Relawan Tzu Chi Jakarta: Ng Tjai Phin
Melawan Keterpurukan, Giat Menciptakan Berkah


Besarnya perubahan yang terjadi dalam diri saya membuat saya makin mantap bersama Tzu Chi untuk melatih diri dan bersungguh hati menjalin jodoh baik dengan banyak orang.

Bencana banjir besar yang melanda Ibukota Jakarta pada awal tahun 2012 silam menjadi awal saya berjodoh dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Kala itu saya mendengar bahwa Tzu Chi sangat membutuhkan tenaga untuk membungkus nasi yang akan dibagikan ke ratusan titik lokasi pengungsian. Selain membungkus nasi, relawan juga menyiapkan  paket bantuan banjir dan memilah baju anak maupun dewasa untuk korban banjir.

Melihat banyak orang yang kesusahan akibat banjir, Saya tergerak ingin membantu. Saya bergegas datang ke Tzu Chi Center PIK menemui  Man Ling Shi jie seorang relawan Tzu Chi yang sudah bergabung lebih awal.

Saya menjadi relawan pembungus nasi beberapa hari. Sambil membungkus nasi, Man Ling Shi jie mengenalkan kegiatan kerelawanan Tzu Chi, dari perbincangan membungkus nasi itulah saya bertekad mengenal Tzu Chi lebih dalam lagi.

Tzu Chi memiliki sekolah dari TK hingga tingkat SMU, saya daftarkan si bungsu untuk sekolah di TK Tzu Chi Indonesia. Di TK ini si bungsu menerima pendidikan budi pekerti dan budaya humanis.

Pada suatu ketika, sekolah Tzu Chi mengadakan penyajian teh dan merangkai bunga antara orang tua dan anak. Saat itu saya merasa pendidikan budaya humanis Tzu Chi ini sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak –anak saya. Di bulan Februari 2012, Tzu Chi membuka kelas budi pekerti sebulan sekali untuk umum. Saya bersama suami langsung mendaftarkan anak pertama dan kedua saya.

Agar bisa menemani anak-anak saya selama berada di Kelas Budi Pekerti Tzu Chi, saya ikut bergabung menjadi relawan Misi Pendidikan dengan menjadi Daai Mama (relawan pendamping pendidikan). Dengan menjadi relawan Daai Mama, saya banyak belajar praktik langsung dalam melatih diri saya dalam menghadapi berbagai latar belakang anak-anak lainnya.

Selain itu di komunitas wilayah He Qi Utara, saya rutin mengikuti bedah buku, kunjungan kasih dan pelestarian lingkungan. Dengan mengikuti berbagai kegiatan Tzu Chi, saya menjadi lebih memahami makna bersyukur dan bisa menjalani kehidupan untuk bersumbangsih kepada banyak orang. Bergabung dengan Tzu Chi membuat saya merasakan sukacita dan satu kebahagiaan yang tidak bisa tergantikan dengan apapun.  

Pada Desember 2015, saya didiagnosis dokter menderita kanker payudara. Dokter menyarankan untuk menjalani pengobatan dan kemoterapi. Disaat saya sakit itulah relawan Tzu Chi selalu hadir menemani dan memberi semangat seperti keluarga sendiri. Relawan Tzu Chi datang berkunjung untuk memberi semangat dan menghibur hati saya dan keluarga.

Dukungan dan semangat para relawan Tzu Chi serta Dharma dari Master Cheng Yen membuat saya menyadari untuk terus menciptakan berkah. Saya bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersumbangsih semampu saya.

Saya menyadari, sakit yang saya alami adalah karma buruk saya di masa lalu yang kini telah matang. Dengan sakit ini saya justru bersyukur masih memiliki kesempatan untuk berobat dan bersumbangsih.

Tzu Chi juga telah mengubah sifat buruk saya menjadi lebih baik. Saya dahulu sangat susah mengontrol emosi, setelah menjadi relawan Tzu Chi, saya lebih tenang menghadapi masalah. Saya merasa sangat happy bisa berjodoh dengan Tzu Chi.

Besarnya perubahan yang terjadi dalam diri saya membuat saya makin mantap bersama Tzu Chi untuk melatih diri dan bersungguh hati menjalin jodoh baik dengan banyak orang. Master Cheng Yen yang selalu menjadi inspirasi, saya bertekad untuk terus menapaki jalan Bodhisatwa dan bersumbangsih hingga waktu dan tenaga saya tak tersisa. Selagi diberkahi kesehatan, saya akan terus menggenggam berkah dengan baik untuk bersumbangsih menolong semua makhluk.

Seperti dituturkan kepada Yuliati

 

Cemberut dan tersenyum, keduanya adalah ekspresi. Mengapa tidak memilih tersenyum saja?
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -