Sawitri Sidarta: Relawan Tzu Chi Bandung
Tzu Chi Terasa Seperti Rumah Kedua


"Perlahan-lahan saya menjadi pribadi yang lebih bersyukur dan bisa lebih menjaga emosi.”

Pada awalnya, di tahun 2004 saya mengenal Tzu Chi lewat orang tua. Ayah saya adalah seorang dokter dan beliau mengajak saya untuk ikut menjadi relawan di rumah sakit. Awalnya saya kurang tertarik, lalu ayah saya mengatakan, “Coba saja dulu, kalau tetap tidak tertarik ya sudah tidak usah ikutan lagi.” Akhirnya saya mencoba dan setelah beberapa tahun ikut berkegiatan, saya dilantik menjadi relawan Tzu Chi di tahun 2007.

Sebelum bergabung di Tzu Chi, saya pribadi orangnya selalu melihat ke atas dan tidak pernah merasa puas, selalu merasa kekurangan. Setelah resmi menjadi relawan, kegiatan Tzu Chi pertama yang saya ikuti adalah pembagian beras dan survei ke rumah warga. Saat itu saya melihat secara langsung kondisi rumah warga yang jauh dari kata layak. Lalu saya menyadari bahwa ternyata masih banyak orang yang tidak seberuntung saya.

Saat survei ke rumah-rumah warga inilah yang menjadi titik balik kehidupan saya. Saya yang dulunya sombong, setelah bergabung di Tzu Chi perlahan-lahan saya menjadi pribadi yang lebih bersyukur dan bisa lebih menjaga emosi. Selama kurang lebih 20 tahun berkegiatan di Tzu Chi, saya betul-betul merasa bersyukur. Rasanya seperti ada yang kurang kalau belum berbuat kebaikan.

Tentu ada tantangannya, awal masuk Tzu Chi saya sempat merasa kesulitan untuk berbaur. Sebab jarak umur yang cukup jauh dan para relawan ratarata umurnya diatas saya. Tetapi hal tersebut tidak mengurungkan tekad saya, sebab para relawan membuat Tzu Chi terasa seperti rumah kedua, orangorangnya sangat nyaman untuk berbagi cerita. Perbedaan pendapat yang ada diantara relawan bukan menjadi suatu kesulitan, melainkan membuat hubungan kami menjadi semakin dinamis.

Setelah menikah dan punya anak, saya sempat merasa kesulitan membagi waktu di Tzu Chi dan memutuskan untuk rehat sejenak dari berbagai kegiatan. Barulah setelah anak saya sudah cukup besar, saya kembali aktif berkegiatan. Dukungan besar sangat saya rasakan dari suami. Dia tahu bahwa saya sudah di Tzu Chi dari sebelum menikah dan dia menyadari bahwa ini adalah kegiatan yang baik. Salah satu bentuk dukungan suami yang sangat berarti untuk saya adalah pembagian peran untuk menjaga anak, suami dengan senang hati membantu menjaga anak, maka dari itu saya dapat ikut berkegiatan.

Sekitar tahun 2007, saya ke Taiwan dalam rangka pelatihan 4 in 1 yang berlangsung selama 5 hari. Selama pelatihan saya dibantu oleh relawan dari Indonesia yang bisa berbahasa Mandarin. Perjalanan di Taiwan sangat berkesan sebab saya sempat ikut menjadi relawan di rumah sakit dan bertemu Master Cheng Yen.

Saat pertama kali melihat Master Cheng Yen, saya sampai menitikkan air mata saking terharunya. Saya kagum bisa melihat seorang biksuni yang bisa menyebarkan cinta kasih tanpa memandang suku, ras, dan agama ke seluruh dunia. Di mata saya Master Cheng Yen adalah perempuan yang sangat berkarisma. Itulah yang memotivasi saya sebagai sesama perempuan, saya berharap saya bisa terus berbagi walaupun diluar Tzu Chi.

Banyak ajaran dari Master Cheng Yen yang saya ingat dan berusaha saya terapkan. Namun ada satu kata perenungan yang selalu saya ingat. “Di dalam hati setiap orang, hendaknya selalu terkandung sifat berpengertian, bersyukur, mengenal kepuasan, dan menghargai perbedaan.” Kata-kata tersebut yang menyadarkan saya untuk selalu bersyukur atas apa yang telah dimiliki.

Seperti yang dituturkan kepada: Rizki Hermadinata (Tzu Chi Bandung)
Kita sendiri harus bersumbangsih terlebih dahulu, baru dapat menggerakkan orang lain untuk berperan serta.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -