Teksan Luis: Relawan Tzu Chi Jakarta
Suasana Batin yang Tenang
Meminjam kata-kata Master Cheng Yen, bahwa setiap orang adalah satu kitab untuk kita dapat belajar. Itu pula yang Teksan Luis lakukan. Di Tzu Chi, Teksan menempa diri untuk terus memperbaiki diri, juga terus memberi.
Sosok Teksan Luis (54) sudah tak asing bagi warga di perkampungan Kamal Muara, Jakarta Utara. Maklum sudah empat tahun ini ia warawiri ke sana karena merupakan penanggung jawab program Bebenah Kampung Tzu Chi di Kamal Muara. Sampai-sampai anak kecil pun menyapa.
“Relawan Bunda Tzu Chi ya?”
Meski menyebutnya Bunda Tzu Chi, Teksan selalu menimpalinya dengan tutur lembut. “Iya Dek, nanti sudah gede jadi relawan ya..”
Bebenah Kampung Tzu Chi di wilayah Kamal Muara sudah menyulap 15 rumah tak layak huni menjadi rumah yang nyaman dan sehat. Taraf hidup para penghuni rumah ini pun meningkat.
Banyak kisah yang bisa diceritakan dari program yang dimulai di Kamal Muara pada 2019 tersebut. Akan tetapi yang tak kalah menarik adalah kisah Teksan Luis sendiri dalam menunaikan tanggung jawab ini.
Sebelumnya, Teksan pernah mengikuti pelatihan relawan Tzu Chi yang mentornya adalah Ameng Shibo (panggilan kepada relawan yang lebih tua -red), yang kini telah tiada. Ameng kala itu merupakan penanggung jawab program bedah rumah di Jalan Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Meski saat itu sakit kanker, Ameng tetap semangat.
“Beliau bilang, ‘apapun yang terjadi saya mesti sampai pada serah terima kunci.’ Dan apa yang terjadi? Hari itu beliau serah terima kunci (kepada pemilik rumah yang dibedah), besoknya beliau meninggal. Saya hampir enggak percaya, sedih sekali. Dan itu sangat menginspirasi saya, akhirnya saya fa yuan (berikrar) bahwa saya pun harus bisa seperti beliau tekadnya,” tutur Teksan.
Tak dinyana pada tahun 2019 Ketua Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei meminta Teksan menyurvei rumah tak layak huni di Kamal Muara karena Tzu Chi akan memberikan bantuan bedah rumah. Sungguh kebetulan yang indah, Ameng seperti sudah membekali Teksan bahwa harus punya tekad kuat untuk menjalankan progam bedah rumah atau tugas menantang lainnya.
“Saat survei mesti ke sana beberapa kali. Selagi rumah dibangun mesti cek bolak-balik sudah sampai mana. Sudah selesai pun harus cek kualitasnya. Saat bedah rumah tahap pertama itu, pas sudah selesai, hujan lebat. Malam-malam jam 11 saya berangkat ke sana. Kenapa? Saya pengen cek apakah rumahnya bocor, hasilnya bagaimana? Ternyata bagus. Saya pun tenang,” ujarnya.
Teksan Luis saat menyurvei rumah warga Kamal Muara, Maret 2022. Di Komunitasnya, yakni He Qi Utara 2, Teksan adalah Ketua Fungsional Tim Tanggap Darurat (TTD), dan Wakil Ketua Rong Dong, yakni donatur pembangunan sekolah dan rumah sakit Tzu Chi.
Dalam menjalankan tugasnya ini Teksan merangkul banyak relawan, termasuk relawan di luar komunitasnya, He Qi Utara 2. Rupanya Teksan menjalankan betul apa yang dipesankan Master Cheng Yen saat ia dilantik menjadi relawan komite pada September 2015 di Taiwan. Saat itu Master Cheng Yen menekankan pentingnya Chuan Cheng (mewariskan) kebijaksanaan.
“Agar makin banyak yang mengerti bedah rumah. Mungkin nanti di tempat lain ada juga, maka sudah ada yang bisa handle,” tambahnya.
Begitu pula saat Teksan menjadi koordinator kegiatan Bedah Buku di komunitas Hu Ai Pluit 2. Saat itu belum banyak yang bisa tampil berbicara di depan. Ia pelan-pelan membimbing relawan lainnya. Kini telah banyak relawan yang terampil berbicara di depan umum.
“Jadi Chuan Cheng (mewariskan) itu penting. Wariskan saja apa yang kita tahu,” tegas pria kelahiran Rantau Prapat Sumatera Utara ini.
Lain Dulu Lain Sekarang
Sekilas mungkin dapat kita simpulkan kalau Teksan sangat peduli kepada orang lain, lembut, dan ramah. Siapa sangka, Teksan yang dulu ternyata sangat berbeda.
“Saya dulu kayak preman, kancing buka dua, gelang rantai, jam. Semua yang bisa dipamerkan, dikeluarkan. Tapi setelah masuk Tzu Chi, saya lihat relawan yang (lebih dari sisi materi) cuma begitu saja (sederhana), saya jadi malu sendiri,” kata Teksan tergelak.
Jika dulu emosinya mudah tersulut, sekarang justru lemah lembut. Setelah menjadi relawan Tzu Chi, Teksan juga sangat peka dengan kesusahan orang lain.
“Sekarang kalau lihat orang yang susah, yang saya pikirkan pertama kali, wah kehidupan mereka susah, apa yang bisa kita lakukan untuk meringankan bebannya. Jadi secara pemikiran itu sudah berubah,” ujarnya mantap. Satu lagi, ia juga sudah bervegetaris.
“Jadi setelah masuk Tzu Chi bisa berubah 180 derajat jadi seorang vegetaris. Itu juga mengejutkan keluarga saya. Keluarga saya yang di Medan kaget, bagaimana bisa yang dari kecil sampai besar hanya makan daging, tahu-tahu bisa makan sayuran. Sampai pare pun bisa makan,” katanya tertawa.
Banyak lagi perubahan-perubahan kecil lainnya. Pribadinya yang semakin positif membuat batin Teksan lebih damai sekarang. Satu hal yang sungguh ia syukuri.
Membutuhkan Tzu Chi
Teksan tahu tentang Tzu Chi saat ia ikut tur wisata ke India tahun 2011. Ia satu rombongan dengan Lina, relawan Tzu Chi dari He Qi Utara 2. Lina pun menceritakan aktifitasnya sebagai relawan Tzu Chi. Sepulang dari sana, Teksan berjumpa dengan Johar, kawan lamanya dari Kota Medan, yang seorang relawan Tzu Chi dan saat itu menetap di Jakarta.
Saat Johar mengajaknya ikut kegiatan bagi beras, Teksan belum tertarik. Baru tertarik saat diajak bagi bantuan korban banjir. Masih di tahun 2011 suatu hari istrinya mengajak ia mencari buku bacaan. Kebetulan saat itu mereka melintasi Pluit Village, yang tak jauh dari sana terdapat toko buku Jingsi Book and Café. Keduanya pun masuk ke dalam.
“Ternyata itu toko bukunya Tzu Chi. Ketemu dengan Shijie Wahyuni, dia bilang, ‘sudah kenal Tzu Chi belum?’ Saya bilang sudah, akhirnya ia ajak kami sosialisasi hari Minggu. Dan hari itu saya ikut sosialisasi. Waktu itu istri saya tidak bisa ikut karena sakit,” katanya.
Setelah mengikuti sosialisasi, Teksan pun bergabung menjadi relawan Tzu Chi. Apalagi saat itu ia juga telah memindahkan anaknya bersekolah di Sekolah Tzu Chi Indonesia di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Mula-mula Teksan lebih banyak berkegiatan di Sekolah Tzu Chi Indonesia sebagai Da Ai Papa. Di sini ia ikut menyiapkan makanan untuk murid-murid. Kebetulan ia suka masak dan di pagi hari punya waktu luang.
Setelah itu ia bergabung menjadi relawan pencatat sejarah Tzu Chi atau biasa disebut relawan Zhen Shan Mei. Dengan menjadi relawan Zhen Shan Mei, Teksan bisa masuk di semua kegiatan, sambil menjalankan tugasnya, merekam jejak sejarah insan Tzu Chi melalui foto dan tulisan.
Penyaluran bantuan Tzu Chi ke Nepal merupakan salah satu yang berkesan bagi Teksan sebagai relawan Tim Tanggap Darurat Tzu Chi. Di sana ia belajar banyak hal dari relawan yang berasal dari berbagai negara dalam memberikan bantuan.
Dari relawan Zhen Shan Mei, Teksan kemudian bergabung menjadi relawan Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi. Penyaluran bantuan bencana gempa ke Nepal pada Mei 2015 menjadi salah satu yang sangat berkesan baginya. Apalagi ini yang pertama bagi Teksan sebagai relawan TTD. Di sana ia bertemu dengan para relawan Tzu Chi dari berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, dan Taiwan.
“Memang setelah gempa itu masih terjadi adanya gempa susulan, artinya pada saat kami di sana, kadang-kadang kami harus lari keluar,” kenang Teksan.
Di sana setiap hari tim relawan harus melapor kepada Master Cheng Yen. Beliau begitu perhatian dan menyayangi relawan. Ketika relawan melapor bahwa di sana banyak debu dan sulit mendapatkan air minum, sorenya ketika para relawan kembali ke penginapan, di tiap kamar sudah tersedia stok air mineral.
“Beliau dari Taiwan jauh begitu bisa setiap kamar disediakan dua krat air mineral. Dan kemudian malamnya beliau berpesan air itu harus diminum, harus jaga kesehatan. Beliau juga bilang relawan semua wajib begitu terang mau berangkat silahkan, pulangnya sebelum gelap harus sudah sampai di penginapan. Beliau tidak mau ada kejadian yang menimpa relawan. Luar biasa,” katanya.
Selain kebahagiaan yang Teksan dapat saat menyalurkan bantuan, tugasnya ke Nepal juga sejalan dengan salah satu hobinya yakni mendaki gunung. Terutama saat usianya lebih muda dulu, hampir dua pekan sekali mendaki gunung, kebanyakan di Gunung Sibayak dan Sinabung, Sumatera Utara.
Kini sudah 11 tahun Teksan menjadi relawan. Istri dan anak lelakinya juga sudah menjadi relawan Tzu Chi. Sementara anak bungsunya bersekolah di Sekolah Tzu Chi Indonesia. Praktis hidup Teksan kini hanya berkutat di Tzu Chi, pekerjaan, dan keluarga.
“Seperti yang saya dengar, bukan Tzu Chi yang memerlukan kita, tapi kita yang memerlukan Tzu Chi. Jadi di Tzu Chi saya merasa memang saya perlu Tzu Chi. Bukan hanya kegiatannya, bukan hanya komunitasnya, tapi di sini saya belajar banyak. Belajar bukan hanya Dharma dari Master Cheng Yen, tapi saya juga belajar dari para relawan semua. Masing-masing pasti punya kelebihan, bisa menginspirasi,” pungkasnya.
Seperti dituturkan kepada Khusnul Khotimah