Sutrisno
Selalu Ada Waktu
Entah sudah berapa lama saya bergabung bersama Tzu Chi, yang saya ingat waktu itu rumah sakit ini masih dalam tahap pembangunan. Setiap kali saya berjalan melewati gerbang masuk Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi terkadang serasa seperti bernostalgia. Kala itu saya masih bekerja sebagai tukang ojek. Pangkalan saya setiap hari ya di sini, di depan RSKB Cinta Kasih Tzu Chi.
Saat itu pernah sekali Tzu Chi mengadakan kegiatan baksos. Saya melihat banyak sekali pasien-pasien yang datang berobat, dari yang sakit ringan hingga sakit parah. Awal ketertarikan saya menolong orang berawal dari rasa iba saat melihat ada seorang pasien yang menderita penyakit diabetes parah, kulitnya sampai bersisik, dan karena itu juga tidak ada tukang ojek yang mau mengantarnya pulang dengan alasan jijik dan takut tertular penyakitnya.
Melihat penderitaan yang dijalani seorang pasien yang begitu tabah, hati saya merasa iba, terlebih lagi sebelumnya saya melihat seorang relawan Tzu Chi yang jelas-jelas adalah orang yang berada tapi dia tidak memperdulikan bajunya yang kotor demi menggendong seorang pasien yang sudah tua dan kumuh ke kursi roda. Dari situ saya akhirnya memantapkan hati untuk mengantar pasien diabetes itu pulang ke rumahnya. Setelah sampai di rumah pasien tersebut, saya melihat rumahnya yang benar-benar kecil dan kotor. Sempat terpikir bahwa ternyata rumah saya masih jauh lebih baik dari ini. Akhirnya saya tidak menerima ongkos ojek yang diberikannya. Karena menurut saya dia lebih membutuhkan uang tersebut daripada saya.
Dalam perjalanan pulang ke rumah saya terus berpikir tentang pasien diabetes tadi, meski bukan kerabat dan bahkan tidak tahu namanya, saya masih merasa bertanggung jawab terhadap dirinya. Sehingga akhirnya saya pun berinisiatif untuk membantunya. Tapi dengan penghasilan saya sebagai tukang ojek sudah pasti tidak mungkin saya bisa membantunya, hingga akhirnya saya berpikir untuk meminjam uang kepada bos tempat saya bekerja dulu. Alhamdulillah bos saya dulu itu berminat untuk membantu setelah saya ceritakan tentang pasien diabetes itu. Bantuan yang saya dapat saat itu berupa sembako yang bagi saya jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, seminggu setelahnya saya mendapat kabar bahwa pasien itu akhirnya meninggal dunia.
Kekecewaan terus menghantuiku. Ini dikarenakan saya tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Akhirnya saat Tzu Chi mengadakan baksos, saya memberanikan diri untuk bergabung. Akhirnya saat itu dan hari itu juga saya diajak dalam kegiatan bagi beras yang saat itu juga dilakukan tak jauh dari RSKB Cinta Kasih Tzu Chi.
Dimulailah hari-hari saya sebagai relawan Tzu Chi. Ajakan untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi terus berdatangan, mulai dari bagi beras hingga baksos. Dan ketika saya ditanya apakah saya ada waktu, saya pasti menjawab, “Saya selalu ada waktu.” Karena saat itu saya bekerja sebagai tukang ojek, maka waktu saya cukup banyak.
Tahun demi tahun berlalu dengan cepatnya. Saya merasakan ada perubahan dalam diri saya sendiri. Kalau di ingat-ingat, dulu saya itu orangnya bertemperamen tinggi. Kadang habis pulang kerja saya masih sering terbawa suasana jalan, jadi sering marah-marah sama istri dan anak. Tapi sekarang saya menjadi lebih bisa mengendalikan emosi saya.
Apabila kita menabur, maka kita akan menuai. Itulah yang saya rasakan sekarang ini. Meski penghasilan saya bekerja sebagai tukang ojek tidak terlalu besar, tapi saya tidak pernah mengeluh dalam mengemban tugas Tzu Chi, karena saya sendiri memiliki visi dan misi yang sama dengan Tzu Chi.
Hingga akhirnya saya bertemu dengan Shixiong Jhonny. Setelah lama berteman dan menjalani kegiatan bersama, Shixiong Jhonny menawarkan pekerjaan yang lebih baik kepada saya di perusahaannya. Tapi saya tidak langsung menerima pekerjaan itu. Namun setelah keluarga saya setuju dan mendukung, akhirnya saya menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh Shixiong Jhonny hingga saat ini.
Sebagai relawan Tzu Chi terkadang saya bisa dibilang “nakal” tapi dalam hal yang positif. Misalnya kotak makan dan gelas minuman. Dalam setiap kegiatan, setiap insan Tzu Chi harus membawa kotak makan dan minuman sendiri. Akan tetapi saya tidak pernah membawa kotak makan dan minum. Bukan karena saya tidak punya, tapi karena saya tidak mau. Sebab menurut saya, saya datang untuk membantu dan bukan makan gratis. Ibaratnya saya dititipin barang untuk diantar ke rumah seseorang, tapi setelah saya antarkan ke rumah orang yang dituju, saya diberi uang. Jadi saya saat itu dibayar sebagai kurir. Tapi ceritanya jadi lain kalau saya tidak menerima uang tersebut dan dengan sukarela mengantar barang tersebut hingga sampai tujuan.
Hal ini berbeda dengan kehidupan saya sebelumnya. Dulu setiap mengikuti kegiatan amal saya selalu minta jatah makan, minum, bahkan rokok. Berada dalam ruang lingkup Tzu Chi ini benar-benar membuka pikiran saya, terlebih lagi suasana hangat dari setiap relawan. Mereka tidak peduli saya adalah orang Jawa atau tukang ojek, mereka menganggap saya seperti keluarga sendiri.
Seperti yang dituturkan kepada Erich Kusuma Winata