung bersamanya untuk mengembangkan rumah sakit ini. Dalam pandangannya, relawan ibarat sebuah bunga, saat bunga itu masuk ke ruang rawat inap, harumnya tersebar, namun ketika pergi harumnya hilang. “Bagaimana harum ini bisa menyebar di seluruh rumah sakit itu yang menjadi tujuan kita. Butuh sekelompok orang yang mau memurnikan hati sendiri dan semua orang yang ada di sini. Ada 3 unsur, kita sendiri, karyawan, dan yang mau dibantu, yang penting kita sendiri harus menjadi teladan. Mencintai karyawan, merangkul mereka, membuat mereka nyaman di sini,” jelasnya.
Seiring berjalannya waktu yang ia lewati bersama rumah sakit ini, Hoey Leng merasakan kebahagiaan menjadi Pembina RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. “Ini bagian hidup saya, kalo saya nengok ke belakang saya nggak terpikir bisa masuk ke dunia rumah sakit, mengenal dokter, perawat begitu banyak, menambah pengetahuan, dan rasa percaya diri kita.”
Belajar Melepas
Semua semangat dan kekuatan yang ia dapatkan saat berjalan di jalan Tzu Chi ternyata berasal pula dari dukungan sang suami yang selalu setia mendampinginya. Namun, sakit yang menimpa sang suami, Pitra Djaja Senaga, membuatnya harus berjalan seorang diri sejak tanggal 4 Mei 2011. Sosok Pitra yang hangat selalu terkenang di hati seorang Oey Hoey Leng. Baginya, Pitra adalah tipe suporter, teman terbaik untuk berbagi cerita, dan selalu mendukungnya, “Saya belum pernah melihat tipikal begitu, karena selalu oke dengan apa yang saya lakukan. Dia nggak pernah bilang jangan dan tidak. Kadang saya pikir, saya sudah begini capek dia nggak bilang ‘Jangan pergi deh’. Yang kedua mungkin yang terasa banget waktu dia nggak ada, orang pada bilang dia hebat banget karena dia selalu ceria, dan anak saya juga merasa bahwa bapaknya sangat hebat,” ucapnya hingga meneteskan air mata.
Saat pendamping hidupnya sakit, ia berusaha untuk menjadi orang yang kuat. Begitu pula saat ini, ia belajar untuk tegar dengan tidak melekat melalui cara melepas. Ia pun bersyukur sudah pernah mengenal Tzu Chi selama bertahun-tahun. Baginya, Tzu Chi adalah tempat yang banyak memberikannya inspirasi untuk bukan sekadar berkarya, tapi juga belajar. Bukan hanya mempelajari hal teknis, tapi belajar juga untuk melatih kebijaksanaan dan tempat untuk menjalin jodoh yang baik.
Salah satu wadah yang membuat setiap insan dapat belajar, menambah kebijaksanaan dan menjalin jodoh baik ini adalah melalui kegiatan bedah buku yang juga rutin diadakan di komunitasnya di Hu Ai Kebon Jeruk Xie Lie KJ1. Hoey Leng aktif mengikuti kegiatan ini dengan menjadi moderator di kegiatan bedah buku di wilayah tersebut. Sosok Hoey Leng dalam bedah buku yang mampu mempererat rasa kekeluargaan antar relawan ini membuat relawan lainnya yang terlibat sebagai koordinator bedah buku, menganggap Hoey Leng seperti “Mami” mereka sendiri. Karena tampak dari caranya membimbing yang ingin membuat relawan lain lebih rajin menambah wawasan melalui membaca dan aktif berbagi pengetahuan saat bedah buku.
Sejak awal mengikuti Tzu Chi, Oey Hoey Leng dengan ikhlas menghadapi semua rintangan dan mengubahnya menjadi pelatihan diri. “Di dunia Tzu Chi banyak orang berpikir kita berkumpul sama-sama untuk berbuat baik, namun pemikiran seperti itu juga bisa menimbulkan banyak masalah. Kalo di Tzu Chi mulus, kita nggak belajar apa-apa. Tanpa sadar kita mungkin tetap angkuh dan egois, merasa diri sendiri baik padahal belum baik, proses seperti itu yang kita temui. Saya bersyukur saya pernah alami. Master Cheng Yen bilang kalo kita dalam keadaan seperti itu kita boleh mundur, tetapi nanti kita harus masuk lagi. Karena di mana lagi kita ketemu tempat yang seperti ini, jangan kita hanya menjadi batu penggosok mereka untuk jadi berlian, karena memang kita perlu digosok oleh mereka,” tuturnya dengan penuh keyakinan.
Seperti dituturkan kepada Juliana Santy
Foto: Anand Yahya, Dok.(Alm) Pitra Djaja Senaga, Stephen Ang(He Qi Utrara), Dok.Sutar Soemithra