Relawan Tzu Chi Jakarta: Desi Widjaja
Semangat yang Tak Lekang oleh Waktu
Selalu siap mengemban tanggung jawab adalah sifat yang dimiliki Desi Widjaja. Komitmen, ketelitian, dan kesabaran yang berkembang dalam dirinya membuatnya dijadikan sebagai teladan.
“Waktu kecil dulu kalau (bikin) salah saya dihukum disuruh duduk aja di pojok. Jadi sekarang kalau disuruh duduk aja saya merasa seperti dihukum. Mungkin trauma itu kali ya jadi nggak bisa diem gitu,” canda Desi Widjaja diikuti tawa.
Relawan 76 tahun ini memang dikenal dengan sosok yang aktif, disiplin, dan teliti dalam melakukan segala aktivitas. Tak heran banyak relawan muda yang menjadikannya sebagai teladan. Tahun ini, sebelas tahun sudah Desi Widjaja berkiprah di dunia kemanusiaan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Awal mulanya ia mengenal Tzu Chi melalui pameran buku yang diadakan di pusat pembelanjaan di Kelapa Gading Jakarta pada tahun 2006. Desi juga sempat diajak salah satu relawan Tzu Chi asal Malaysia untuk mengikuti latihan bahasa isyarat tangan.
“Dikasih tahunya pake bahasa tubuh, kalau isyarat tangan itu gerak-gerak tangan gitu, saya kan suka aerobik saya pikir isyarat tangan bisa menggantikan aerobik. Saya datang,” ujarnya tersenyum.
Desi pun cukup terkejut, apa yang kemudian dilihatnya tidak sesuai ekspektasinya. Peragaan bahasa isyarat tangan diiringi lagu bahasa Mandarin dan penuh kelembutan. “Saya nggak ngerti bahasa Mandarin,” ucap Desi. Meski begitu Desi tidak bosan mengikuti kegiatan isyarat tangan ini, ia justru tidak pernah melewatkan latihan. “Saya orangnya nggak mau separo-separo jadi terus aja ikut, nggak mau absen,” tegasnya.
Selang beberapa bulan, pada tahun 2007 di Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang saat itu berlokasi di ITC Mangga Dua, Jakarta Desi mengikuti kegiatan pelatihan relawan. Setelah mengenal Tzu Chi dari pelatihan tersebut, ia cukup merasa “kaget” dengan budaya Tzu Chi. “Saya didikan barat sementara Tzu Chi dari timur. Ada perbedaan yang cukup kaget sih tapi dijalanin aja,” ucap wanita kelahiran Desember 1941 ini. Desi ternyata mampu beradaptasi dengan baik.
Selalu Siap Mengemban Tanggung Jawab
Desi Widjaja (kedua dari kiri) mengikuti kegiatan isyarat tangan di He Qi Timur. Kegiatan isyarat tangan merupakan kegiatan pertama yang ia ikuti ketika ia bergabung menjadi relawan Tzu Chi.
Tak disangka usai mengikuti pelatihan relawan yang merupakan awal dirinya bergabung dengan Tzu Chi, Desi langsung diberi tanggung jawab menjadi Ketua Xie Li (komunitas relawan) Kelapa Gading. Meskipun belum memahami terlalu Tzu Chi, namun Desi tetap siap mengemban tanggung jawab tersebut. “Saya orangnya kalau dikasih tanggung jawab bersyukur, dikasih kepercayaan ya oke aja,” tukasnya. Saat itu wilayah Kelapa Gading masih menjadi bagian komunitas He Qi Pusat. Baru kemudian saat relawan komunitas He Qi Timur terbentuk, wilayah Kelapa Gading masuk bagian komunitas ini.
Lepas dari tanggung jawab sebagai Ketua Xie Li Kelapa Gading, bukan berarti tidak ada ladang berkah yang bisa digarapnya. Desi justru makin giat berkegiatan Tzu Chi. Ketika Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi di Kelapa Gading berdiri dan kepengurusannya diserahkan kepada relawan komunitas He Qi Timur, Desi membantu bagian pembukuan. Setelah depo ganti dikelola oleh relawan dari Grup Summarecon, Desi pun aktif di misi yang lain.
Dengan ketangkasan dan semangatnya, Desi ditunjuk sebagai fungsionaris Kesehatan He Qi Timur, yakni sebagai koordinator baksos kesehatan umum dan gigi. Jika Tim Medis Tzu Chi mengobati pasien yang datang, relawan di bawah komando Desi yang membersihkan alat-alat medis tersebut.
“Kita udah biasa sterilisasi alat, kita biasa cuci-cuci alat (medis),” ucap lulusan ekonomi perusahaan ini.
Desi memang sudah pensiun dari pekerjaannya sebelum gabung dalam barisan Tzu Chi. Kini waktunya pun ia manfaatkan untuk bersumbangsih di Tzu Chi. Selain aktif dalam Misi Kesehatan Tzu Chi, ia juga membantu sekretariat administrasi di komunitas He Qi Timur. Desi memang tergolong pribadi yang ringan tangan, apa saja dikerjakannya selama ia mampu mengerjakannya. Tidak hanya kegiatan di komunitas saja, namun kegiatan He Xin (kantor pusat) yang memerlukan dukungan banyak relawan pun dengan senang hati ia ikuti.
“Udah pensiun banyak kegiatan merupakan berkah. Meskipun umur sudah senja tapi masih bisa berbuat kebajikan, ya terus jia you (semangat –red),” ungkap bungsu dari lima bersaudara ini.
Kesabaran Bertambah, Pengetahuan Berkembang
Usai pensiun dari pekerjaannya, Desi mmenggenggam waktunya untuk bersumbangsih membantu sesama dan melatih diri di Tzu Chi.
Bersumbangsih sekaligus melatih diri merupakan dua hal yang sering dirasakan para relawan Tzu Chi selama mereka bergabung di Tzu Chi. Tak terkecuali Desi. Ternyata selama berada di barisan Tzu Chi banyak pelajaran yang ia peroleh dari organisasi kemanusiaan ini. “Terutama yang bahasa Mandarin,” ucapnya tertawa. Selain keterampilan Bahasa Mandarin, lambat laun Tzu Chi juga membentuk kepribadian Desi.
Desi yang telah bekerja lama di perusahaan asing terbiasa dengan kondisi bahwa dalam melakukan segala sesuatu harus berdasarkan pemikiran benar dan salah, bukan mengedepankan perasaan. “Saya udah dilatih jadi pikiran yang dominan, setelah masuk Tzu Chi perasaan tumbuh. Saya ingat pada Agustus 2011 nonton sandiwara di Taipei saya bisa nangis, padahal saya orangnya dulu paling susah menangis,” ungkapnya, “saya berpikir mungkin perasaan saya mulai tumbuh.”
Perasaan Desi tumbuh, bibit-bibit kesabaran pun berkembang. Ia menjadi pribadi yang sabar dibandingkankan sebelumnya. “Saya orang kantor kan nggak sabaran. Gampang emosian, sedikit saja bereaksi. Sekarang kalau ada apa-apa nggak gampang emosian,” akunya. “Saya malahan dicap orang paling sabar di komunitas relawan Kelapa Gading,” selorohnya.
Dengan ketangkasan dan semangatnya, Desi ditunjuk sebagai fungsionaris Kesehatan He Qi Timur, yakni sebagai koordinator baksos kesehatan umum dan gigi. Desi bersama relawan lainnya membersihkasn alat-alat medis selama baksos.
Tidak hanya mampu mengubah emosinya menjadi lebih baik, Desi juga bisa belajar ilmu baru yang sejak dulu memang diimpikannya. “Waktu masih kerja saya memang pengen belajar powerpoint,” ucapnya. Tak disangka di Tzu Chi juga ada tugas mengerjakan laporan dengan menggunakan program ini. “Kebetulan pas meeting tahunan He Qi Timur nggak dapat buku kliping (laporan kegiatan komunitas), nah waktu itu dibilang siapa saja boleh bantu bikin. Langsung saya bertekad bikin,” ucapnya.
Kliping tersebut dibuat menggunakan Microsoft Office Powerpoint. Desi pun sangat bersemangat karena akan belajar ilmu baru tersebut. “Saya datang langsung belajar ke Shixiong Henry Tando, dan saya senang banget keinginan saya udah lama meski udah pensiun saya dapat kesempatan untuk mempelajarinya,” ucap Desi bahagia. “Saya yang mulai giatin (kliping di He Qi Timur), akhirnya kok senang gitu,” ungkap relawan komite ini.
Merawat Semangat dan Teladan Master
Desi adalah sosok yang ringan tangan. Apapun pekerjaannya selama bisa dilakukan pasti dikerjakannya. Tidak hanya kegiatan dalam komunitasnya, namun kegiatan He Xin (kantor pusat) yang memerlukan dukungan banyak relawan pun dengan senang hati ia lakukan.
Selama berada di jalan Tzu Chi, Desi juga mengenal sosok pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, Master Cheng Yen. Semakin mendalami ajaran Jing Si, Desi justru makin kagum dengan sang Guru. “Kebijaksanaan Master, bisa merangkul banyak orang mengajak untuk bersumbangsih itu tidak gampang, hebat. Saya kagum,” ucap Desi. Kekagumannya membuat dirinya terus berkomitmen di jalan Tzu Chi. Ia memutuskan untuk mengemban tanggung jawab makin besar dengan menjadi relawan Komite Tzu Chi. Desi dilantik menjadi relawan komite pada tahun 2011.
“Kagum dan jadi komite, just do it mengalir aja. Dharma kan seperti air mengalir,” ungkapnya.
Kata Perenungan Master Cheng Yen “Pengalaman masa lalu itu sebagai pelajaran kita, pelajaran sekarang harus dijalani, yang akan datang harus kita capai” selalu dijadikan pedoman Desi dalam memaknai kehidupan ini. “Nah yang sekarang ya just do it aja, yang lalu udah lalu, yang akan datang nggak tahu. Tiap ada kesempatan lakukan yang baik,” tegasnya.
Sebagai relawan Komite Tzu Chi, Desi pun telah bervegetaris sepenuhnya. Sejak kecil ia memang sudah terbiasa bervegetaris meskipun hanya pada waktu-waktu tertentu, ce it cap goh (bulan gelap bulan terang). Pada awal Desi memutuskan untuk bervegetaris sepenuhnya, keluarga besarnya sempat menentangnya. “Kalau pas kumpul-kumpul pesta kan nggak bisa makan. Mula-mula mereka marah-marah, saya ketawa aja. Saya bilang saya mau (vegetaris),” ucapnya. Seiring berjalannya waktu, keluarga dan teman-temannya akhirnya bisa menerima gaya hidup yang Desi pilih.
Desi Widjaja bersama relawan Tzu Chi komunitas He Qi Timur lainnya melakukan kunjungan kasih ke rumah salah satu penerima bantuan Tzu Chi. Ia aktif di misi apa saja selama memiliki kesempatan untuk menggarap berkah tersebut.
Di usia yang sudah tidak muda lagi, Desi (barisan belakang, paling kanan) penuh semangat terus mengabdikan diri dalam kegiatan kemanusiaan Tzu chi. Ia pun menjadi teladan bagi relawan lain di komunitasnya.
Belasan tahun mengenal Tzu Chi, Desi merasakan bahwa berada di organisasi kemanusiaan yang membantu tanpa melihat agama, suku, ras, dan golongan ini seperti berada dalam keluarga sendiri. “Tzu Chi bener-bener seperti keluarga kedua karena lebih banyak perhatian,” ungkapnya.
Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Desi penuh semangat terus mengabdikan diri dalam kegiatan kemanusiaan. “Saya orangnya nggak mau diam, memang suka bantu-bantu. Kalau di He Qi Timur saya ini jadi patokan semangat, jadi mereka malu kalau nggak bantu-bantu kegiatan karena lihat saya yang usianya udah segini masih bantu-bantu kegiatan,” ucapnya tersenyum.
Semangat yang terus dirawat membuat Desi terus mendedikasikan dirinya untuk membantu sesama. Ia bertekad untuk terus bersumbangsih tanpa pamrih bersama Tzu Chi. “Sedapat mungkin meneruskan visi misi Tzu Chi, apa yang diinginkan Master Cheng Yen,” tekadnya. Tekad itu terus ia genggam dalam setiap kesempatan untuk berbuat kebajikan.
Penulis: Yuliati