Tjiu Bun Fu: Relawan Tzu Chi Jakarta
Semakin Berkah dan Bahagia di Tzu Chi


“Belasan tahun menjadi relawan Tzu Chi, membawa banyak perubahan bagi sosok ayah empat anak ini, salah satunya menjadi lebih sabar dan pengertian. Bervegetaris juga menjadi pilihan hidupnya, setelah mengalami “ujian” yang sempat membuatnya down dan merasa putus asa.”

*****

Tjiu Bun Fu, pria kelahiran Pemangkat, Kalimantan Barat 51 tahun lalu ini terkesan sosok yang serius dan pendiam. Namun, di balik sikapnya yang terkesan dingin, banyak kisah-kisah hangat yang dijalaninya bersama Tzu Chi.

Ketika bertemu warga penerima bantuan atau warga korban bencana di pengungsian, sosoknya berubah 180 derajat.

Seperti kata Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi, “Cinta kasih adalah aliran udara hangat yang bisa membebaskan orang dari kebekuan, menjadi jembatan penghubung antar sesama.”

Sebelum dipercaya mengemban tanggung jawab sebagai Wakil Ketua Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi Indonesia, jauh-jauh hari suami dari Hiu Lie Lie ini sudah malang melintang di berbagai kegiatan Tzu Chi. Mulai dari kegiatan misi amal, pelestarian lingkungan, hingga survei pasien kasus sudah dijalaninya. Bisa dibilang ia adalah relawan “Selada”, setiap dibutuhkan selalu ada.

Hal ini pula yang membuatnya tak menampik ketika diminta bergabung menjadi relawan Tanggap Darurat Tzu Chi di masa-masa awal pandemi, tahun 2020. “Waktu itu saya diajak Ayao Shixiong (Joe Riady, Ketua TTD Tzu Chi Indonesia -red) untuk ikut menyalurkan alat-alat kesehatan ke rumah sakit-rumah sakit, serta paket sembako ke masyarakat,” kata Tjiu Bun Fu. Meski “tugas” ini terbilang sangat berisiko, ia membulatkan tekad untuk membantu. “Saya tersentuh, Ayao dan Ricky Shixiong yang sudah usia 60 – 70 an tahun aja berani, jadi saya yang lebih muda harus lebih siap dan berani.”

Beruntung istri dan keempat anaknya juga setuju. Hampir setiap hari ketika orang-orang mengurung diri dan menjaga jarak, Bun Fu justru keluar dan banyak berinteraksi dengan tim medis dan masyarakat. Meski di lapangan tangguh, nyatanya kekhawatiran juga kerap menghinggapinya. “Kadang ada yang bilang, ‘aduh…, elu cari masalah, orang-orang pada di rumah, elu malah cari penyakit’. Kadang itu kepikiran juga,” ungkapnya. Keraguan pun muncul, hingga berkembang menjadi kerisauan. Di tengah kegalauannya, Bun Fu yang banyak membaca buku-buku dan mendengar dharma Master Cheng Yen seolah dikuatkan dengan ajaran Master Cheng Yen.

Jika pandemi banyak memukul dunia usaha, sejatinya usaha Bun Fu juga mengalami guncangan. Konveksinya berhenti berproduksi, dan gerai-gerai pakaiannya di Pasar Tanah Abang pun mesti tutup. “Meski begitu, kita tetap ikut membantu orang lain,” terang Bun Fu.

Menurut pria yang dilantik menjadi relawan Komite Tzu Chi pada 16 Juli 2017 ini, justru dengan turun ke lapangan dan membantu masyarakat kurang mampu, ia jadi lebih tahu dan mengerti jika ia dan keluarga masih jauh lebih beruntung. “Seperti yang Master Cheng Yen katakan, kalo kita keluar dan membantu orang lain maka kita akan lebih tahu dan menghargai berkah,” terangnya.

Dari Mata Turun ke Hati
Tjiu Bun Fu sendiri mengenal Tzu Chi dari sang Mama yang kebetulan penyuka berat drama-drama DAAI TV. Nah, setelah serial drama itu ada tayangan Lentera Kehidupan (Ceraman Master Cheng Yen), ini yang membuat sang Mama begitu semangat mengajak anak-anaknya menonton DAAI TV. Gayung bersambut, Bun Fu pun merasa cocok dengan tayangan DAAI TV.

Tjiu Bun Fu, ketika menjadi koordinator pembagian paket beras di Cengkareng, Jakarta Barat. Meskipun dalam kondisi pandemi Covid-19, ia tetap turun langsung berkegiatan dan membagikan bantuan kepada warga.

Dari mata turun ke hati, setelah itu Tjiu Bun Fu pun mulai tertarik untuk mengikutkan anaknya dalam Kelas Budi Pekerti Tzu Chi. Di Tahun itu (2005), Kantor Tzu Chi Indonesia masih di ITC Mangga Dua Jakarta. Dimulai dari anak pertama, keempat anak Bun Fu pun ikut mendapatkan pendidikan budi pekerti Tzu Chi. Sejak itu kehidupan Bun Fu mulai berubah. Jika biasanya di hari libur mereka sekeluarga lebih banyak menghabiskan waktu untuk jalan-jalan, ke mal, rekreasi, atau keluar kota, kini Bun Fu lebih sering mengantarkan anak-anaknya ke Tzu Chi.

Sebelumnya Bun Fu sekeluarga tinggal di kawasan Jembatan Lima, Jakarta Barat, dan seiring usahanya yang berkembang, pada tahun 2012 ia dan keluarga pindah ke kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara. “Begitu pindah, Jing Si PIK sudah jadi, ya saya rasa ada jalinan jodoh juga. Setelah rutin mengantar anak-anak, istri saya pun mulai bergabung menjadi relawan Tzu Chi.” Rupanya butuh waktu hampir dua tahun untuk membuat Bun Fu mengikuti jejak sang istri. Di tahun 2014, ia memutuskan bergabung menjadi relawan Tzu Chi.

Selama menjadi relawan Tzu Chi, banyak sekali perubahan dalam diri Bun Fu. Salah satunya adalah menjadi lebih sabar. “Sekarang saya nggak pernah lagi keluarkan kata-kata kasar ke karyawan atau orang lain. Ke rekan bisnis yang mangkir, saya juga tetap menagih dengan sopan dan hormat. Kalau dulu (waktu bisnis kayu di Kalimantan), saya pasti sudah nagih sambil bawa preman atau aparat,” terangnya sembari tersenyum. Ia merasa bersyukur selama menjadi relawan Tzu Chi, hidupnya semakin berkah, semakin bahagia, dan keluarga juga semakin baik dan harmonis.

Bervegetaris Sebagai Rasa Syukur
Memiliki keluarga yang harmonis, usaha yang mapan, dan sering berbuat kebajikan, bukan berarti hidup Tjiu Bun Fu datar-datar saja tanpa gelombang. Tahun 2016, muncul kelenjar infeksi di leher Bun Fu. Dokter sempat menyebut kemungkinan besar ini adalah kanker kelenjar getah bening. Ketika dokter memintanya periksa darah dan memeriksakan darah tersebut ke RS Kanker Dharmais, Bun Fu sempat down dan menangis.

Bersama relawan Tzu Chi lainnya, Tjiu Bun Fu berkali-kali mengunjungi proyek pembangunan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Palu untuk melakukan berbagai proses verifikasi dimulai dari validasi data, wawancara, dan pengundian nomor rumah untuk calon penghuni perumahan.

Kondisi ini membuatnya sedih, terguncang, dan sempat merasa putus asa. Terlebih hasilnya baru bisa diketahui seminggu kemudian. Untunglah di tengah kebuntuan, sang abang menasihati dan memberi jalan keluar dengan menyarankan untuk melakukan pemeriksaan kedua (second opinion) di rumah sakit lain, di luar negeri. Dan kebetulan prosesnya bisa dibilang sangat cepat, pagi cek darah, dan sorenya hasilnya sudah keluar. “Hati saya deg-degan, gimana kalo ada penyakit yang ganas,” kata Bun Fu, “dan untungnya hasilnya negatif. Dokter bilang ada infeksi di leher, dan cukup diberi obat selama beberapa waktu dan jika tidak ada perubahan barulah akan dioperasi.”

Selama proses pengobatan itu, dokter menyarankannya untuk tidak mengonsumsi makanan seperti udang, kerang, ikan, kepiting, serta ayam dan telur. Karena tekad untuk sembuh, pantangan itu pun dijalaninya dengan sungguh-sungguh. Seminggu bervegetaris, sang istri ikut mendukungnya dengan turut bervegetaris.

“Saya berjanji kalo bisa sembuh maka saya bertekad untuk bervegetaris,” kata Bun Fu, “saya terus berusaha untuk sembuh dan ingin melihat anak-anak tumbuh dewasa.” Dan doa itu pun terjawab, setelah meminum obat secara rutin, pelan-pelan infeksi kelenjar di leher Bun Fu pun hilang. “Mungkin ini memang sudah jodohnya, saya di Tzu Chi dan bervegetaris, dan tekad ini saya jaga terus sampai hari ini,” tegasnya.

Penulis: Hadi Pranoto
Fotografer: Anand Yahya, Khusnul Khotimah
Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -