Sudarman Koh: Relawan Tzu Chi Jakarta
Ini Adalah Universitas Kehidupan
Tahun 2015 memberikan pelajaran hidup yang sangat penting bagi Sudarman, relawan Tzu Chi dari Komunitas He Qi Utara 1. Di usia 42 tahun, usia produktif, ia terserang Transcient Ischemic Attack (TIA) atau stroke ringan. Sebuah stroke yang meski berlangsung singkat, namun tak bisa diremehkan karena menjadi peringatan bagi penderitanya akan resiko serangan stroke yang lebih hebat di kemudian hari.
“Sedang main badminton, (tiba-tiba) tangan kanan nggak bisa gerak, vertigo, dan gemetar. Setelah itu cari dokter, bukan dokter saraf, tapi dokter THT, enggak ada apa-apa, saya kan nggak terbayang itu (stroke), selang seminggu lagi serangan sekali lagi di rumah,” ujarnya.
Untungnya stroke kedua berlangsung hanya beberapa menit. Serangan ketiga-lah yang membuat Sudarman sangat sedih, wajahnya miring ke satu sisi. “Berarti ini kan sudah stroke setengah bagian ya. Besoknya saya ke Rumah Sakit PIK untuk cek semuanya. Pembuluh darah kita kan ada plak-plaknya tuh, kayak selang, tersumbat, lewat lagi,” terangnya.
Singkat cerita, dengan lebih menjaga pola makan dan olahraga teratur, Sudarman berangsur pulih.
“Saya rasa saya diberkahi, sampai sekarang tidak ada serangan lagi. Ini seperti alarm buat saya. Usia 40-an tahun itu saya kira akan sehat-sehat saja, masih bisa menunda berbuat baik. Ternyata usia segini bisa terserang penyakit demikian. Padahal kata Master Cheng Yen, berbuat baik itu jangan ditunda. Makanya saya jadi bisa menyerap maknanya,” tambahnya.
Di tahun yang sama, Sudarman pun dilantik menjadi relawan Komite Tzu Chi.
“Saya waktu itu merasakan bagaimana nggak bisa gerakkan tangan walaupun sesaat. Ya pasti ada hikmahnya. Selama masih sehat dan saya sudah menemukan Jalan Kebenaran di Tzu Chi, jadi setiap ada kesempatan (beramal) saya ikut,” jelasnya.
Sudarman (kanan) bersama warga Duyu, Palu yang tampak bahagia usai menerima bantuan selimut tebal dari Tzu Chi pada 19 November 2018. Warga Palu yang menjadi korban gempa, likuefaksi, dan tsunami ini mengungsi di kaki Gunung Gawalise.
Bersyukur Mengenal Tzu Chi
Sudarman sangat bersyukur dapat mengenal Tzu Chi. Ketika sudah berkegiatan Tzu Chi, terutama dalam pemberian bantuan pada korban bencana atau di bakti sosial kesehatan, Sudarman begitu all out. Karena itu tadi, ia diberkahi kesehatan, ia gunakan kesehatan itu untuk membantu orang lain dengan sebaik-baiknya.
“Dulu sebelum sakit, apa ya.., suka pilih-pilih kegiatan,” ujarnya terkekeh. Bagi Sudarman, Tzu Chi bagaikan universitas kehidupan.
“Saya belajar bagaimana cara hidup yang benar. Seperti ada rezeki kita sumbangkan, membantu yang lain. Selama kita mampu kita harus membantu. Dan keluarga juga kalau semuanya sudah di Tzu Chi kan sudah tenang,” katanya.
Apalagi sebagai seorang relawan Komite Tzu Chi, ia selalu didorong untuk dapat mengemban tanggung jawab. Sudarman sadar, segala tanggung jawab yang diberikan merupakan satu proses baginya untuk belajar dan memperbaiki kesalahankesalahan agar menjadi pribadi yang lebih baik.
Sudarman mengenal Tzu Chi pada tahun 2002, dari sang tante, Ik Chun yang sudah lebih dulu menjadi relawan Tzu Chi. Mulanya ia diajak ikut berkunjung ke satu komunitas penderita dan penyintas kusta di Tangerang, Banten. Waktu itu Tzu Chi membagikan sembako di sana. Interaksi relawan dan para penyandang kusta menyentuh hati Sudarman.
Setelah itu Sudarman juga mengikuti bakti sosial yang diadakan di Karawaci Tangerang, dan Cikarang. Hanya saja saat diajak ikut sosialisasi untuk menjadi relawan Tzu Chi di ITC Mangga Dua Jakarta, Kantor Pusat Tzu Chi Indonesia waktu itu, ia tidak mau. Tidak siap lebih tepatnya.
“Belum berjodoh, he he..,” ujarnya. Saat itu, Sudarman berpikir dengan menjadi donatur Tzu Chi maka sudah cukup.
Sudarman tengah mencukur rambut seorang pasien yang akan menjalani operasi benjolan di kepala pada baksos di Lombok, NTB.
Pada tahun 2003, Sudarman pindah domisili di Bandung, Jawa Barat. Pria kelahiran Medan tahun 1973 ini membangun sebuah bisnis di sana. Baru pada tahun 2007, saat ia kembali untuk tinggal di Jakarta, Sudarman menjadi relawan Tzu Chi. Saat itu ia pergi ke Mall Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di sana ia mendapati Jing Si Book and Café. Ia juga bertemu Lim Ji Shou, relawan Tzu Chi dari Malaysia dan berbincang-bincang tentang Tzu Chi. Sejak itu, Sudarman pun kembali mengikuti kegiatan-kegiatan Tzu Chi dan resmi menjadi relawan.
“Saya kan waktu itu sudah mengenal Tzu Chi sebelumnya. Lalu pindah ke Bandung untuk bisnis sendiri. Di bisnis itu saya gagal. Di situ saya coba bangkit. Saya ada ikrar jika saya berhasil untuk bangkit, saya mau banyak kerja sosial. Pas memang berjodoh, ketemu lagi dengan Tzu Chi maka makin mantaplah saya di Tzu Chi,” terangnya.
Yang Tak Terlupakan di Palu
Ada satu momen tak terlupakan bagi Sudarman saat Tzu Chi menyalurkan bantuan bagi para korban gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu, Sulawesi Tengah tahun 2018. Kebetulan ini untuk pertama kalinya Sudarman bergabung dengan relawan Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi.
Di tengah persiapan relawan membagikan bantuan di sebuah tanah lapang di Sigi, hujan deras tiba-tiba turun. Padahal nasi Jing Si sedang dimasak untuk dibagikan kepada warga. Relawan dan warga pun meneduh di tenda yang didirikan Tzu Chi.
“Sewaktu bagi bantuan bencana, tim TTD selalu beraktivitas dan merencanakan. Setelah dari sini mau kemana, mau bagi apa. Tapi karena hujan, jadi kami berhenti dulu. Saya baru mengamati bahwa tenda-tenda mereka diisi oleh banyak KK (Kepala Keluarga), berhimpitan dengan alas seadanya. Dan juga banyak tenda yang bocor,” ujarnya.
Sudarman dan relawan Tzu Chi lainnya selalu berusaha menghadirkan keceriaan dalam setiap kesempatan mendistribusikan bantuan kepada warga Palu.
“Menangis juga saya setelah masak nasi Jing Si itu,” imbuhnya.
Momen ini juga menyadarkan Sudarman bahwa sebuah bencana benar-benar dapat terjadi pada siapa saja.
“Pulang dari Palu, yang pertama saya lakukan, saya peluk anak dan istri saya. Saya bersyukur kita di Jakarta jauh dari bencana. Setelah itu saya sharing tentang Palu. Kebetulan anak, istri, dan mertua saya sudah di Tzu Chi. Banyak kegiatan di Tzu Chi yang kami jadikan refleksi untuk jadi lebih baik,” kata Sudarman.
Begitulah cara Sudarman memaknai pengalaman-pengalaman yang ia dapatkan di Tzu Chi. Kata dia, ia meminjam setiap kegiatan Tzu Chi sebagai pelatihan diri.
“Kegiatan Tzu Chi ada banyak. Kalau dalam berkegiatan itu misalnya kita merasa tidak suka sama ini, tidak suka sama itu, itu bukan hasil dari tujuan. Ketika menjadi Korlap (koordinator lapangan) misalnya, saya juga pernah ditegur. Saya tentunya harus dapat menerima masukan, karena kan besok-besok kemungkinan saya diberi tanggung jawab yang sama lagi, jadi saya terus belajar di Tzu Chi ini,” pungkasnya.
Seperti dituturkan kepada Khusnul Khotimah