Vincent Salimputra: Relawan Tzu Chi Jakarta
Merekam Jejak Cinta Kasih Melalui Artikel, Foto, dan Video
“Tzu Chi benar-benar mengembangkan cara berpikir dan mengubah perilaku saya.”
Berawal dari keikutsertaan dalam Tzu Ching Camp tahun 2010, saya mengenal Tzu Chi dan sosok Master Cheng Yen. Sebelum itu mama saya juga sering menonton drama di DAAI TV, namun saya hanya sekilas memperhatikan. Ketika masa liburan datang, komunitas Tzu Ching (relawan muda mudi Tzu Chi) membuka pendaftaran Tzu Ching Camp. Tante saya yang merupakan relawan Tzu Chi, menginformasikan kabar tersebut kepada saya. Saya merasa tidak tertarik karena camp tersebut pasti serupa dengan youth camp pada umumnya. Di samping itu, saya sudah ada rencana liburan ke beberapa tempat wisata.
Tetapi tante saya tidak berhenti menyakinkan dengan berbagai cara agar saya mengikuti camp tersebut. Ditambah dorongan orang tua saat itu, akhirnya saya pun luluh dan menuruti keinginan mereka dengan setengah hati. Tante saya senang bukan kepalang karena berhasil mendaftarkan saya di menit-menit terakhir.
Hari pertama tiba di lokasi penyambutan peserta camp, yaitu di balai warga Rusun Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, saya dibuat terkesan dengan meja kursi yang rapi serta barisan relawan yang menyambut kehadiran peserta. Selama mengikuti camp, kami dikenalkan dengan Budaya Humanis Tzu Chi yaitu bersyukur (Gan En), menghormati (Zun Zhong), dan mencintai (Ai).
Bayangan awal saya tentang camp ini seketika runtuh dan berubah 180 derajat saat kami diajak terlibat langsung dalam kunjungan kasih ke rumah Gan En Hu, pemilahan barang daur ulang, belajar isyarat tangan, serta penerapan budaya humanis dalam aktivitas sehari-hari seperti tata krama duduk, makan, tidur, dan berjalan. Bagi saya, kegiatan pelatihan diri seperti ini tidak bisa ditemui di youth camp pada umumnya. Hal ini membuat saya ingin lebih mendalami Tzu Chi.
Setelah itu, saya sering diajak mengikuti berbagai kegiatan Tzu Ching. Hingga ketika disibukkan oleh kuliah dan pekerjaan, saya sempat vakum dari kegiatan Tzu Ching. Di masa itu para kakak pembimbing Tzu Ching tidak melepaskan saya begitu saja, mereka masih berusaha memahami dan tetap mengajak untuk bersumbangsih. Mereka tetap memberi dukungan, perhatian dan pendampingan. Ini membuat hati saya terenyuh, hingga akhirnya saya kembali aktif dan belajar menjadi kakak pembimbing yang baik bagi adik-adik Tzu Ching.
Selepas dari Tzu Ching, sebagai alumni Tzu Ching, saya kemudian aktif di komunitas relawan Tzu Chi wilayah Pluit (Hu Ai Pluit 1). Saya belajar mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Saya merasa beruntung, dipercaya mengemban tanggung jawab dalam Misi Amal dan Misi Budaya Humanis (Zhen Shan Mei) Tzu Chi. Melihat tekad yang begitu luar biasa dari shigu/shibo dalam mengayomi dan membimbing, membuat saya ingin belajar lebih banyak serta mengenal kedua misi tersebut lebih dalam. Kalau teringat hal tersebut, perasaan ingin kabur pun menjadi hilang, hehehe... Jodoh yang sudah ada ini harus dipertahankan dan di jaga baik-baik.
Dan dari apa yang saya saksikan selama menjalani Misi Amal Tzu Chi, saya bersyukur akan kehidupan saya, juga semakin menyadari dan menghargai berkah yang telah saya miliki. Di misi budaya humanis, saya belajar merekam jejak cinta kasih melalui foto, video dan artikel. Saya bertekad menyebarkan dan meneruskan kebaikan yang telah dilakukan para relawan, termasuk kisah inspiratif mereka yang jarang diangkat melalui karya jurnalistik. Karya-karya ini diharapkan bisa menginspirasi banyak orang agar tergerak untuk ikut bersumbangsih di jalur kebenaran dan kebaikan.
Tzu Chi sungguh telah mengubah hidup saya. Kalau bukan karena Tzu Chi, arah hidup saya tidak akan sejelas seperti saat ini dan saya mungkin akan menjalani hidup dengan pandangan yang lebih sempit. Tzu Chi benar-benar mengembangkan cara berpikir dan mengubah perilaku saya.
Seperti yang dituturkan kepada: Erli Tan