Shu Tjeng: Relawan Tzu Chi Medan
Dharma yang Membawa Hidup Lebih Bermakna
Berawal dari niat sederhana untuk membantu sesama, Shu Tjeng menemukan bahwa Tzu Chi bukan hanya tentang memberi, tetapi juga melatih diri. Momen berharga bersama Master Cheng Yen mengubah pandangannya, mendorongnya mendalami Dharma, dan menghidupkan kembali komitmennya, bukan hanya di Medan tapi juga Aceh, tempat ia membantu merajut kembali cinta kasih yang pernah tertanam pascatsunami 2004.
*****
Perjalanannya dalam mengenal Tzu Chi bisa dibilang cukup unik. Jika banyak orang mengenal Tzu Chi lewat tayangan-tayangan drama DAAI TV, pria kelahiran 28 Desember 1970 ini justru “mengenal” Tzu Chi secara kebetulan. Ya, Shu Tjeng memang jarang atau bahkan tidak menonton televisi di rumah. Jalinan jodoh Shu Tjeng sendiri di Tzu Chi terajut pada 2008, ketika ia sedang makan di rumah makan vegetarian di Kota Medan. Saat itu, ia melihat seorang Biksuni (Master Cheng Yen) yang tengah membabarkan Dharma di salah satu stasiun TV. “Uniknya, setiap selesai makan, saya merasa Master seolah memanggil saya. Saya kemudian bertanya kepada pemilik restoran tentang sosok biksuni ini dan ini siaran TV apa?” kenang Shu Tjeng sembari tersenyum. Dari sinilah ia mengenal Tzu Chi dan pendirinya, Master Cheng Yen.
Setelah mengenal Tzu Chi lebih dalam, Shu Tjeng semakin yakin bahwa Tzu Chi adalah jalannya untuk berbuat kebaikan dan melatih diri. “Awalnya saya ikut Tzu Chi karena ingin bantu orang, tetapi selama hampir 15 tahun ini, saya merasa Tzu Chi ini juga lahan pelatihan diri untuk saya,” kata Shu Tjeng yang dilantik menjadi Komite Tzu Chi pada 2013.
Seiring berjalannya waktu, pelatihan diri di Tzu Chi mengikis noda batin. Bagi Shu Tjeng sendiri, perubahan yang ia sadari adalah kesabarannya yang semakin luas dan kemampuannya menahan diri. “Dulu kalau ada yang tersinggung atau membuat marah, saya pasti langsung semprot,” kenangnya.
Shu Tjeng juga menginspirasi lewat contoh nyata, salah satunya dalam pola hidup vegetarian yang menginspirasi orang terdekatnya, terutama istrinya, Yenny Waty. “Saya lebih suka menunjukkan dengan perbuatan sehingga orang melihat dan mau mengikuti,” ujarnya. Banyak yang kemudian terinspirasi dan mengikuti jejaknya.
Sebagai relawan pembina Tzu Chi Aceh, Shu Tjeng menjelaskan visi dan misi kepada peserta Pelatihan Relawan Abu Putih pertama di Banda Aceh.
Pengalaman Masa Kecil yang Membentuk Sikap Hidup
Dilahirkan di Panipahan, Provinsi Riau, Shu Tjeng tumbuh di kota terapung dengan rumah-rumah kayu di atas air. Masa kecilnya penuh warna dan tantangan. “Mama saya sering bercerita bahwa saya sudah hampir mati beberapa kali,” kata Shu Tjeng. Salah satu kisah yang terus dikenang adalah ketika ia berusia dua tahun, terjadi kebakaran besar di kota tersebut. Semua orang bergegas menyelamatkan diri dengan kapal. Di tengah kekacauan, sang mama tersadar bahwa anaknya tertinggal. “Saya yang tertinggal!” kenang Shu Tjeng. Beruntung, ada yang kembali dan menemukannya selamat.
Begitu pula ketika keluarganya pindah ke Belawan, Medan. Saat berusia delapan tahun, Shu Tjeng terpeleset dan jatuh ke air. “Saya membalikkan tubuh, kepala menghadap ke langit, dan mengangkat gayung untuk meminta tolong. Untungnya, ada yang melihat dan menolong saya,” kenangnya.
Pengalaman lain terjadi ketika ia mengemudikan mobil ugal-ugalan di Berastagi. Mobil yang ia kendarai kehilangan kendali di tikungan tajam, berputar tak terkendali, namun ajaibnya kembali lurus dan ia selamat. “Saya merasa banyak diberi kesempatan hidup lebih lama. Ini membuat saya semakin yakin untuk berbuat kebaikan,” ujarnya.
Momen di Hualien yang Membuka Mata
Ketika pertama kali bergabung dengan Tzu Chi, Shu Tjeng datang dengan niat sederhana, hanya untuk membantu. Namun, lima tahun kemudian, saat mengantarkan pasien Tzu Chi dari Medan ke Hualien, ia bertemu langsung dengan Master Cheng Yen.
Master Cheng Yen menyebut pertemuan itu sebagai sebuah jodoh. Saat itu, Shu Tjeng menjawab bahwa ia sudah tinggal di Hualien selama sembilan hari. Master hanya tersenyum dan berkata, “Tapi saya melihat kamu hanya dua hari.” Kalimat tersebut terus terngiang di benaknya, seolah ada pesan yang tidak boleh ia abaikan. Momen inilah yang menjadi awal perjalanan Shu Tjeng mendalami Dharma.
Bertekad memang mudah, namun pelaksanaannya tidak. “Awalnya, saya sempat mengabaikan panggilan untuk ikut. Dalam hati saya berpikir, ‘Jam empat pagi’? Namun, pada akhirnya, rasa penasaran saya mengalahkan kemalasan. Ketika saya mendengarkan ceramah untuk pertama kalinya, hati saya tersentuh. Ada sesuatu yang sangat dalam dan berarti dalam setiap kata yang Master sampaikan,” ujar Shu Tjeng.
Shu Tjeng berbagi semangat kepada relawan Tzu Ching (muda mudi Tzu Chi) dalam membagikan paket peralatan sekolah kepada murid-murid SDN Belawan 060966, SDN Belawan 060967, dan SDN Belawan 060968.
Awalnya, ia mendengarkan ceramah sendirian. Ketika pandemi melanda dan menggunakan Zoom, ia membuka ruang virtual untuk orang lain bergabung. Semula hanya ada satu atau dua orang, namun jumlah peserta semakin bertambah.
Kini, setiap pagi jam tiga, Shu Tjeng terhubung dengan link ceramah Master di Taiwan. “Bagi saya, ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan komitmen. Saya tidak ingin membiarkan Master sendirian dalam perjalanan ini,” tegasnya.
Menghidupkan Kembali Cinta Kasih di Aceh
Ketika Shu Tjeng mendapat tanggung jawab sebagai Relawan Pembina Tzu Chi di Aceh, ia teringat pada cinta kasih yang ditanamkan insan Tzu Chi di Aceh pascatsunami 2004. Tzu Chi membangun 2.700 rumah untuk korban tsunami, namun seiring waktu, banyak orang bertanya mengapa perumahan itu seperti dibiarkan begitu saja. Shu Tjeng merasa tergerak untuk membangkitkan kembali semangat cinta kasih di sana. Ia tidak bisa berdiam diri. Baginya, ini lebih dari sekadar bangunan. Ini adalah cinta kasih yang harus tetap hidup, harus dijaga. Pengalaman belasan tahun bersama Tzu Chi di Medan, dan juga perjalanan sebagai kontraktor di Aceh, membuatnya yakin untuk bisa membangun kembali semua ini.
Selama setahun mendampingi relawan di Aceh, ia sangat terharu melihat semangat mereka. Banyak penghuni perumahan yang mayoritas Muslim menunjukkan semangat yang menginspirasi. “Melihat mereka, saya berkata dalam hati, ‘Inilah alasan saya harus terus melangkah’,” ungkapnya.
Yang paling menyentuh baginya adalah bagaimana hubungan yang sempat terputus kini bisa terjalin kembali. Seorang penghuni perumahan berkata, “Kalau bukan karena Tzu Chi, saya mungkin tak punya rumah.” Mendengar itu, Shu Tjeng merasa yakin bahwa cinta kasih yang ditanamkan belasan tahun lalu masih hidup. “Tugas kami adalah memastikan benih itu tumbuh lebih besar.”
Kini, kegiatan di Aceh memang belum sebesar di Medan atau Jakarta, namun yang terpenting adalah konsistensi. Kehadiran Shu Tjeng yang didukung oleh relawan setempat seperti Supandi menjadi kunci agar apa yang dilakukan di Aceh tidak hanya sesaat. “Saya berharap suatu hari Aceh akan membentuk kantor penghubung sendiri dan menjalankan kegiatan dengan kekuatan mereka sendiri,” harapnya.
Aceh adalah perjalanan panjang yang penuh harapan. Dengan semangat bersama, Tzu Chi di Aceh akan terus tumbuh dan berkembang. “Setiap kali saya melihat senyum relawan di Aceh, saya merasa terhubung dengan semangat cinta kasih yang diajarkan Master Cheng Yen. Mereka adalah bukti bahwa cinta kasih itu nyata,” tegasnya.
Penulis: Hadi Pranoto, Nuraina (Tzu Chi Medan)
Fotografer: Amir Tan (Tzu Chi Medan), dok. Tzu Chi Indonesia