Ong Hok Cun
Belajar Dharma dari Para Pasien

  
Setiap orang punya titik awal, dan titik awal dari kehidupan Ong Hok Cun dimulai ketika ia mulai mengenal Tzu Chi pada tahun 1995. Di masa krisis ekonomi melanda itulah Ong Hok Cun atau yang akrab dipanggil Acun ini mengalami ujian berat dalam hidupnya: usaha yang ambruk dan keinginannya menjadi bhiksu yang ditentang kedua orang tua dan keluarganya.

Bagi para pasien maupun keluarga penerima bantuan pengobatan khusus Tzu Chi, sosok Ong Hok Cun atau Acun ini sudah tidak asing lagi di mata mereka. Memang sebagian waktu pria kelahiran Tangerang, 7 Agustus 1972 ini dihabiskan lebih banyak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta untuk mendampingi para pasien penanganan khusus Tzu Chi.
  
Acun juga merupakan salah satu “saksi” berdirinya Tzu Chi di Indonesia, saat Tzu Chi yang dimotori oleh para istri dari pengusaha Taiwan di Indonesia mulai melakukan aktivitas sosialnya. “Tahun 1994 akhir saya bertemu dengan beberapa orang relawan Tzu Chi: Rui Hua, Erina, dan Bhante Vijito. Dari merekalah saya bertemu dan bergabung di Tzu Chi,” terang Acun. Saat itu Acun yang aktif di Wihara Subhasita Tangerang juga cukup mengenal baik Erina dan Bhante Vijito.

Suatu hari, Erina tengah berdiskusi dengan Bhante Vijito tentang program anak asuh yang akan dilaksanakan Tzu Chi di wilayah Teluk Naga Tangerang, Banten. Saat itu wilayah Teluk Naga memang termasuk daerah “minus” dan mengalami banyak ketertinggalan, baik di bidang ekonomi, sarana prasarana, sosial, dan terlebih lagi dalam bidang pendidikan. Acun pun kemudian diajak untuk menjadi salah satu pembina anak asuh. Acun yang hanya sempat mengenyam pendidikan hingga SMP  karena keterbatasan ekonomi itu pada awalnya belum langsung menyetujui untuk terlibat. “Awalnya saya ragu, kok ada yayasan yang mau membantu pendidikan bagi anak-anak nggak mampu tanpa pamrih,” ungkap Hok Cun, “saya aktif lama di wihara baru mengalami ada bantuan seperti ini.”

Setelah mengenal dan dijelaskan tentang Tzu Chi, akhirnya Acun tak menampik tugas itu. Sejak itu ia pun didaulat untuk membina sekitar 150 orang anak asuh, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tugasnya adalah membayar biaya pendidikan anak-anak. Dengan motor pinjaman kanan-kiri, Acun menyambangi berbagai sekolah. Bahkan bukan hanya membayar uang sekolah, terkadang ia pun harus berperan sebagai “orang tua” dari para anak asuh ini, mulai dari mengambil rapor sampai berkonsultasi dengan guru mengenai perkembangan belajar anak-anak. “Setelah menjalani, saya merasa ada sedikit kebanggaan karena bisa membantu banyak orang, meskipun itu uang Tzu Chi. Tapi jauh di lubuk hati, saya juga heran ada yayasan seperti ini. Seandainya dulu sudah ada yayasan seperti ini di Tangerang, tentunya saya nggak hanya tamatan SMP aja,” ungkapnya haru.
 
Keterlibatan Hok Cun di Tzu Chi pun semakin dalam. Dari semula hanya menangani anak asuh , Acun mulai mengikuti kegiatan baksos kesehatan Tzu Chi, yang kala itu tengah gencar memberantas penyakit TBC di Desa Kiara Payung dan Gaga, Tangerang. Bersama Chandra Shixiong, banyak suka dan duka yang dialami saat mensosialisasikan program hidup bersih dan sehat serta mengajak para warga yang terkena TBC untuk mau berobat secara tuntas, mengingat pengobatan penyakit ini harus dilakukan selama 6 bulan tanpa terputus. “Padahal saat itu ekonomi saya sedang hancur,” kenang Acun lirih.
  
Mandiri Sejak Kecil
Seperti kebanyakan anak-anak di Teluk Naga, Tangerang, Acun hidup dengan penuh kesederhanaan. Masyarakat keturunan etnis Tionghoa di daerah ini dikenal dengan julukan “Cina Benteng” (Ciben). Meski masih tetap memegang tradisi leluhur dan adat istiadatnya, mayoritas masyarakat etnis Tionghoa di sini tak lagi mengenal bahasa leluhurnya. Jangankan untuk menulis atau membaca, untuk berbicara dalam Tionghoa saja mereka tak lagi menguasainya.

Acun dibesarkan dengan penuh keprihatinan. Ayahnya seorang pedagang buah-buahan keliling dan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa. Ditempa dengan keterbatasan materi dan kehidupan yang keras, Acun pun terbiasa hidup mandiri. “Sekolah aja saya nggak pernah minta uang saku,” ujarnya, “orang tua saya sangat miskin. Sejak SD saya dah coba cari uang sendiri. Dulu nggak ada yang namanya beasiswa seperti sekarang.” Pekerjaan apapun yang halal dilakukan Acun untuk dapat bertahan di bangku pendidikan, salah satunya mencari makanan untuk ternak. Terkadang Acun juga menerima pekerjaan lepas lainnya. Bisa mencari uang dan memegang uang sendiri, Acun yang masih belia kemudian terjebak dalam ego dan pergaulan yang kurang baik. “Saya nggak dibantu orang tua juga bisa kok,” pikir Acun waktu itu. Bergaul di lingkungan yang tidak baik, Acun pun terseret. Ia mulai merokok sejak SMP. Selepas SMP, karena tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, pergaulannya pun semakin luas. Acun kemudian mulai mengenal minuman keras.

Bukan hanya rokok dan minuman keras, Acun pun akrab dengan dunia balap motor liar. Ia bertaruh sejumlah uang dengan menggunakan motornya sendiri ataupun menjadi joki motor orang lain. Dan parahnya, semua balapan ini dilakukannya tanpa secuil pun alat pengaman, alias tanpa mengenakan helm. “Namanya remaja, buat bangga-banggaan di depan cewek. Kita dah nggak mikirin keselamatan, yang penting gaya. Istilah ‘menghargai jiwa’ dah nggak ada,” kenang Acun.
  
Ditempa dengan derita dan kesulitan, Acun tumbuh menjadi orang yang mandiri. Di luar kenakalannya, ia tetap bekerja untuk membantu keluarga. Dari semula bekerja serabutan, Acun mulai beranjak berdagang dan menjadi pemasok ke toko-toko di sekitar tempat tinggalnya. Dimulai dari berjalan kaki, naik sepeda, sampai berkembang memiliki sepeda motor. Masa keemasan pun pernah dialaminya saat ia berhasil memperluas usaha dan memiliki mobil.
  
Keberhasilan demi keberhasilan membuat Acun sedikit lupa diri dan kurang dapat bersyukur. “Dah mulai serakah, merasa pasti ‘gol’, saya ambil banyak barang dan drop ke toko-toko. Tetapi tahun itu (1998) terjadi kerusuhan dan toko-toko banyak yang dijarah. Saya nggak bisa nagih, orang mereka sendiri bangkrut,” keluh Acun. Terpukul dengan kejadian itu, Acun kemudian mencoba menenangkan batin di wihara hingga akhirnya muncul keinginannya untuk menjadi biksu.

Belajar dengan Melihat, Mendengar, dan Mencontoh
Tahun 1997, Hok Cun mengikuti program Pabbaja (pendidikan persiapan menjadi bhiksu –red). Acun mengungkapkan, salah satu alasan keinginannya menjadi bhiksu adalah ketika ia merasakan bahwa kehidupan ini tidaklah kekal dengan barometer diri dan keluarganya sendiri.  Namun rencana ini gagal, karena ditentang keras oleh kedua orang tuanya, terutama ibu. “Bahkan orang tua saya bilang, sebelum mereka meninggal saya nggak boleh jadi bhiksu. Nah ini kan seperti makan buah simalakama (kondisi yang serba salah -red),” ungkapnya. Hambatan lain juga dialami Acun yang setelah seminggu mengikuti Pabbaja hampir terkena sakit tipus. “Saya masih bisa atasi itu. Yang membuat saya berubah adalah kedua orang tua sakit-sakitan setelah mendengar keinginan saya itu,” kata Acun, “meski sebenarnya mereka awalnya senang karena saya aktif di wihara, namun ketika saya memutuskan untuk menjadi bhiksu, ortu saya merasa down.” Di tengah kegundahan batin itulah akhirnya Acun kemudian memutuskan untuk mengurungkan niatnya menjadi bhiksu. “Terlebih saya sebagai anak laki-laki, kalau saya meninggalkan keluarga yang membutuhkan saya itu seperti mencoba lari dari tanggung jawab,” tegas Acun.

Acun pun kembali menjalani aktivitasnya seperti semula, bekerja dan juga tetap aktif membantu kegiatan Tzu Chi di Tangerang.  Ia bekerja sebagai seorang supir di perusahaan konstruksi. Sambung menyambung antara bekerja dan menjadi relawan, tahun 1999 Acun bertemu dengan Rui Hua, relawan Tzu Chi yang kemudian membawanya ke Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di Gedung ITC Mangga Dua Jakarta. “Di situ saya ditawari untuk bekerja di Tzu Chi,” terang Acun.

Jika dilihat dari penghasilan sebelumnya, sebenarnya masih lebih besar gaji tempat kerja sebelumnya. “Tapi saya ingin beramal dan memupuk karma baik, kalau saya kerja terus kapan bisa berbuat baik. Kalau ini sambil bekerja saya bisa memupuk karma baik,” ujarnya. Dengan motor pinjaman, Acun harus menempuh jarak sekitar 40 km lebih dari Tangerang ke Mangga Dua Jakarta. “Kadang kalau motornya lagi dipake saya numpang sampai Cengkareng dan nyambung naik angkot,” kata Acun mengenang. Barulah setelah 6 bulan Acun memakai fasilitas motor dari yayasan.
 
Di yayasan Acun bertugas menangani pasien pengobatan Tzu Chi yang berobat di RSCM Jakarta. Ada satu pengalaman berkesan yang membuat Acun “setia” mendampingi para pasien. Saat itu Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, datang menyurvei ke salah satu pasien di Tangerang. Saat itu tiba-tiba saja ada seorang warga yang lari dan menghampirinya dan mengatakan ada anak yang sakit.
  
“Nah saya lihat relawan tuh seperti Dewi Kwan Im (dewi yang sangat welas asih dalam agama Buddha –red). Saat melihat pasien itu saya merasa kondisinya dah parah, tetapi Bu Su Mei bilang, ‘Cepat bawa ke rumah sakit supaya bisa menolong hidupnya. Jangan pikirkan biaya.’ Saya kaget bisa ada tekad seperti itu,” puji Acun. Ketika itu para relawan Tzu Chi ini – Liu Su Mei, Rui Hua, Mei Ling, dan Erina – bahkan masih belum mengenakan seragam relawan.

Akhirnya pasien bernama Arisanto tersebut langsung dibawa ke RS Griya Medika Sunter, Jakarta Utara. Arisanto mengalami sakit lambung akut yang membuat tubuhnya menjadi sangat kurus karena tidak dapat makan dan minum seperti orang kebanyakan. Arisanto dirawat hingga sembuh total. “Dari situ saya tersentuh, kenapa orang bisa mau bantu tanpa pamrih,” ungkap Acun.

Dari pengalaman pertama mendampingi pasien di rumah sakit itulah kemudian Acun menimba pengalaman. Dan pengalaman itu semakin kaya setelah ia kemudian mendampingi Ferry di RSCM Jakarta. “Ibu Su Mei dan relawan Tzu Chi Indonesia asal Taiwan lainnya suka ‘kuan hai’ (memberikan perhatian –red) di RSCM. Di sini saya kembali tersentuh melihat Ibu Su Mei begitu baik melayani Ferry. Saya waktu itu hanya melihat tindakan mereka,” jelas Acun. Setelah beberapa lama akhirnya Liu Su Mei pun mendatangi Acun. “Acun, kamu harus bantu pasien di RSCM. Saya orang Taiwan nggak bisa bahasa Indonesia, tetapi saya peduli sama orang Indonesia. Kamu orang Indonesia masa nggak peduli,” tegurnya halus. Selama 6 bulan lebih Acun kemudian turut mendampingi pasien di RSCM Jakarta pada tahun 1999.

Pasien adalah Guru Dharma
Mendampingi para pasien pengobatan Tzu Chi di rumah sakit seringkali membuat Acun terharu dan memberi kesan mendalam. Bagaimana tidak, para pasien ini umumnya mengalami sakit yang sangat parah dan membutuhkan penanganan khusus. Mulai dari perasaan pasien yang putus asa, kegundahan, kemarahan, dan akhirnya tumbuh harapan di dalam diri mereka membuat Acun memetik banyak pelajaran berharga. “Saya menganggap semua pasien itu adalah guru Dharma saya,” kata Acun yang dilantik menjadi anggota komite pada tahun 2004 ini.
 
Dari beberapa pasien yang ditanganinya, ada kisah seorang pasien bernama Ani yang hingga sekarang sulit ia lepaskan dari memorinya. “Ani membuat saya belajar tentang hidup. Kenapa? Anak sekecil itu bisa begitu tabah menjalani penderitaan yang luar biasa dengan kaki yang membengkak terkena tumor. Bahkan dia bisa menenangkan batin orang tuanya,” ucap Acun memuji mental Ani.
  

Jika anak-anak seusianya bisa merasakan keceriaan dan masa kecil yang penuh dengan warna-warni, Ani justru harus bertarung dengan penyakit yang setiap saat bisa merenggut nyawanya. “Ada satu kata-kata yang berkesan waktu ke Pontianak (tempat tinggal Ani -red) saya benar-benar lihat air mata yang tulus, Ani dan relawan. Dia peluk adiknya dan mengatakan, ‘Adik, saya pergi begitu lama kamu pasti rindu sama saya. Saya akan menjaga kamu, saya akan menyayangi kamu.’ Ini membuat hati saya semakin haru. Anak kecil aja bisa seperti itu, saya yang dewasa juga harus bisa mengubah watak saya melayani orang dengan tulus.”

Satu hal lain yang membuat Acun terharu adalah ketika salah seorang anggota keluarga pasien yang tengah berobat ternyata juga turut mendoakan kesehatan dirinya. Kejadian itu diketahui Acun saat ia tengah melihat istri pasien tersebut tengah berdoa selesai salat di mushala yang berada di RSCM Jakarta. “Bu, boleh nggak saya tahu secara pribadi, apa sih yang ibu doakan seusai salat?” tanya Acun. “Saya berdoa untuk kesembuhan suami saya, yang kedua saya berdoa juga untuk kesehatannya Pak Acun,” jawabnya. “Saya terdiam, nggak bisa omong apa-apa,” ucap Acun haru. Ada satu alasan mengapa Acun memilih tempat di dekat mushala di RSCM sebagai tempat berkumpul pasien dan relawan. “Supaya mereka (yang Muslim) nggak gelisah ngadepin masalah, saya suruh untuk berwudhu dan salat dulu. Saya sangat menghormati dan menghargai mereka yang beragama lain dari saya,” terang Acun.

Selama kurang lebih 15 tahun di RSCM Jakarta mendampingi pasien pengobatan Tzu Chi, Acun merasa apa yang dilakukannya ini adalah sebuah cara untuk mempraktikkan Dharma. Dengan perannya sebagai mediator antara pasien, Tzu Chi, dan pihak rumah sakit, Acun dituntut untuk dapat mengakomodir semua kebutuhan mereka, terutama untuk menjalin hubungan baik dengan para dokter. Dalam seminggu ada 5–8 pasien pengobatan Tzu Chi yang berobat di RSCM. Dengan kesungguhan, ketulusan, dan kejujuran yang ditunjukkan “duta Tzu Chi” ini maka pihak rumah sakit pun akhirnya memberi kepercayaan lebih kepada Acun dan rekan-rekannya. “Mereka bisa lihat apa yang kita (relawan) lakukan kepada para pasien. Nah, mulailah di situ ada kemudahan-kemudahan. Saat kita membawa pasien, kita juga cerita tentang Tzu Chi, dari mana sumber dana, dan mereka pun kemudian bersimpati dan tersentuh. Bahkan mereka (karyawan dan dokter RSCM Jakarta –red) ada yang menjadi donatur kita juga,” tandas Acun.

Menurut Acun, pada intinya tidak ada seorang pun yang mau mengalami sakit, semua orang ingin hidup bahagia. Tetapi apakah kebahagiaan itu kekal? Apakah seluruh badan ini akan utuh selamanya, atau kita tidak akan menua? Tidak. Dan jawaban itu ditemukan Acun dalam perjalanannya mendampingi pasien Tzu Chi. “Saya bersyukur, saya belajar kehidupan ini dari pasien. Kalau ditanya siapa guru spiritual saya, selain Master Cheng Yen adalah para pasien,” tegas Acun.

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Anand Yahya
 
 
Jangan takut terlambat, yang seharusnya ditakuti adalah hanya diam di tempat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -