Tjhauw Kok Kiong: Relawan Tzu Chi Jakarta
Dari Hati Menjadi Relawan Tzu Chi
“Membantu orang lain, walaupun berat, rasanya ya enteng aja karena niatnya muncul dari hati”
Awal ikut bergabung menjadi relawan Tzu Chi itu dari istri saya. Pada tahun 2008, dia lebih dulu menjadi relawan. Waktu itu, seminggu sekali relawan yang berjumlah 8 orang rutin berkumpul di rumah saya untuk membahas atau berkegiatan Tzu Chi seperti latihan Shou Yu (isyarat tangan) dan lain-lain. Dan kalau ada kegiatan apa-apa di lokasi tertentu, saya yang mengantar mereka.
Dulu belum ada rencana mau gabung (jadi relawan). Lama kelamaan, saya mulai memperhatikan kegiatan istri saya dan teman-temannya. Dalam beberapa kesempatan pas mengantar, saya tunggu sekitar setengah jam untuk melihat yang dilakukan relawan. Dalam hati saya bilang ‘ini kok Tzu Chi bagus, ini yayasan boleh juga’. Lalu tumbuh niat dari hati saya mau jadi relawan dan 2009 awal saya ikut sosialisasi relawan di wilayah Sunter.
Kegiatan awal saat menjadi relawan Tzu Chi saya ikut pelestarian lingkungan. Selain itu berbagai kegiatan Tzu Chi juga saya ikuti seperti baksos, pembagian bantuan, dan kegiatan lainnya. Memang tidak mudah menjadi relawan Tzu Chi, pasti ada rasa lelah saat berkegiatan. Tetapi kalau sudah membantu orang lain, walaupun berat, rasanya ya enteng aja karena niatnya muncul dari hati.
Saya juga mulai tertarik ikut Shou Yu yang masuk ke dalam misi budaya humanis. Tahun 2009, laki-laki jarang yang ikut Shou Yu, tetapi karena saya senang, tertarik, akhirnya saya ikut. Walaupun saya tidak begitu paham Bahasa Mandarin, tetapi mendengarkan lagu dan memperagakan gerakangerakan isyarat tangan itu membuat hati menjadi gembira.
Hal yang masih begitu melekat dalam ingatan saya itu tahun 2009, saat pertama kali tampil Shou Yu. Banyak yang mendukung walaupun rasanya awalnya tidak karuan, grogi, malu, senang, semuanya jadi satu, hehe.
Ada perubahan dalam diri saya setelah menjadi relawan Tzu Chi. Dulu, saya orang yang egois, merasa menjadi kepala keluarga yang mencari nafkah. Jadi apa yang saya mau, ya itu yang harus dijalankan. Ketika bertemu dengan relawan lain dan berkegiatan Tzu Chi, lambat laun saya mulai mengikis sifat tersebut.
Hingga pada akhir tahun 2015, saya dilantik menjadi relawan Komite Tzu Chi di Hualien, Taiwan. Saya sempat terharu dan menangis saat melihat dan bertemu Master Cheng Yen. Beliau itu sosok yang sulit digambarkan. Bagi saya, Master Cheng Yen itu agung, bisa menjadi guru dan panutan.
“Berdana bukan hak monopoli orang kaya, namun merupakan wujud persembahan kasih sayang yang tulus.” Kalimat ini merupakan Kata Perenungan Master Cheng Yen yang pertama kali saya baca ketika mengenal Tzu Chi, dan itu saya ingat betul sampai sekarang. Dari kata perenungan itulah saya memahami bahwa biarpun saya susah, tetapi bisa ikut membantu orang juga.
Selama menjadi relawan Tzu Chi saya juga harus pintar-pintar membagi waktu. Senin-Jumat, saya fokus untuk bekerja, sedangkan Sabtu-Minggu kalau di komunitas ada kegiatan saya ikut. Anak-anak juga nggak pernah protes saya dan istri ikut Tzu Chi, malah mendukung. Bahkan anak saya yang paling kecil pernah ikut dalam Pementasan Sutera Bakti Seorang Anak.
Tzu Chi bukan hanya saya perkenalkan dilingkungan keluarga, tetapi juga teman kerja. Respon mereka positif, bahkan sebagian juga ada yang menjadi donatur Tzu Chi juga.
Target ke depan sama temanteman di komunitas kebetulan ada Depo Pendidikan dan Pelestarian Lingkungan Jayakarta di He Qi Pusat, jadi ke depannya kita akan rutin berkegiatan di lokasi tersebut sekaligus untuk pengembangannya.
Seperti yang dituturkan kepada: Arimami Suryo A.