Polin Tjandra
Bekerja dengan Hati
Pada tahun 2002 ketika Jakarta dilanda banjir besar, saya melihat relawan Tzu Chi aktif melakukan kegiatan sosial untuk warga Kali Angke. Dari situlah saya mulai mengenal Tzu Chi. Saya perhatikan Tzu Chi mendirikan rumah susun yang diperuntukkan bagi warga Kali Angke yang terkena relokasi karena adanya normalisasi kali oleh pemerintah DKI. Hal itulah yang membuat saya mengagumi Tzu Chi sebagai wadah yang luar biasa.
Lama-kelamaan saya memberanikan diri untuk mendatangi Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng. Waktu itu memang sedang ada acara yang dihadiri oleh banyak relawan. Sebagai orang yang masih awam saya bertanya kepada salah satu relawan yaitu, Agus Rijanto. Dari Agus, saya mendapatkan banyak informasi tentang Tzu Chi. Mulai dari filosofinya sampai berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh Tzu Chi.
Penjelasan dari Agus Rijanto membuat ketertarikan saya terhadap Tzu Chi semakin mendalam dan saya tahu bahwa Tzu Chi adalah suatu organisasi idealis yang sangat cocok dengan pribadi saya. Maka saya mulai mendatangi kantor pusat Tzu Chi di ITC Mangga Dua dan mulai mengikuti berbagai kegiatan sosial yang diadakan oleh Tzu Chi. Waktu pertama kali ikut saya masih menggunakan rompi cokelat, kegiatan yang biasa diikuti seperti pembagian beras dan kunjungan ke Pesantren Nurul Iman di Parung, Bogor.
Sejalan dengan masa kerja saya yang mulai memasuki usia pensiun, pada tahun 2006 saya benar-benar aktif sebagi relawan Tzu Chi. Saat saya memutuskan untuk aktif di Tzu Chi, saya menyadari betul bahwa saya bergabung di dunia ideal. Maka sikap dan perilaku saya juga harus idealis.
Polin adalah anak sulung dari enam bersaudara dan di dunia kerja ia selalu menduduki posisi leader, kondisi inilah yang membuat ia memiliki sifat mudah emosi. Tetapi di Tzu Chi ia mulai meredam emosi dan menekan egonya.
Dalam keluarga, saya adalah anak sulung dari enam bersaudara dan di dunia kerja saya selalu menduduki posisi leader, kondisi inilah yang membuat saya memiliki sifat mudah emosi. Tetapi di Tzu Chi saya mulai meredam emosi dan menekan ego saya. Meskipun sulit, saya tetap berusaha. Sebaliknya sikap yang tidak mendukung idealisme, saya tinggalkan. Salah satu usaha saya yang bergerak di bidang peternakan ayam potong juga langsung saya tinggalkan, karena saya merasa usaha ini sangat bertentangan dengan Tzu Chi. Daripada menjadi konflik batin, lebih baik saya lepas, sebab Tzu Chi sangat menghargai kehidupan.
Selama bergabung sebagai relawan, berbagai kegiatan Tzu Chi dari 4 misinya telah saya ikuti semua. Keaktifan saya sebagai relawan membuat komunitas mempercayakan saya untuk mengemban tugas yang lebih. Pada tahun 2007 saya diberi kepercayaan sebagi fungsional tanggap darurat di Fu Ai Angke. Setelah itu satu per satu tanggung jawab pun diberikan kepada saya seperti menjadi ketua Xie Li dan ketua depo daur ulang Muara Karang.
Ketika bergabung di depo daur ulang, saya terinspirasi dengan filosofi Tzu Chi yang berasal dari celengan bambu, ditambah dengan pesan Master Cheng Yen yang menggalakkan celengan bambu. Kebetulan waktu itu di Tzu Chi membutuhkan banyak celengan. Biasanya celengan-celengan Tzu Chi didapat dengan membeli dari pengrajin. Dari sinilah saya berinisiatif untuk membuat celengan sendiri dengan bahan yang didapat dari perusahaan supplier kertas tempat dulu saya bekerja. Dengan uang yang terkumpul dari partisipasi para relawan dibelilah mesin potong dan pencetak tutup celengan. Sekitar bulan Oktober 2007 celengan bambu pun mulai diproduksi dengan hasil pertama berjumlah 3000 buah celengan.
Polin berprinsip, ada niat ada tekad, ada tekad ada kekuatan, ada kekuatan ada kebajikan, ada kebajikan ada berkah. Semakin sungguh-sungguh kita melakukan kebajikan semakin besar berkah yang kita terima.
Bagi saya, Tzu Chi banyak memberikan pelajaran. (Kita) harus mampu mengendalikan (diri) dengan cara pandang dan dengan kebersihan batin. “Berlapang dada tidak melukai orang lain, berpikiran jernih tidak melukai diri sendiri; Buat apa kita menyiksa diri atas kesalahan orang lain?” Pesan-pesan Master Cheng Yen itulah yang membuat saya belajar menahan diri. Saya juga berprinsip bahwa di dunia Tzu Chi ini siapa yang bekerja dia yang dapat. Siapa pun yang bekerja itu suatu kerelaan dan menerimanya sebagai suatu kegembiraan.
Saya berusaha mengemban misi Tzu Chi ini dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Tiga perempat waktu saya sekarang banyak diberikan untuk Tzu Chi, tiada hari tanpa mengurus Tzu Chi. Setiap hari saya harus memonitor depo karena di sana sampah menjadi emas dan di situ adalah sumber dana. Menurut saya, di depo itu adalah ladang kebajikan yang berlimpah.
Kebajikan yang kita perbuat dengan sungguh-sungguh akan beda berkahnya dengan kebajikan yang diperbuat secara asal-asalan. Makanya saya selalu teringat dengan perkataan salah relawan Tzu Chi pada film DAAI TV yaitu, “Shanghai-Chongqing itu tidak jauh asal punya hati.” Ada niat ada tekad, ada tekad ada kekuatan, ada kekuatan ada kebajikan, ada kebajikan ada berkah. Berkah itu seperti bola. Bola ditepuk kencang pantulannya kencang, bola yang ditepuk pelan pantulannya juga pelan. Demikian pula dengan berkah, semakin sungguh-sungguh kita melakukan kebajikan semakin besar berkah yang kita terima.
Saya bergabung di Tzu Chi pada dasarnya karena kerelaan. Tzu Chi adalah organisasi sosial kemanusiaan dan pembinaan diri. Tugas dan tanggung jawabnya jelas, sehingga kecil (kemungkinan) terjadinya konflik. Setiap tindakan, setiap gerakan sekecil apa pun itu membawa berkah. Sebab setiap tindakan, setiap gerakan Tzu Chi selalu menjunjung tinggi kehidupan dan selalu untuk sosial kemanusian, bahkan untuk semua makhluk hidup. Selama bergabung di Tzu Chi saya merasakan adanya keindahan, yaitu indahnya bersyukur dan berterima kasih, serta indahnya mengasihi kepada semua makhluk. Inilah yang membuat saya kian merasa bahagia lahir dan batin.
Seperti dituturkan kepada Apriyanto
Foto: Veronika Usha