Susanto Pirono dan Yenny The: Relawan Tzu Chi Biak
Menyemai Benih Tzu Chi di Ujung Timur Indonesia
Dimulai dari Biak, Papua, jejak cinta kasih Tzu Chi menyebar hingga ke Jayapura, Manokwari, dan Sorong, Papua Barat. Di ketiga kota ini Tzu Chi Indonesia telah melaksanakan sembilan kali baksos kesehatan dan kegiatan kemanusiaan lainnya. Di pulau yang luasnya tiga setengah kali Pulau Jawa ini benih-benih cinta kasih juga tumbuh dengan hadirnya “mutiara-mutiara hitam” dalam barisan insan Tzu Chi di Papua.
Kehadiran Tzu Chi di Papua tentu tak bisa dilepaskan dari peranan Susanto Pirono dan istrinya, Yenny The. Pasangan suami-istri pengusaha asal Biak ini “membawa” Tzu Chi dengan harapan bisa menjangkau lebih banyak orang di Papua. “Sebelum di Tzu Chi kami juga melakukan kegiatan sosial, seperti pemberian sembako dan baksos kesehatan,” kata Susanto. Keduanya sepakat bahwa cinta kasih harus bisa diberikan tanpa batas, tanpa memandang suku, agama, ras, maupun golongan. Dan ini yang membuat mereka semakin yakin untuk membawa semangat Tzu Chi di Papua. “Kalau di yayasan keagamaan tertentu, bantuan memang diberikan kepada siapa saja, tetapi anggotanya hanya mereka yang seagama. Tapi Tzu Chi beda, semua agama dan keyakinan bisa bergabung,” kata Susanto. “Ini yang buat jangkauannya lebih besar,” kata Yenny The mengamini perasaan sang suami.
Baksos Kesehatan menjadi pintu masuk Tzu Chi di Pulau Kepala Burung ini. Alasannya sangat mendasar, kondisi kesehatan masyarakat masih sangat memprihatinkan. Kondisi kehidupan dan ekonomi berbanding lurus dengan makanan, kecukupan gizi, kebersihan, dan kesehatan. Belum lagi pola hidup dan tradisi yang membuat beberapa penyakit banyak melanda, seperti malaria, paru-paru basah, dan mata (katarak dan pterygium). Penderita katarak di Papua memang sangat tinggi jumlahnya dan menjadi faktor penyebab kebutaan terbesar. Keterbatasan biaya dan minimnya dokter mata di Papua membuat masyarakat semakin menderita. “Di Papua ini tidak ada dokter spesialis mata, yang ada “dokter terbang” yang datang beberapa bulan sekali,” kata Susanto.
Dari TV Turun ke Hati
Bermula dari
melihat tayangan DAAI TV, Yenny The langsung terpikat dan mencari tahu tentang
Yayasan Buddha Tzu Chi dan pendirinya, Master Cheng Yen. Saat itu tahun 2004. Susanto dan Yenny sendiri
sebelumnya sudah sering berkegiatan sosial, baik secara pribadi maupun dengan
organisasi keagamaan lainnya. Namun ingatan tentang Tzu Chi bersemayam kuat
dalam ingatan wanita kelahiran Makassar tahun 1959 ini. “Saya bilang ke suami,
ini Tzu Chi luar biasa, kita harus ikut,” kata Yenny. Gayung bersambut, Susanto
pun turut.
Jalinan jodoh kemudian mempertemukan Yenny dengan saudaranya, Se Ing Shijie, relawan Tzu Chi Makassar. Dari sini pengetahuannya tentang Tzu Chi semakin lengkap hingga memutuskan untuk menjadi donatur. Tidak cukup sampai di situ, keingintahuannya mengantarkan Susanto dan Yenny ke Hualien, Taiwan dan bertemu dengan Master Cheng Yen. Di sini tekad mereka bulat untuk menjadi relawan Tzu Chi. Di tahun yang sama, ketika Tzu Chi Makassar mengadakan baksos kesehatan, Susanto dan Yenny mulai ikut berpartisipasi dengan mengajak 2 orang dokter dan 5 pasien dari Biak.
Menjadi relawan Tzu Chi membuat kehidupan Susanto Pirono dan istri, Yenny The menjadi lebih berwarna. Keduanya membuktikan jika bekerja dan berusaha bisa dilakukan sejalan dengan berbuat kebajikan.
Setidaknya butuh 6 tahun untuk meyakinkan Susanto dan Yenny untuk “membawa masuk” Tzu Chi ke Papua. Kegiatan pertama yang mereka lakukan adalah melakukan bersih-bersih di kampung halaman mereka sendiri: RSUD Biak. Setelah bersih, barulah diadakan Baksos Kesehatan Tzu Chi di Biak yang melayani pengobatan katarak, pterygium, hernia, bedah minor dan mayor, serta operasi bibir sumbing. “Ternyata sambutan masyarakat baik sekali,” kata Susanto. Melihat kebahagiaan pasien dan keluarganya yang berhasil dioperasi membuat hati Susanto dan Yenny terenyuh. ”Ada pepatah yang mengatakan manusia yang paling bahagia adalah mereka yang bisa membantu orang lain,” tegas Susanto.
Di Tzu Chi, setiap langkah bisa menjadi berkah, dan setiap rencana memiliki tenaga. “Tambah kerja tambah bahagia. Kita tahu manusia ada batas stresnya, dan ketika ikut baksos itu kebahagiaan luar biasa timbul di dalam diri,” kata Susanto. Hal yang sama dirasakan Yenny. Semakin ia mendalami Tzu Chi, dirinya semakin jatuh hati. “Mereka yang sakit itu sangat menderita. Saya bersyukur keluarga saya semua sehat. Dari itu saya jadi lebih semangat di bagian kesehatan,” ungkapnya.
Hal-hal inilah yang membuat ayah dari Mariany Pirono (39), Juliany Pirono (38), Andriani Pirono (36), dan Hadi Sebastian Pirono (31) bersedia menjadi Ketua Tzu Chi Biak. Memang tidak mudah, apalagi wilayah Papua belum seluruhnya bisa dijangkau dengan jalan darat. “Antara kota satu dan lainnya harus ditempuh dengan pesawat,” kata Susanto.
Selain baksos kesehatan, pelan-pelan Misi Tzu Chi lainnya terus digalakkan di Papua, seperti pembagian sembako, penanganan pasien kasus, beasiswa pendidikan, pelestarian lingkungan, hingga bantuan bencana. Bahkan kini Tzu Chi Biak tengah menjalankan program Desa Binaan di Desa Dofyo Wafor, Biak Utara. Di desa yang dihuni oleh 65 orang keluarga ini, relawan Tzu Chi memberikan pendampingan dan sosialisasi. Kegiatannya beragam, mulai dari kelas budi pekerti, baksos kesehatan (tiga bulan sekali), membersihkan mata air, bercocok tanam, hingga membantu pembangunan gereja. Semua ini berjalan mulus hampir tidak ada kendala. “Masyarakat dengan tangan terbuka selalu menyambut kedatangan kami,” tegas Susanto.
Sukses Dalam Bisnis dan Keluarga
Merintis usaha dari bawah, sejatinya Susanto dan Yenny bukan
berasal dari keluarga yang berkelimpahan. Keuletan, ketekunan, dan kejujuranlah
yang membawa keduanya sukses menahkodai grup bisnis mereka, mulai dari
distributor, supermarket, property, kontraktor,
hingga hotel dan peti kemas. “Prinsip bisnis, tentu harus jujur nomor satu,
kemudian tekun dan sabar,” tegas Susanto. Setidaknya ada lima prinsip yang
menurutnya harus dimiliki oleh setiap pengusaha. Pertama adalah bekerja atau
berusaha dengan jujur dan bertanggung jawab. Kedua tekun, harus rajin dan
disiplin. Ketiga konsentrasi dan perhatian. Keempat adalah kesabaran. Kelima
sosial, berbuat kebajikan. “Yang penting juga harus sabar, tanpa kesabaran
walupun tinggi pendidikan orang, walaupun pintar akan sulit untuk sukses,”
tegas Susanto.
Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung, prinsip ini yang dipegang teguh Susanto dan Yenny untuk membantu masyarakat di Papua, Biak, khususnya. Dimulai dari Biak, Susanto berharap benih Tzu Chi bisa terus menyebar luas di seluruh Papua
Bagi Susanto, Tzu Chi adalah kombinasi nyata antara mempraktikkan Dharma dan iman. “Karena iman tanpa praktik itu adalah kesia-siaan,” kata Susanto. Hal ini yang kemudian mendorongnya untuk mengajak para karyawannya ikut bersumbangsih ke Tzu Chi setiap bulannya. “Tidak ditetapkan berapa besarnya, seikhlasnya mereka saja. Ini bagus karena dana ini juga untuk membantu orang lain,” kata Yenny. Selain bersumbangsih dalam bentuk dana, Susanto dan Yenny juga membuka pintu lebar-lebar bagi karyawan yang mau menjadi relawan. “Mengapa melibatkan karyawan? Supaya mereka juga bisa mendapatkan berkah yang baik juga sehingga kehidupannya menjadi lebih baik. Kalau karyawan itu baik maka perusahaan ini juga akan baik,” terang Susanto.
Berbuat kebajikan dan mendalami Dharma. Dua kombinasi mulia ini yang dilakukan Susanto dan istrinya. Banyak perubahan-perubahan posisitf yang dirasakan keduanya, seperti rumah tangga yang lebih harmonis dan kesabaran dalam menyikapi sesuatu. “Kita selalu menerima apa adanya dan bisa melihat ini adalah karma, apa yang kamu buat itulah yang kamu dapat. Kedua bisa mengambil dan meletakkan, artinya, tidak ada orang yang tidak kita senangi. Master ajarkan 5 sifat manusia: ego, keakuan, iri, dengki, serakah. Ini kadang bisa timbul. Timbul kita nggak berasa, makanya oleh Master kita dianjurkan untuk selalu beryukur, toleransi, dan pengertian,” kata Susanto.
Kesabaran juga lebih dekat dengan keduanya. Jika sebelumnya keduanya sering berbicara dengan suara yang keras, kini sudah bisa lebih lembut. “Dulu kalo marah, urat di leher, kelihatannya kayak mau putus (saking marahnya -red), tapi setelah ikut Tzu Chi dan bervegetaris marahnya juga tidak seperti dulu lagi, bisa dikendalikan,” kata Susanto. Susanto dan Yenny mulai bervegetaris sejak mengikuti Pertobatan Air Samadhi di Taiwan tahun 2011.
Dimulai dari Biak, Susanto berharap cinta kasih Tzu Chi ini bisa terus menyebar luas di seluruh Papua. “Di setiap kabupaten bisa ada Tzu Chi,” tekad Susanto. Bukan tanpa alasan, mengingat masyarakat Papua memang masih sangat memerlukan bantuan. Seperti kata Master Cheng Yen, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. “Papua ini daerah yang kaya, tetapi masyarakatnya masih kurang beruntung kehidupannya. Terkadang kebiasaan dan budaya yang membuat kesejahteraan mereka menurun. Ini yang perlu kita bantu dan sosialisasikan,” kata Susanto.
Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto