Suwignyo
Mengajar itu Membawa Murid Menjadi Lebih Baik

Saya mengenal Tzu Chi sejak Sekolah Cinta Kasih berdiri, sekitar tahun 2003. Waktu itu karena saya tinggal di Rusun Perumnas BCI (Bumi Cengkareng Indah) yang terletak di belakang Rusun Cinta Kasih. Dari sana saya lihat ada bangunan sekolahan yang sangat besar, saya penasaran dan mencoba bertanya pada warga sekitar. Setelah bertanya, saya mendapatkan jawaban bahwa bangunan besar itu adalah sebuah komplek rusun yang lengkap dengan rumah sakit dan juga sekolah yang kebetulan sedang mencari tenaga pendidik dan kebetulan juga saya mempunyai latar belakang sebagai seorang guru. Sebelumnya saya memang mengajar mata pelajaran Matematika di Semarang dari tahun 1993-2000, dan kemudian ikut kakak ke Jakarta. Di sini saya sempat mengajar kelas bimbel untuk matematika sampai akhirnya pada tahun 2003 saya mencoba melamar menjadi guru di Sekolah Cinta Kasih ini. Sempat merasa pesimis waktu itu dan berpikir, “Ah.. palingan nggak diterima.”

Setelah melalui beberapa tes, saya akhirnya diterima menjadi guru matematika untuk SD. Pertama kali saya masuk, saya sudah membayangkan bahwa sekolah dengan gedung besar seperti sekolah ini mempunyai murid yang juga lebih bagus kualitasnya. Namun saya kaget. Kenyataannya tidak sama seperti apa yang saya bayangkan, mereka luar biasa. Dan ternyata mereka anak-anak bongkaran dari Kali Angke. Sikap mereka memang sikap anak-anak namun ada beberapa murid mempunyai sikap yang kurang bagus.

Pertama kali saya hanya mengajar kelas 3 SD, dari sana saya melihat akademik anak-anak sangat parah. Mereka belum bisa membaca dan tidak bisa apa-apa. Saya bingung harus mengajar dengan cara apa. Sempat pesimis bahwa saya bisa mendidik mereka, namun saya terus mencoba dan meyakinkan diri kalau mereka bisa. Dengan cinta kasih dan perasaan, saya mencoba sedikit demi sedikit mulai mendekatkan diri dengan anak-anak. Saya yakin kita semua juga punya kesabaran, dengan sabar saya memberikan binaan-binaan dan pengertian, dari sana berangsur-angsur mulai bisa menyesuaikan dan ada perubahan lah. Alhamdulilah mereka bisa.

Belajar Matematika Dari Bahan Daur Ulang

Setelah mengajar, ternyata saya menyadari bahwa banyak anak yang tidak menyukai pelajaran yang saya bawakan. Dari sana muncul lagi masalah, bagaimana saya bisa membuat nilai matematika murid saya ini bagus, sedangkan mereka tidak menyukai matematika. Saya kemudian mencari metode ajar yang memungkinkan untuk membuat anak-anak menyukai matematika. Karena saya pikir seorang guru harus mempunyai teknik mengajar yang baik dan juga harus mengenali karakter anak. Misalnya si A suka ini, si B tidak mengerti ini, dan lain-lain. Nah kita sebagai guru harus mencari metode apa sih yang cocok untuk mereka. Saya kemudian berpikir untuk membuat matematika lebih berwarna, saya membuat matematika menjadi seperti permainan, nyanyian, mereka lama-lama menyukai pelajaran ini.

Selain itu, untuk mendukung kemampuan siswa, saya juga memberikan pengajaran dengan cara membuat alat peraga dari daur ulang, itu akan memudahkan mereka karena mereka praktik langsung. Dengan hanya bermodal kardus bekas, tutup botol air mineral, styrofoam, dan kertas karton, yang mereka peroleh dari depo pelestarian lingkungan, anak-anak telah bisa belajar menentukan KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil) dan FPB (Faktor Persekutuan terbesar) dari suatu bilangan.

Selain melatih konsep matematika mereka, dengan memberikan mereka metode pengajaran dengan menggunakan barang-barang daur ulang, saya juga ingin menanamkan cinta lingkungan pada anak-anak. Mengajari mereka untuk mengurangi limbah sampah yang sering tidak diperhatikan kegunaannya, sekaligus melestarikan lingkungan yang lebih bersih dan sehat serta menyelamatkan bumi dari tumpukan sampah. Karena belakangan kita sering mendengar tentang global warming, dan sering juga mendengar mengenai pelestarian lingkungan di Tzu Chi. Dari konsep itu, secara otomatis anak akan mengerti apa artinya memilah sampah daur ulang, dan mereka mengetahui bahwa sampah-sampah itu juga masih bisa bermanfaat bagi keseharian terutama belajar. Ketika konsep dasarnya mereka sudah mengerti, baru kita terapkan ke pengajaran.

Dengan konsep seperti ini terbukti dapat memudahkan siswa untuk memahami pelajaran. Hingga sekarang nilai UN mereka bisa mencapai 100, dalam 2 tahun berturut, di tahun ke tiga ada nilai 9,75 dan tahun ke 4 kembali meraih nilai 100. Dan yang paling saya ingat, hingga sekarang apabila ada lomba matematika dan ada anak yang tidak terpilih, mereka akan kecewa karena tidak dipilih. Sekarang mereka menyukai matematika.

Mengajar sambil Belajar

Kalau bagi saya sendiri yang jelas bahwa mengajar dengan hati, tulus ikhlas, bukan karena ada tuntutan akhirnya merasa terpaksa. Bekerja dan mengajar tidak hanya semata-mata untuk mendapatkan penghasilan, namun juga saya mempunyai tanggung jawab secara moral di mana seorang guru yang baik harus dapat merubah kepribadian anak menjadi lebih baik. Apabila dengan hati, anak-anak juga akan menerima dengan enjoy dan senang. Namun kita juga harus tetap membentengi mereka, ketika mereka bersalah kita harus tetap memberikan mereka hukuman dalam pengertian untuk membangun kepribadian mereka, mendisiplinkan mereka dan juga mengajari mereka akan satu tanggung jawab.

Dulu saya sering meluangkan waktu untuk anak-anak mengajarkan tugas di rumah saya. Anak-anak juga mempunyai semangat dan keinginan untuk menjadi lebih baik maka dari itu saya betah. Sampai banyak yang heran, apa saya buka sekolah malam di rumah? Karena tiap malam banyak anak yang pergi belajar ke rumah saya. Saya juga berpikir tentang jam pelajaran yang tidak cukup di sekolah pada waktu itu mengingat anak-anak masih sangat kurang memahami pelajaran.

Hingga sempat waktu pendewasaan siswa beberapa saat lalu ada orang tua murid yang sharing dan menyebut nama saya. Orang tua murid tersebut mengucapkan terima kasih karena saya telah menghukum anaknya sehingga anaknya dapat berubah menjadi lebih disiplin masuk kelas dan mengerjakan pekerjaan rumahnya. Awalnya kaget sama pernyataan orang tua murid tersebut, namun saya juga terkesan.

Selain mengandalkan pengalaman diri sendiri untuk mengajar, saya juga melihat dan meneladani bagaimana relawan Tzu Chi memberikan pendidikan budi pekerti bagi anak. Bagaimana budaya humanis dan sikap yang harus dibentuk dan yang harus ditunjukkan untuk anak-anak. Inilah sekolah yang menurut saya mempunyai nilai tambah, karena bukan hanya akademis yang menjadi nomor satu, namun budi pekerti juga ditekankan untuk mereka. Maka dari itu, saya menyediakan waktu untuk menjadi salah satu pengajar di kelas budi pekerti ai de xi wang.

Kini setelah 10 tahun saya mengabdi di Sekolah Cinta Kasih, Cengkareng. Telah banyak sekali hal-hal indah yang saya alami. Seperti ketika kami para guru diajak ke Taiwan bertemu Master Cheng Yen, beliau itu sangat berwibawa, dari mulai cara duduk, cara jalan, berbicara, saya sangat trenyuh (tersentuh). Padahal pada saat saya pertama kali dengar Master Cheng Yen, saya cuma berpikir, seperti apa sih Master ini? Kok begitu baik, perempuan lagi. Nah ternyata saat saya ke sana (Taiwan), sambutan yang diberikan sungguh luar biasa, mereka sungguh disiplin, sungguh rapi.

Saya kemudian berpikir, “Kapan ya bisa berhadapan langsung sama Master, kapan ya bisa bersalaman sama Master?” Dan ternyata apa yang saya pikirkan terkabul. Master memberi kami gelang, memakaikannya dan saya kemudian bersalaman dengan Master. Begitu luar biasanya Master Cheng Yen, sederhana, simpel, bersahaja, namun bisa membuat orang terpengaruh dengan ajarannya, tanpa dia mempengaruhi orang. Saya sendiri seorang muslim, namun saya memberikan apresiasi yang sangat luar biasa untuk Master. Beliau adalah guru yang luar biasa.
Melatih diri adalah membina karakter serta memperbaiki perilaku.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -