Shelly Widjaja (Relawan Tzu Chi Jakarta)
Menemukan Arti Hidup

Shelly Widjaja meyakini bahwa hidup dapat dijalani dengan ringan ketika seseorang mengerti pelajaran dan makna tentang hidup itu sendiri. Bimbingan dari seorang guru sangat penting baginya, agar tak salah langkah. Di Tzu Chi inilah ia temukan sosok guru serta lingkungan yang membuatnya terus memperbaiki diri.

Pertengahan Maret 2018 lalu, dalam Kamp Pelatihan Komite dan Calon Komite Tzu Chi di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, sebanyak 32 relawan berikrar untuk mulai bervegetaris. Shelly Widjaja (57) yang menyampaikan materi bertajuk Mengapa Harus Bervegetarian sampai kehilangan kata-kata. Ia tak menyangka ajakannya disambut antusias lebih dari yang ia bayangkan.

“Luar biasa, saya tidak expect loh, waduh Gan En sekali. Saya pengen menangis,” reaksi Shelly kala itu.

Relawan Komite Tzu Chi Indonesia ini memang getol mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk bervegetaris sebagai upaya menyelamatkan bumi dari pemanasan global. Tak jemu-jemu, setiap pagi ia mengirimkan pesan ajakan untuk bervegetaris di beberapa grup chat komunitas relawan, utamanya di He Qi Utara 1.

Halooo Shixiong-Shijie, Cao an (selamat pagi–red), kita sudah bervegetarian, sudahkah Anda?” Demikian kalimat pembuka pesan itu yang dilanjutkan dengan deretan nama yang sudah bervegetaris dan yang sedang belajar. Pesan lalu ditutup dengan kalimat “Semoga besok bertambah lagi” disertai emoticon senyum.

Sejak memulai kebiasaan mengirimkan pesan tersebut pada 17 Juni 2016, kini lebih dari 60 relawan telah bervegetaris dan sekurangnya 40 relawan tengah dalam proses belajar. Shelly juga giat mengajak kerabat, rekan, dan para karyawannya untuk pelan-pelan meninggalkan pangan berbahan hewani.


Pemaparan yang disampaikan Shelly Widjaya saat mengajak relawan bervegetaris begitu detail. Shelly juga pandai masuk dalam berbagai kesempatan sehingga penjelasannya mudah diterima oleh semua orang.

Proses bervegetaris yang dijalani Shelly lebih dari tujuh tahun ini terbilang unik karena tak dimulai dengan proses coba-coba. Tahun 2010, ia yang saat itu baru menjadi donatur Tzu Chi bersama suaminya, Siswanto berkesempatan mengikuti Kamp Pengusaha Tzu Chi di Hualien, Taiwan. Ia mendengar langsung Master Cheng Yen berceramah. Master saat itu mengajak setiap orang bervegetaris sebagai cara menyelamatkan bumi yang tengah dilanda kerusakan di berbagai belahan dunia. Saat itu juga Shelly tergugah.

“Master bilang, ‘saya minta kalian bervegetaris itu begitu susah kah?’ Suara Master sedih sekali. ‘Saya ibarat seekor semut di Gunung Sumeru, teriak-teriak tetapi tidak ada yang peduli.’ (Kalimat) itu terngiang-ngiang terus. Setelah pulang 10 hingga 15 hari kemudian tiba-tiba satu hari saya merasa enggak tega ya dengan beliau (Master Cheng Yen). Lagipula itu hal yang simple kok, vegetarian. Akhirnya saya putuskan bervegetaris,” kata Shelly.

Mimpi yang Jadi Nyata

Melihat Master Cheng Yen secara langsung, bagi Shelly seperti sebuah mimpi yang jadi kenyataan. Jauh sebelum pergi ke Hualien, Shelly telah mengagumi sosok Master Cheng Yen yang ia lihat lewat tayangan Lentera Kehidupan di DAAI TV.

“Apapun yang dikatakan Master Cheng Yen itu masuk ke hati. Kayak paku begitu, masuk, klop, dan bisa diterima. Sering juga saat suami saya ada di samping, waktu itu kan belum mengenal Master, saya bilang ‘Eh coba lihat, Biksuni ini hebat ya, ngomongnya pelan, tapi semua kata-katanya benar. Saya kepingin banget ketemu. Suatu hari saya harus ketemu,” kenangnya.

Meski ingin sekali bertemu Master Cheng Yen, Shelly sendiri tak melakukan upaya apapun saat itu. Begitu pula dengan ajakan menjadi relawan Tzu Chi. Shelly mengistilahkan situasi seperti ini dengan sebutan jodoh yang belum matang.

Sepulang dari Hualien, ajakan untuk bergabung menjadi relawan barulah ia respon. Mei Chen, temannya yang lebih dulu menjadi relawan Tzu Chi mengajaknya melihat kegiatan relawan di Sekolah Cinta Kasih Cengkareng, Jakarta Barat. Shelly pun terkesan dan merasa senang berada di sana. Sejak itulah Shelly kemudian mulai ikut bersumbangsih setiap Selasa siang.

Kian Giat Bersumbangsih


Setelah menjadi relawan Tzu Chi, Shelly tak hanya bersumbangsih dalam bentuk materi, namun aktif dalam kegiatan-kegiatan Tzu Chi seperti pelestarian lingkungan. Ia mendedikasikan diri dan bahkan aktif mengisi kegiatan sosialisasi dan training di Tzu Chi.

Pada Januari 2011, Shelly pun mulai mengikuti pelatihan-pelatihan Relawan Abu Putih, sebutan bagi relawan Tzu Chi yang baru bergabung. Selama dua tahun pertama, Shelly fokus di Misi Pendidikan, membimbing anak-anak di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. Tahun-tahun berikutnya, ia mulai aktif di misi-misi Tzu Chi lainnya yakni Amal, Kesehatan, Budaya Humanis, serta Pelestarian Lingkungan.

Pada tanggal 18 Januari 2015, Shelly pun dilantik langsung oleh Master Cheng Yen menjadi Relawan Komite Tzu Chi. Setahun kemudian, Shelly mendapat tanggung jawab sebagai salah satu Wakil Ketua He Qi Utara 1. Di tahun ini pula suaminya, Siswanto akhirnya bergabung menjadi relawan Tzu Chi.

Dipercaya sebagai Wakil Ketua He Qi Utara 1 tentu tanggung jawab yang dipikul Shelly bertambah. Namun Shelly yang seorang ibu dan pengusaha ini memiliki cara untuk mengatur waktu sehingga urusan keluarga, pekerjaan, dan kerelawanan berjalan seimbang.

“Jangan salah loh, saya tidak curi waktu kerja saya. Apapun yang diajarkan Master Cheng Yen, saya dengar dan jalankan. ‘Urus dulu yang di keluarga kalian, pekerjaan kalian’. Lalu yang saya ambil waktu yang mana? Dulu misalnya keramas ke salon, dari mulai siap-siap ke salon sampai pulang itu paling sedikit dua jam. Itu seminggu kita bilang dua kali aja deh, sudah empat jam. Yang nonton TV, yang game, yang jalan-jalan, ngopi sama teman itu yang saya kurangi,” jelasnya.

Merasakan Kebahagiaan


Shelly membagikan brosur ke rumah-rumah warga untuk menyosialisasikan kegiatan pelestarian lingkungan Tzu Chi serta kegiatan Bulan Tujuh Penuh Berkah.

Kebahagiaan, adalah kata yang paling mewakili apa yang dirasakan Shelly selama tujuh tahun ini menjadi relawan Tzu Chi. Sejak terjun di dunia kerelawanan, Shelly merasa hidupnya memiliki arti.

“Saat kita di Tzu Chi itu happy. Kenapa ada orang yang tidak happy? Karena tidak belajar melepas ego. Sebenarnya kalau mau saling menyadari bahwa di sini kita melatih diri, ke sini bukan karena dia, tapi karena Master Cheng Yen, mau belajar,” kata Shelly.

Mencinta Master Cheng Yen, begitu jawabnya ketika ditanya arti Master Cheng Yen baginya. Satu hal yang membuat Master Cheng Yen istimewa bagi Shelly adalah cara Master membimbing muridnya, yaitu dengan memberi teladan yang nyata. 

“Beliau benar-benar lead by example, memimpin dengan memberi contoh. Master bilang sayangi bumi, harus hemat, jangan mubazir, bagaimana dulu beliau menulis pakai pensil, itu kan nyata. Lalu bagaimana beliau hidup sederhana, enggak ada AC, cuma kipas angin. Bagaimana murid-muridnya yang biksuni harus bekerja, benar-benar kita lihat secara nyata,” ungkapnya.

Menemukan Jawaban


Saat banjir Jakarta melanda pada tahun 2013, Shelly bersama relawan Tzu Chi lainnya membantu para korban banjir dan memberi perhatian kepada mereka di pengungsian.

Menjadi relawan Tzu Chi, juga membuat Shelly menemukan jawaban dari banyak pertanyaan yang sebelumnya masih jadi tanda tanya. Antara lain pertanyaan yang muncul sejak ia masih berusia 10 tahun tentang tujuan penciptaan manusia.

“Masa malam tidur, pagi bangun, waktu itu masih sekolah, sekolah trus makan, tidur lagi, begitu terus, trus mati suatu hari. Kenapa ya kok kita jadi orang. begitu saja. Sampai kenal ceramah Master Cheng Yen, oh jadi mengerti,” ujarnya dengan mata yang berbinar.

“Jadi orang itu sebenarnya kan kita menjalani karma-karma kita dan kita harus cari satu jalan untuk pulang. Ini kan kita tumimbal lahir ya kalau ajaran (Buddha) itu, terus-terus, satu jalan ke rumahlah yang kekal. Tapi ya tidak terlalu memikirkan surga atau apa, pokoknya proses ini kita jalani dan kita harus semakin baik. Kita datang ke dunia itu kayaknya itu seperti sekolah, kita harus naik kelaslah, naik kelas, jangan moral ini makin bejat, makin tidak baik,” jelasnya. 

Sejak kecil, Shelly memang kritis dalam berpikir. Shelly yang lahir di Tanjung Pura, Sumatera Utara pada 25 Oktober 1961 ini berasal dari keluarga sederhana dan harmonis. Mengenyam pendidikan di SMA Negeri 1 Medan, Shelly adalah murid yang berprestasi. Tamat SMA, ia bekerja sebagai akuntan di Bank BCA Medan selama dua tahun dan melanjutkan kariernya di Singapore Airline yang memiliki cabang di Medan juga sebagai akunting hingga mencapai puncak karirnya sebagai senior account officer.


Shelly saat memberikan perhatian pada para penerima bantuan Tzu Chi atau yang biasa disebut dengan Gan En Hu. Shelly adalah merupakan relawan yang sangat aktif di semua misi, dan mengemban tanggung jawab sebagai Wakil Ketua Hu Ai di komunitasnya.


Shelly Widjaja (kanan) bersama relawan Tzu Chi lainnya mengumpulkan mangkuk dan memilah plastik sampah di Pekan Amal Tzu Chi 2018. Pada Pekan Amal Tzu Chi 2018 ini, ia mengajak rekan-rekannya menjadi donatur dengan menyumbangkan produk untuk dijual melalui Pekan Amal Tzu Chi 2018. Salah satu rekanan yang menerima ajakannya adalah Henking Wargana, Direktur PT. Gistex (Textile Division) – Rumah Mode, Bandung.

Setelah menikah ia ikut suaminya ke Padang dan pindah ke Jakarta pada tahun 1992. “Berkarir, berkeluarga, punya anak, sibuk di rumah tangga, biasa saja, tidak ada yang hebat-hebat atau apa. Tapi dari titik setelah kenal Tzu Chi, baru rasanya menemukan kehidupan. Karena merasa bisa bersumbangsih kan?” ujarnya.  

Saat ditanya apa harapannya terkait 25 tahun usia Tzu Chi Indonesia tahun ini, Shelly Widjaja menjawab semakin banyak lagi orang yang menjalankan pola makan vegetarian. Ada Kata Perenungan Master Cheng Yen yang paling mengena bagi Shelly, “Waktu berjalan di depan kita,(sedangkan)ketidakkekalan mengejar dari belakang.

“Jadi kita mengejar waktu, kita dikejar ketidakkekalan, artinya ketidakkekalan itu bisa terjadi kapan saja. Artinya apa? kalau begitu kita harus genggam kesempatan. Ketidakkekalan itu artinya sesuatu apapun bisa terjadi. Bukan hanya soal nyawa hilang, bisa juga kita tidak punya waktu begitu lagi, jadi setiap diajak bersumbangsih, ya genggam saja kesempatan itu,” pungkasnya.

Tiga faktor utama untuk menyehatkan batin adalah: bersikap optimis, penuh pengertian, dan memiliki cinta kasih.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -