Sarpin Lie
Bekerja Dengan Hati


Tahun 1998, bisnis yang dirintisnya selama puluhan tahun  hancur akibat kerusuhan sosial yang melanda Jakarta dan sekitarnya. Ratusan gerai toko aksesori miliknya ludes seiring dengan pembakaran dan penjarahan yang salah satunya menyasar pusat-pusat perbelanjaan. Meski begitu, pria kelahiran Medan ini tak menyimpan bara dalam hatinya, baginya apa yang sudah terjadi  memang sesuatu yang harus diikhlaskan.

Mengenal Tzu Chi dari sang adik Lie Lih Ping yang lebih dulu aktif di Tzu Chi, kala itu tahun 2002 Sarpin memutuskan hanya untuk menjadi donatur saja. Sewaktu diminta untuk menjadi donatur, tanpa banyak tanya ia langsung setuju. Sarpin memang tidak asing dengan Tzu Chi. Tahun 1999 ia sudah melihat Tzu Chi di Penang, Malaysia. “Kalau dihitung sudah 10 tahun. Dari November 2002 saya mulai donasi.Terhitung agak cepat ya, pas tahun 2003 itu ada pembagian beras, jadi langsung aktif ikut, nggak training-training lagi,” katanya mengenang sembari tersenyum.

Pada tahun 2003, kala itu barisan relawan Tzu Chi belum sepanjang saat ini.Sarpin pun kemudian aktif dalam kegiatan pembagian beras cinta kasih bagi masyarakat kurang mampu di Jakarta dan sekitarnya. “Saya rasa itu jodoh. Sesudah kerusuhan kan bisnis hancur, jadi malas ngelanjutin. Saya saat itu banyak waktu luang, dan karena saya sendiri suka untuk kegiatan-kegiatan kemanusiaan ya akhirnya jalan,” terangnya.Sejenak hening, Sarpin tak butuh waktu lama untuk mengenang kejadian 14 tahun silam.Saat itu bisa dibilang bisnisnya tengah dalam masa-masa puncak.Usaha yang digelutinya kala itu adalah counter aksesori pria dan wanita yang ada di setiap supermarket dan mal. “Saya punya 120 lebih counter dengan pegawai sekitar 1.000 orang,” ujarnya tenang. Lebih dari separuhnya kemudian habis terbakar maupun dijarah saat peristiwa Mei kelabu.Kejadian ini pun sempat membuatnya down dan kurang bersemangat untuk berbisnis.Meski begitu Sarpin tidak menyimpan dendam. “Bagi kita nggak ada dendam. Saya pikir waktu datang Jakarta juga nggak bawa duit,” tandasnya.

Meski begitu, karena mengkhawatirkan ke-selamatan istri dan anak-anaknya, pascakerusuhan ia segera memboyong keluarganya untuk pindah ke Malaysia. Hampir 3 tahun di Malaysia, tahun 2001 mereka sekeluarga kemudian pindah dan menetap di Singapura. Di tahun itu pula, ia memutuskan untuk kembali ke tanah air dan memulai kembali bisnisnya. Namun kali ini insting bisnisnya tak sekuat dulu. Jika dulu ia selalu ngotot untuk mendapatkan sesuatu, kali ini bisnis dimulainya dengan ritme yang lebih lembut. “Karena masih kelebihan waktu, maka saat Tzu Chi panggil, saya langsung ‘yes’,” tegasnya. Saat itu (tahun 2003), kebetulan Tzu Chi Indonesia tengah menghadapi hajat besar. Beras sebanyak 50.000 ton didatangkan dari Taiwan guna membantu masyarakat kurang mampu di Indonesia. “Membagi beras dengan cara Tzu Chi juga masih belum jelas, gimana cara baginya, ambil beras, bagi kupon kita belum tahu,” ungkapnya. Namun berkat bimbingan relawan-relawan senior lainnya dan juga kerja sama dari setiap relawan akhirnya pembagian beras dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan prinsip-prinsip pemberian bantuan. 

Menurut Sarpin, panggilan dan jalinan jodohlah yang  membuatnya “singgah” di Tzu Chi. Di Tzu Chi selain bersumbangsih dan berkegiatan sosial, Sarpin juga turut melatih diri di ladang berkah. Banyak perubahan positif yang dirasakannya setelah bergabung di Tzu Chi, salah satunya adalah perubahan dalam sikap. Sarpin yang dulu ‘meledak-ledak’ kini bisa lebih sabar; ia yang dulu selalu menomorsatukan bisnis dan selalu ingin meraih sukses dengan berbagai cara kini menjadi lebih “tenang” dan enjoy. “Dulu kalau bisnis itu selalu maunya menang, kalau sekarang ya kalau jodoh dapat, kalau belum jodoh ya nggak dapat nggakpapa…,nggak terlalu ngotot,” ungkapnya. Tahun 2004 Sarpin menjadi anggota Rong Dong, dan sebulan kemudian ia dilantik menjadi komite. 

Datang Paling Awal, Pulang Paling Akhir
Saat pertama kali bergabung di Tzu Chi, Sarpin kerap bertugas di bagian logistik. “Karena boleh dibilang waktu itu Tzu Chi kekurangan orang, nggak seperti saat ini,” katanya beralasan. Saat itu sistem logistik di Tzu Chi masih sangat sederhana.Tak heran jika tugasnya ternyata bukan hanya mengoordinasi kebutuhan bahan bantuan, tapi juga merangkap ke pembelian, pengadaan, dan bahkan sampai pendistribusian langsung ke lapangan.“Jadi saat ada kejadian kebakaran, kita belanja sendiri, cari sarung, cari selimut, ember, gayung, dan lain-lain,” tukasnya.

Bergabung di Tzu Chi memberi kesan mendalam bagi suami Lie Oi Tju (54), dan ayah dari Felicia Lie (29), Silvia Lie (28), Gracecia Lie (24), Florencia Lie (20), dan Juan Lie (14). Sosoknya mungkin jauh dari tipe pria perkasa, namun tak pernah sekalipun ia menampik jika diutus ke garis depan dalam setiap bencana yang terjadi di Indonesia. Mulai dari gempa dan tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta dan juga Padang. “Seperti di Aceh, itu kita turun paling awal waktu itu. Kalau di tsunami itu kita yang paling awal dan paling akhir,” terang Sarpin.

Tak sulit baginya untuk kembali kepada kenangan saat memberi bantuan di Bumi Serambi Mekkah. Saat terjadi bencana gempa dan tsunami tanggal 26 Desember 2004, dua hari kemudian ia bersama relawan Tzu Chi lainnya sudah sampai di Aceh. Ada 11 relawan dan 2 dokter bersama mereka.Berbagai barang bantuan seperti makanan, obat-obatan, alat-alat kesehatan, dan lainnya sudah tersedia di lambung pesawat. Berangkat pukul 4 pagi dari Jakarta, mereka akhirnya urung mendarat di Aceh, mengingat bahan bakar pesawat tidak mencukupi, sementara mengisi bahan bakar di Banda Aceh belum memungkinkan. “Kita bisa langsung ke Banda Aceh, tapi akan kesulitan saat pulangnya. Jadi bisa dibilang nanti bisa pergi, tapi nggak bisa pulang, jadi kita transit ke Medan dan mengisi bahan bakar,” kata pria berusia 57 tahun ini bercerita.

Sarpin ingat betul, dari sekian banyak LSM yang turun ke Aceh, Tzu Chi merupakan salah satu yang tercepat tiba di Aceh.Dan bukan hanya paling cepat, Tzu Chi juga paling akhir meninggalkan Aceh pascabencana.Keberadaan 2.566 rumah bagi warga Aceh korban tsunami menjadi saksi betapa Tzu Chi bukan hanya memberi bantuan, tetapi juga membantu warga Aceh memulihkan kehidupannya. “Kurang lebih kita 5 tahun di Aceh. Setelah perumahan kita serahterimakan ke warga, baru kita kembali,” ujarnya. Awalnya Tzu Chi berencana membangun 3.700 unit rumah di 4 lokasi. Namun pemerintah daerah setempat hanya sanggup menyediakan di 3 lokasi, sementara lokasi lainnya berada di tempat yang kurang layak dan jauh dari pusat kota. Tzu Chi bukan hanya menyediakan perumahan, tetapi sebuah kompleks yang lengkap, dimana terdapat sekolah, sarana ibadah (masjid), dan juga balai pertemuan warga.

Tanggung Jawab Atas Tugas
Setelah berkiprah di Indonesia sejak tahun 1994, akhirnya pada tanggal 7 Oktober 2012, insan Tzu Chi Indonesia memiliki rumah sendiri, yaitu Aula Jing Si yang berlokasi di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Dimulai pembangunannya pada tanggal 10 Mei 2009, Aula Jing Si berdiri di areal seluas 10 hektar. Bangunan ini menjadi pusat aktivitas kegiatan Tzu Chi Indonesia, kantor DAAI TV, pusat penyebaran empat misi Tzu Chi, pusat pendidikan dan bimbingan bagi masyarakat.

Di balik kokohnya bangunan Aula Jing Si ini, mungkin tidak banyak yang tahu jika begitu banyak orang-orang di belakang panggung yang berjasa dalam pembangunan rumah insan Tzu Chi Indonesia ini.Secara rutin mereka bekerja bahu-membahu memantau jalannya pembangunan, mulai dari pemilihan bahan, tata cara kerja, hingga bagaimana hasil akhir dari pekerjaan tersebut. Bahkan tak jarang mereka mengorbankan waktu seharian di lokasi pembangunan demi “mengawal” pembangunan Aula Jing Si agar sesuai dengan harapan Master Cheng Yen. Sarpin adalah salah satu relawan yeng terlibat di dalamnya. Meski bukan berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi ia sangat menyukai dunia properti, khususnya arsitektur. Beberapa kali ia dipercaya untuk “mengawal” proses pembangunan proyek-proyek Tzu Chi, seperti Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Jakarta dan Aceh serta Sekolah Terpadu Cinta Kasih Tzu Chi di Yogyakarta dan Padang.

Diberkahi pengamatan yang tajam, Sarpin sangat jeli dalam menilai suatu barang.Apakah harganya cocok, spesifikasinya sesuai, cukup rapi atau tidak pengerjaannya.Ketelitiannya tak perlu diragukan lagi dalam mengontrol pembangunan proyek, dan itu adalah sifatnya.  Dalam pembangunan Aula Jing Si contohnya, ia beberapa kali harus berperan “jahat” demi kebaikan Tzu Chi. Salah satunya adalah masalah pintu. Menurut bagian pembelian, pintu itu bahannya bagus dan harganya pun cocok. Namun ia tak begitu saja percaya. Saat melihat kualitas bahan baku dengan harga yang dibayar Tzu Chi, ia pun tak sepaham. Sarpin kemudian mencoba mencari sisa-sisa potongan pintu kayu itu.Ia tusuk dengan kuku-kukunya dan ternyata mudah tergores.“Ini bahannya mudah lapuk!” tegurnya. Satu hal yang dipegangnya adalah ia tidak hanya siap mengkritik, tetapi ia juga siap mencarikan solusinya. “Kalau komen kan harus bisa bertanggung jawab. Kalo komen  nggak tanggung jawab gimana? Kita berani kritik kita juga harus tanggung jawab untuk menyelesaikannya,” tandasnya.

Sebagai orang lapangan, Sarpin lebih suka bekerja langsung ketimbang duduk di belakang meja. Demikian pula dengan kiprahnya di Tzu Chi. Ia lebih banyak aktif terlibat di kegiatan-kegiatan tanggap darurat. Untuk mendalami filosofi Tzu Chi, Sarpin mengaku banyak terinspirasi dari kata-kata perenungan Master Cheng Yen.Selain itu, meski kurang memiliki hobi membaca, untuk buku-buku karangan Master Cheng Yen, ia selalu sempatkan untuk membelinya. “Setahun bisa 4 buku yang dibeli. Kalau saya nggak sempat baca semua, saya berharap anak-anak saya bisa membacanya,” ujarnya. “Bahasa Mandarin saya sendiri kurang bagus, jadi dari 10 kata berbahasa Mandarin hanya 6-7 kata yang saya mengerti, jadi baca pun kadang lompat-lompat, tapi secara keseluruhan sebagian saya mengerti,” ujarnya.

Di mata Sarpin, Master Cheng Yen adalah sosok guru yang patut diteladani.  “Ya, saya menilai beliau adalah Guru yang paling baik untuk saya saat ini. Meski beliau belum pernah keluar negeri, tetapi pengaruh Tzu Chi sudah ada di 52 negara di dunia.Beliau juga bisa tahu kondisi-kondisi di seluruh dunia dan menjadikannya bahan ceramah setiap hari, saya rasa itu luar biasa. Itu yang kita anggap sebagai Buddha yang hidup.”

Belajar dari Pengalaman
Lahir dari keluarga berkecukupan di Medan, Sarpin merupakan anak ketiga dari 7 bersaudara.Meski orang tuanya mampu membiayai pendidikannya, namun Sarpin memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya saat di bangku Sekolah Menengah Pertama. “Nggak tahu kenapa saya nggak suka sekolah,” ujarnya tersipu, “sejak umur 12 tahun saya sudah bantu papa mama kerja di rumah. Kebetulan orang tua punya usaha home industry pembuatan tas di rumah.” Bagi Sarpin, pendidikan yang sesungguhnya adalah dengan terjun langsung di masyarakat.  “Jadi kalo saya di sekolah itu, rasanya kurang bermanfaat bagi saya yang lebih suka kerja. Pendidikan saya dapat semua dari pengalaman dan bermasyarakat,” terangnya.

Meski minim pendidikan, tapi Sarpin kaya akan pengetahuan dan keberanian. Bermodal pengalaman semasa di kampung halaman membantu bisnis orang tuanya, Sarpin memutuskan untuk hijrah ke Jakarta pada usia 17 tahun, “Saya buat home industry pembuatan tas koper dan tas kantor.” Dengan beberapa karyawan yang ada Sarpin bahkan kala itu sudah mulai mengembangkan bisnisnya dengan membuat konveksi pakaian dalam wanita. “Waktu itu saya kurang beruntung, Indonesia belum bisa ekspor pakaian dalam wanita. Kemudian saat adik saya mulai berusaha di bidang ini, dia beruntung  karena beberapa tahun kemudian sudah dapat kuota ekspor. Sampai saat ini di Indonesia pabrik pakaian dalam wanita yang terbesar itu yang dikelola adik saya,” ujarnya.

Begitu pula dengan bisnis pembuatan tas, lantaran kurang berkembang akhirnya pada tahun 1982 usaha home industry itu pun dihentikan. Tak patah arang, Sarpin kemudian mencoba peruntungannya di bidang baru: kuliner. Ia menjadi pengimpor bahan-bahan makanan dari Taiwan, Korea, Jepang, Malaysia, dan Tiongkok yang kemudian dipasarkannya di supermarket-supermarket di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Usaha ini terus berkembang sampai akhirnya ia kemudian berhasil  mengembangkan usaha aksesori pria dan wanita dan memiliki 120 counter toko yang tersebar di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta. “Kepercayaan dan kejujuran”, kedua kata ini terdengar sangat singkat, tapi memiliki makna sangat besar, bahkan menjadi kunci kesuksesan seseorang, baik dalam berbisnis maupun kehidupan. Bahkan tak jarang para pebisnis sukses lebih memilih kehilangan harta benda dibandingkan kehilangan kepercayaan dari orang lain. “Karena itu kita harus jaga kepercayaan orang dengan baik. Berbisnis harus jujur, nggak boleh sampai membohongi orang lain,” tegasnya.

Kenangan di Serambi Mekkah
Sering menjadi tim pertama dalam Tim Tanggap Darurat Tzu Chi, sang istri, Lie Oi Tju,  tidak pernah keberatan saat Sarpin harus terjun sebagai relawan di daerah bencana. Bahkan ia pun tak keberatan jika jadwal pertemuan keluarga menjadi terganggu. “Sebelum gabung dengan Tzu Chi, jadwal saya rutin seminggu sekali pulang ke Singapura. Tapi sejak bergabung dengan Tzu Chi, jadwal saya jadi tidak menentu, karena kegiatan Tzu Chi lebih banyak di Sabtu dan Minggu.” Sang istri sendiri sudah pernah mengikuti training dua kali di Hualien Taiwan, sehingga bisa dibilang istrinya pun cukup mengenal dan memahami Tzu Chi.

Nilai-nilai Tzu Chi juga diterapkannya dalam keluarga, salah satunya bervegetarian. Bersama sang istri ia menjalani pola hidup vegetarian. Sarpin sendiri mulai memutuskan vegetarian pada bulan Juni tahun 2007, bertepatan dengan wafatnya sang ayah. “Saya berunding dengan keluarga dan kami sepakat untuk bervegetarian selama satu minggu. Setelah satu minggu, kita berunding lagi dan sepakat untuk melanjutkan hingga 49 hari,” ujarnya. Setelah lewat 49 hari, kakak dan adik-adiknya banyak yang sudah rontok tekadnya dan tidak melanjutkan vegetarian.Namun, Sarpin dan istrinya tetap terus vegetarian hingga 100 hari dan akhirnya terus bertahan hingga saat ini.

Dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana, menurut Sarpin yang perlu dilakukan oleh Tim Tanggap Darurat (TTD) adalah peninjauan (survei), setelah itu baru memutuskan apa saja yang dibutuhkan di daerah bencana tersebut. Setelah semua siap, baru mulai mengumpulkan barang-barang yang diperlukan dan kemudian mendistribusikannya sesuai dengan sistem Tzu Chi. “Prinsip pemberian bantuan kita adalah langsung dan menghormati para penerima bantuan,” ujarnya.

Dari sekian banyak pengalaman memberi bantuan bencana, bagi Sarpin pengalaman selama membantu dan mendampingi para korban gempa dan tsunami di Aceh adalah yang paling membekas di hatinya. Selama hampir 5 tahun Yayasan Buddha Tzu Chi memberi bantuan dan membangun perumahan di Aceh: Panteriek, Neuheun, dan Meulaboh, tidak kurang dari 60 kali Sarpin pulang-pergi Jakarta-Aceh-Jakarta. Meski di sana keadaannya serba darurat, tapi tetap saja hal itu bisa menumbuhkan kebahagiaan di hatinya. “Walaupun ‘sengsara’, tapi happy. Buang air kecil aja susah, tidur juga susah, di tenda, di terpal, tapi happy luar biasa,” tandasnya.

Dalam proses pembangunan 2.566 rumah bagi para korban tsunami di Aceh, perlu pengawasan dan ketelitian dalam hal ini. Dan dari jumlah itu, sekitar 300 rumah harus ditangani Tzu Chi sendiri dan Sarpin yang ditunjuk untuk menyelesaikannya, “Deal dengan tukang, beli bahan dari Jakarta, aluminium, seolah-olah saya jadi kontraktor.”

Dalam pemberian bantuan bagi korban bencana, nyatanya banyak juga perbedaan-perbedaan sikap dan prinsip dari relawan.Sarpin sendiri tetap berpegang teguh bahwa bantuan yang diberikan oleh Tzu Chi harus langsung diserahkan kepada para penerima bantuan dan oleh relawan Tzu Chi. “Semua bantuan yang diberikan harus langsung dari relawan dan dengan bendera Tzu Chi,” tegasnya. Bantuan tidak boleh dititipkan kepada pihak lain. “Prinsip Tzu Chi dalam pemberian bantuan begitu kuat, harus membantu yang betul-betul membutuhkan,” kata Sarpin. Saat di lokasi bencana, Sarpin dan anggota Tim TTD lainnya akan bersosialisasi dengan Ketua RT/RW, aparat, dan Pemda di sana. “Agar pembagian dapat dilakukan dengan prinsip Tzu Chi, tepat sasaran, dan dapat dibagikan secara merata kepada seluruh korban,” tegasnya.

Meski begitu, terkadang timbul gesekan-gesekan di lapangan dengan relawan lainnya. “Saya di lapangan nggak pernah ribut sama orang. Karena saya biar pun mereka  gimana ke saya, tujuan saya bekerja adalah  untuk Tzu Chi, bukan untuk siapa-siapa. Saya nggak bisa bertengkar dengan orang di yayasan, itu sudah komitmen saya,” jawabnya. Selama menjadi relawan Tim Tanggap Darurat Tzu Chi, Sarpin bersyukur tidak pernah menghadapi kendala yang berarti, baik saat di lokasi bencana maupun saat memberikan bantuan kepada para korban. “Saya yakin itu kebesaran Tzu Chi, kehebatan Tzu Chi, jadi kita mau dimana aja, walau ada banyak rintangan kita pasti akan sampai ke tujuan juga,” tegasnya.

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Anand Yahya, dan Apriyanto

Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -