Wie Sioeng
Metamorfosis Diri

Sebagai warga keturunan Tionghoa yang menjadi suku minoritas di Indonesia, Wie Sioeng sejak kecil berprinsip harus memiliki keberanian jika ingin dipandang oleh teman-teman dan lingkungannya. Masa muda dilaluinya dengan keras.Tawuran, rokok, minum-minuman keras, dan perkelahian sangat akrab dengannya. Dengan ‘kenekatannya’ inilah ia kemudian mendapat tempat di lingkungan dan teman-temannya. “Asnawi” alias kepanjangan dari “Asli Cina Betawi” menjadi bukti pengakuan atas keberanian dan pluralitasnya dalam berbaur..
Dibesarkan dalam lingkungan yang padat dan rawan tawuran di Jakarta, sosok Wie Sioeng tumbuh menjadi pribadi yang keras.Meski orang tua mendidiknya dengan tegas, tetap saja anak ke-5 dari 7 bersaudara ini memiliki karakter berbeda dari kakak dan adik-adiknya. “Papa saya keras tapi baik. Saya begitu karena terbawa pergaulan.

Saya justru banyak bergaul bukan dengan kalangan Chinese, tapi anak Flores, Ambon, dan Are (Surabaya),” terang pria kelahiran Jakarta 10 Juli 1969 ini. Sikap ini terus terbawa hingga ia dewasa. Wie Sioeng tumbuh menjadi sosok yang pendiam, emosional, dan mudah meledak jika terpicu emosinya.Tawuran dan berkelahi sudah tak terhitung lagi dengan jari.

Perilakunya makin menjadi tatkala harus putus kuliah lantaran faktor biaya.Ia pun sempat bergabung dengan geng motor. “Dulu jarang pulang ke rumah. Lebih banyak di jalan, kebut-kebutan, dan tawuran,” katanya mengenang. Namun ada satu prinsip yang membuatnya tidak terjerumus terlalu dalam di “dunia hitam remaja”, yaitu iman yang menjadi pegangan hidupnya. “Senakal-nakalnya saya setiap minggu tetap ke wihara,” ujarnya tersipu.

Wie Sioeng punya alasan khusus kenapa harus berani dan keras. “Mencari jati diri. Dulu kan ekonomi keluarga saya biasa aja, cuma supaya kita bisa menonjol apa sih? Bagi anak-anak selain ekonomi yang ditonjolin adalah keberanian,” ujarnya, “apalagi saya kan minoritas (etnis Tionghoa-red), kalau saya takut nggak bakal dianggap di lingkungan itu. Karena kita berani mereka akhirnya ‘mandang’ kita.”

Momen untuk Mengubah Diri
“Bina dan perbaiki kebiasaan diri setiap waktu, garap lahan batin dengan baik setiap hari.”
 (Master Cheng Yen)

Melalui masa remaja dengan penuh warna, seperti pria pada umumnya, Wie Sioeng pun bekerja dan menemukan pasangan hidupnya. Pada usia 27 tahun, Wie Sioeng menikahi Vivi Tan yang tak lain teman masa kecilnya. Dari pernikahan ini mereka dikarunia dua orang putri: Nicole (14) dan Michelle (12). Seperti layaknya pasangan muda, kehidupan rumah tangga Wie Sioeng pun kerap dibumbui perselisihan.Bekerja sebagai salesman di perusahaan otomotif di Jakarta membuatnya harus bekerja ekstra keras memikat calon pelanggan. Bahkan tak jarang ia harus menjamu calon konsumennya hingga larut malam. Dari sinilah ia kemudian akrab dengan dunia malam. Tak jarang ia harus pulang larut dengan kondisi yang berbau minuman keras hingga memicu pertengkaran dalam rumah tangganya. Kedua anaknya pun tak dekat dengannya.

Setelah 8 tahun bekerja, Wie Sioeng akhirnya memilih hengkang dan mencoba merintis usaha sendiri. “Kita sebagai marketing di perusahaan otomotif, ibaratnya kaki kanan di surga, kaki kiri di neraka.” Merintis usaha dari nol, bisnis pada awalnya berjalan baik dan menjanjikan.Hingga ketika berjalan beberapa tahun, klien-klien mulai ingkar janji.Banyak piutang yang tidak tertagih hingga usaha ini mulai meredup dan akhirnya gulung tikar.

“Saya ambil hikmahnya saja kalau ini semua akibat kesalahan manajemen saya,” ucapnya lirih. Di saat usahanya terhantam ‘badai’, Wie Sioeng bersyukur karena saat itu ia telah mengenal Tzu Chi. “Pengalaman bahwa hidup itu nggak selalu berpatokan pada materi,” katanya, “dengan menjalani Tzu Chi saya belajar melepas, memang nggak mudah, cuma dalam hal tertentu memang kita harus belajar untuk melepas. Kalau kita menyesali terus kita nggak akan maju.”

Keterpurukan dalam bisnis justru menjadi momen kebangkitan spiritualitasnya. Suami Vivi Tan ini beruntung karena di saat-saat rapuh itu ia dan istrinya sudah mengenal Tzu Chi. “Ya udah kita lepas aja, karena kalau kita mikirin orang yang hutang ama kita dan nggak mau bayar kita sendiri yang sakit,” tegasnya. Keikhlasan dan kerelaan melepas itu menjadikan Wie Sioeng tak butuh waktu lama untuk bangkit dan mulai merintis usaha baru. “Keluarga yang pertama menjadi motivasi saya. Kedua, saya seperti dikasih kesempatan hidup, maksudnya kehidupan kedua setelah saya kenal Tzu Chi. Karena saat itu banyak waktu luang, daripada nganggur yang nggak juntrungan mending saya kerja Tzu Chi,” tegasnya.

Wie Sioeng sendiri mengenal Tzu Chi berawal dari inisiatif sang istri yang pada akhir tahun 2007 mendaftarkan putri mereka ke Kelas Budi Pekerti Tzu Chi (Istana Dongeng Ceria) di Jing Si Books and Cafe Kelapa Gading, Jakarta Utara. “Saya pikir ini bagus juga, pertama ada ren wen (budaya humanis), jadi kita daftarkan anak kita yang terkecil. Setelah ikut ini, anak saya banyak perubahan, kalau kita pulang dia manggil dan kalau mau makan dia tawarin ke kita.Saya pikir ini pasti ada something, suatu perubahan,” terangnya. Sang istri secara rutin mengantar anak-anak ke Jing Si Books and Cafe, dan Wie Sioeng pun turut serta. Tapi kala itu ia belum merasa nyaman berlama-lama di Jing Si hingga akhirnya ia memilih berjalan-jalan ke tempat lain.

Lain Wie Sioeng, lain pula istrinya. Vivi justru merasa nyaman dan mulai tertarik mengikuti kegiatan Tzu Chi. Aktif di misi amal, sang istri terkadang harus pulang larut malam untuk menyurvei calon penerima bantuan Tzu Chi maupun melakukan kunjungan kasih. Merasa khawatir karena sang istri kerap pulang malam sendirian, ia pun menawarkan diri untuk menjadi driver saat istrinya melakukan survei bersama relawan lainnya. Ibarat mandi, Wie Sioeng sudah separuh badan terkena air, hingga akhirnya ia memutuskan ‘menceburkan diri” menjadi relawan. Dari sekadar pengantar dan pengamat akhirnya ia turut berbuat kebajikan. “Saat mereka survei, saya duduk di pojok, jadi pendengar. Terus penasaran, kok Tzu Chi nanyanya harus detil gitu, kayak interogasi, why? Terus yang bikin saya tersentuh waktu anak saya bawa buku 108 kata perenungan, di situ tertulis: ‘Di setiap hati manusia ada hati Buddha, dan setiap manusia adalah Bodhisatwa’. Dari situ saya berpikir, oke, masa lalu kita lupakan dan kehidupan sekarang yang kita kembangkan,” tekad Wie Sioeng.

Ada sebuah pengalaman berkesan yang membuat Wie Sioeng akhirnya memutuskan jika menjadi relawan Tzu Chi merupakan salah satu jalan hidupnya. Saat itu ia tengah melakukan kunjungan kasih ke salah seorang pria yang hidup sebatang kara. Bersama relawan lainnya ia membersihkan rumah sekaligus menyurvei kehidupan pria itu. Dahulu kehidupan pria itu terbilang cukup lumayan, tetapi karena perilakunya yang buruk (sering mabuk-mabukkan dan berjudi) membuat istri dan anak-anaknya meninggalkannya.Pria itu kini hidup dengan bantuan dari 3 orang temannya.

Karena kondisinya sakit keras maka sang teman mengajukan bantuan pengobatan ke Tzu Chi. “Nah dari situ saya terinspirasi. Dulu kehidupan saya kan nggak baik ya, terus terang saya masih kenal dunia malam, masih hobi minum, saya lihat peristiwa orang itu kurang lebih sama dengan saya. Dari situ saya terpikir kalau suatu saat saya begini gimana? Terus yang kedua, saya mau jadi teladan yang baik untuk anak-anak saya.”

Batin Harus Kaya
“Di dalam hati ada cinta kasih dan Dharma, dapat memadamkan nyala api ( emosi ) di dalam hati, dapat membuat hati tenang tenteram.”

Ada pepatah mengatakan: jika ingin memperoleh teman yang baik, berkumpullah di tempat yang baik”.  Hal inilah yang dirasakan manfaatnya oleh Wie Sioeng.Ia yang dulu terkenal galak dan mudah emosi berubah menjadi sosok yang lebih sabar dan ramah. Wie Sioeng mengenang, dulu ia bisa bertengkar hebat di jalan hanya karena masalah sepele. “Pernah ada satu kejadian, metromini pepet saya, saking emosinya STNK-nya saya ambil terus saya lempar ke kali. Hampir pukul-pukulan. Supirnya mungkin pikir saya orang Batak juga, jadi nggak berani,” kenangnya sembari tersenyum, “Dulu melakukan itu merasa puas, tetapi sekarang justru kebalikannya. Sejak di Tzu Chi saya jadi tahu apa yang kita perbuat akan jadi sebuah karma. Karma yang buruk itu suatu waktu bisa kembali ke kita.”

Menurut Wie Sioeng, dengan menjalani Tzu Chi ia banyak melihat bahwa adakalanya penderitaan itu datangnya dari penyakit. Padahal, terkadang penyakit itu sumbernya dari perilaku kita sendiri: merokok, mabuk-mabukkan dan dunia malam. “Sekarang saya masih bersyukur, saya masih sehat, anak-anak dan istri masih ada, keluarga masih utuh, kenapa kita nggak menjalani di jalan ini, “ tandasnya.

Meski jalan untuk menuju ke arah kebaikan tak selalu mulus, tetapi bagi Wie Sioeng itu merupakan satu proses pembelajaran yang harus dilaluinya. “Kadang seseorang itu masuk Tzu Chi karena suatu hal, diajak teman. Nah, ketika temannya nggak aktif karena ada urusan keluarga atau lainnya ia pun jadi nggak aktif. Atau bisa juga karena saat kegiatan dia berbenturan dengan relawan lainnya.” Wie Sioeng sendiri punya jurus ampuh jika semangatnya tengah turun ataupun saat kegiatan bersinggungan dengan relawan lainnya. “Kalau lagi down, saya biasanya ke Jing Si Books & Cafe, baca buku, menguatkan, dan jalan lagi. Kadang ngopi dan ngobrol bareng relawan lainnya dan kita jadi bangkit lagi,” ujarnya, “kalau pas berbenturan dengan relawan lain, ya kita terima dan mengalah. Saya aktif di hampir semua misi Tzu Chi, saya jadi bisa merasakan perasaan mereka, bisa memaklumi dan menerima.”

Di mata Wie Sioeng Master Cheng Yen adalah sosok guru sejati. “Secara mazhab berbeda (Theravada), istri saya juga Katolik. Tapi kita nggak pandang itu, kita pandang Master Cheng Yen sebagai guru, guru sejati dalam mengajarkan arti cinta kasih, khususnya di bumi Indonesia. Di Indonesia kan nggak hanya orang Chinese, banyak suku-suku lain, dalam tanda kutip ada perbedaan, kenapa kita nggak buat jadi melebur,” ujarnya. Menurut Wie Sioeng, siapa pun yang tinggal di Indonesia berarti dia adalah orang Indonesia, meski dari suku yang berbeda-beda.

Mengendalikan Emosi
Menjadi relawan Tzu Chi, khususnya di misi amal (penanganan pasien khusus Tzu Chi) banyak membuka mata dan hati ayah dua anak ini.Ia tak menyangka sebelumnya jika para pasien yang notabene membutuhkan bantuan justru ‘berani’ menegur dan bahkan memarahinya. “Dulu saya nggak ngerti kenapa pasien itu emosinya lebih tinggi daripada kita. Padahal kan dia yang butuh, tapi ini justru mereka pikir kita yang butuh. Tapi setelah saya dalami, ternyata kalau orang yang secara ekonomi sulit dan menderita sakit, kadang emosinya lebih tinggi. Kita datang telat sedikit aja mereka marah,” terangnya, “dulu saya masih emosi, cuma saya tahan. Tapi sekarang saya paham, kita pun kalau berempati dan di posisi mereka pasti bersikap sama. Di situ saya sebenarnya belajar banyak bagaimana saya yang sebenarnya emosional belajar menekan emosi sampai ke titik kesabaran yang paling dalam,” ujarnya.

Selain mengasah kesabaran, banyak pelajaran hidup yang didapatnya justru setelah terjun ke masyarakat.Ternyata di antara sekian pasien kasus yang ditanganinya, ada banyak orang yang memiliki sikap-sikap hidup yang bisa dijadikan teladan dan bahkan guru baginya. Seperti saat iamenangani pasien kasus bernama Omnesius Zai yang menderita tumor. Omnesius yang dulu bekerja sebagai security harus merelakan seluruh uang pensiunnya untuk berobat.Meski sudah ‘habis-habisan’ namun penyakitnya tak kunjung hilang.  Di dalam keputusasaannya itu ia berjodoh dengan Tzu Chi setelah melihat tayangan DAAI TV yang tengah menayangkan kegiatan baksos kesehatan. Setelah permohonan bantuan pengobatannya disetujui, Omnesius pun mulai menjalani pengobatan, dan akhirnya sembuh. “Trus selama dia sakit kan kita perlu support ekonominya. Dia harus kemo 21 hari sekali.Waktu kita tawarin bantuan hidup untuk keluarganya dia bilang jangan 1 bulan, seminggu saja.Saya bilang kalau seminggu pengobatannya nanti nggak lancar.Kalau dia terbebani masalah ekonomi, pengobatannya pasti nggak lancar. Tapi dia menolak dan setelah pulang dia ngojek,” terang Wie Sioeng dengan mata berkaca-kaca.

Hal yang semakin mengharukannya adalah kejujuran dan kebesaran hati Omnesius untuk tak memanfaatkan bantuan yang diterimanya secara serakah. “Sekarang sebenarnya ada nongol lagi, tapi karena sekarang di Jakarta dah ada Kartu Sehat, dia bilang, saya sekarang dah bisa free, nggak papa, Tzu Chi bisa bantu buat yang lain yang lebih membutuhkan. Saya sangat terharu. Dia juga bisa didik kedua anaknya dengan baik hingga dapat beasiswa,” kata Wie Sioeng tegas, ”orang boleh susah, tapi hatinya jangan susah. Saya belajar di situ.”

Dokumentasi Jejak Sejarah
Pengalaman selama kuliah di majalah kampus membuat Wie Sioeng juga turut menjadi mata dan telinga Master Cheng Yen di Indonesia. Dia bukan hanya pelaku sejarah, tetapi juga seorang pencatat sejarah insan Tzu Chi. “Pada dasarnya setiap relawan Tzu Chi bisa menjadi penulis dan fotografer Tzu Chi, karena mereka kan yang ada di garis terdepan. Kalau kita (relawan) berharap semuanya bisa di-cover sama Tim 3 in 1 (yayasan) mungkin mereka juga nggak sanggup, karena banyaknya kegiatan dan terkadang informasinya sangat mendadak,” terang Wie Sioeng.

Menurutnya, mendokumentasikan kegiatan Tzu Chi sama pentingnya dengan melakukan kegiatan sosial tersebut. “Kadang kita foto sekarang, kita liat besok nggak ada artinya. Tapi coba kita liat 5-6 tahun kemudian, itu pasti sangat berarti,” tegasnya. Dengan adanya catatan sejarah yang lengkap maka itu akan bisa menjadi bahan pelajaran bagi generasi muda untuk melakukannya, sehingga mereka mendapatkan contoh yang baik bahwa di masa itu ada banyak orang-orang yang peduli kepada sesama.

Bukan tidak mungkin hal ini juga dapat menginspirasi mereka melakukan hal yang sama dan bahkan dengan skala yang lebih besar dan cara yang lebih baik. “Terus pada prinsipnya kita sebagai orang tua ingin menjadi teladan buat anak-anak kita, buktinya apa? foto dan tulisan,” sambungnya.

Menjadi Murid yang Bertanggung Jawab
Setelah mengikuti hampir semua kegiatan Tzu Chi, sampailah Wie Sioeng pada pilihan puncak: relawan komite. Dulu ia selalu menghindar dengan alasan masih berat (belum siap menjalani sila). Namun setelah berkomunikasi dengan relawan senior lainnya, tekadnya pun terpatri. “Kalau kita dahkomit, mau abu, biru, kita harus komite, menjalani Tzu Chi dengan komitmen. Saya harus melangkah dan jadi teladan buat keluarga saya dan teman-teman yang lain,” tekadnya.

Menjadi relawan komite membuat Wie Sioeng harus bertanggung jawab menjaga sikap dan perilakunya. “Yang dilihat sekarang di keluarga dan lingkungan bukan saya, tapi Tzu Chi. Kalau yang kenal saya di Tzu Chi, pasti bilang Wie Sioeng orang Tzu Chi, kalau saya salah atau berpakaian yang nggak beres pasti yang disalahin Tzu Chi, bukan saya. Setelah Tzu Chi siapa?Tega nggak kita Master disalahin atas kesalahan kita,” tegasnya.

Bagi Wie Sioeng, Master Cheng Yen tak sekadar guru sejati, namun juga panutan hidupnya. Saat dilantik Master Cheng Yen menjadi komite pada tanggal 22 November 2012 lalu, ia yang dulu sangat jarang menangis bisa gemetar dan menangis tatkala bertemu dengan sosok pendiri Tzu Chi ini. “Saya nggak ngerti, tapi saya yakin itu karena aura dari Master. Saya tidak pernah mengkultuskan Master.Saya menghormati dan mencintai Master.Apapun yang dilakukan beliau telah menginspirasi dan membuat hidup saya berubah.Aura cinta kasih ini sangat besar. Dulu berantemngadepin 5-6 orang saya nggak kabur dan gemetar, tapi ketemu Master yang badannya kecil saya bisa menangis.”

Tak ada kata-kata lain untuk membuktikan kecintaan seseorang selain dengan perbuatan dan tingkah lakunya. Demikian pula insan Tzu Chi. Saat mereka telah menjadikan Master Cheng Yen sebagai guru maka sudah sewajarnya sang murid melakukan apa yang diajarkan gurunya. Menurut Wie Sioeng, “Komite berarti tekad, tekad untuk terus melangkah di jalan Master Cheng Yen. Saya harus bersungguh-sungguh memegang tangung jawab dengan sepenuh hati. Yang terpenting adalah bahwa Tzu Chi adalah jalan kehidupan buat saya, jalan yang terbaik dan saya harus terus berada di jalan ini.”

Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto
Foto: Anand Yahya, kumiawan (He Qi Timur), Riyanto Budiman, (He Qi Timur ), Dok. Pribadi
Apa yang kita lakukan hari ini adalah sejarah untuk hari esok.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -