Yang Pit Lu
Saya Masih Terus Belajar

  
”Rasanya lega dan bahagia sekali kalau melihat para pasien itu bisa sembuh dari penyakitnya.”

Entah sudah berapa kali telepon genggam itu terus berdering, meskipun demikian, bibir Lulu, sapaan hangat Yang Pit Lu, masih menjawab semua pertanyaan yang terlontar dari lawan bicaranya dengan tutur kata yang lembut dan bersahaja.

Pemandangan ini telah menjadi keseharian ibu dari Adi Ligasaputra (26 tahun), Erik Ligasaputra (24 tahun), dan Dina Sandy Ligasaputri (22 tahun), setelah ia memutuskan untuk mengabdi dan aktif sebagai Koordinator Misi Amal di Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
 
 
Aktivitas wanita kelahiran Medan, 19 Oktober 1956 ini memang seakan tidak pernah berhenti. Dari mulai mengatur jadwal survei kasus (pasien penanganan khusus-red), mencari dan mengurus administrasi rumah sakit, hingga melakukan kunjungan terhadap pasien; membuat waktu yang berjalan selama 24 jam dalam sehari, terasa kurang untuk memenuhi semua keinginan hati Lulu.

”Cinta Kasih Tzu Chi Buat Mama, Membuka Mataku”
”Saya mengenal Tzu Chi untuk pertama kali ketika mama sakit keras di Amerika,” kenang Lulu. ”Saat itu,” tambah Lulu, ”kanker mama sudah memasuki stadium tiga, dan dokter telah memvonis umur mama hanya bertahan hingga tiga bulan lagi. Entah apa yang berkecamuk dalam pikiranku saat itu. Sedih, marah dan kecewa, semua terangkum jadi satu.”

Melihat kondisi kesehatan ibundanya yang terus menurun, Lulu beserta ketujuh saudaranya memutuskan untuk mencari seseorang yang memahami ajaran agama Buddha, untuk mengajarkan agama Buddha yang benar kepada ibu mereka. Semua ini dilakukannya dengan harapan, ketika ibunda mereka harus meninggalkan alam fana ini, beliau bisa pergi dengan tenang dan menjadi umat Buddha yang sesungguhnya.

”Secara fisik, kami memang menganut agama Buddha, namun pada kenyataannya kami sama sekali tidak memahami mengenai ajaran Buddha, karena kami hanya melakukan doa kepercayaan saja,” ucap Lulu.

Setelah sekian lama berusaha mencari orang yang diinginkan, akhirnya kakak Lulu berhasil bertemu dengan beberapa orang Taiwan yang memahami ajaran Buddha. Setiap dua hari sekali, orang-orang Taiwan itu selalu mengunjungi rumah mereka. Dengan penuh cinta kasih, orang-orang Taiwan yang ternyata para insan Tzu Chi itu, selalu memberikan penghiburan, nasehat, dan semangat kepada seluruh anggota keluarga untuk terus berjuang dalam menghadapi masa duka tersebut.

Kehadiran para insan Tzu Chi tersebut telah membawa suasana dan aura berbeda di rumah Lulu. Dinding-dinding kaku yang dulu dingin dan tak bernyawa, kini terasa hangat dan lebih bersahabat. Para insan Tzu Chi berhasil meredakan ketegangan yang menyelimuti keluarga Lulu dan menggantikannya dengan suasana yang penuh kehangatan.
 
”Rasanya seperti memiliki satu kekuatan baru, ketika dalam kesedihan ada orang yang mau memberi sandaran kepada kami,” tutur Lulu.

Cinta kasih yang tulus, sapaan hangat dan sentuhan lembut yang diberikan oleh insan Tzu Chi menemani ibunda Lulu, hingga ajal menjemputnya dengan tenang. Cinta kasih inilah yang terus membekas dalam benak Lulu, hingga Lulu kembali ke Indonesia.
   
Mencari Kebahagiaan Seutuhnya
Sejak dulu Lulu memang sudah tertarik dan terbiasa melakukan kegiatan kemanusiaan. Namun dengan keterbatasan yang dimilikinya, kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh istri dari Lie Ping Hui itu hanya berada dalam ruang lingkup kecil saja.

”Awalnya saya tidak tahu kalau orang Taiwan yang menemani mama adalah para insan Tzu Chi. Saya mengira kalau mereka hanyalah umat Buddhis saja,” ucap Lulu. Lulu mengaku, pelayanan dan pendampingan yang dilakukan oleh insan Tzu Chi kepada keluarganya, telah membuka mata dan memantapkan tekadnya untuk serius dalam melakukan kegiatan kemanusiaan, ”Karena pendampingan yang penuh dengan cinta kasih akan membuat orang  lain merasa hangat dan tentram,” tambahnya.

”Ketika menginjak umur 20 tahunan, saya selalu bertanya apakah arti kehidupan di dunia ini? Apakah hanya sekadar merawat keluarga sendiri saja,” ungkap Lulu. Karena kalau memang hanya seperti itu, Lulu merasa kebahagiaan yang dirasakannya belum sempurna, meskipun saat itu dia telah memiliki sebuah keluarga yang bahagia.

Saat itu Lulu juga telah melakukan beberapa kegiatan kemanusiaan, namun entah mengapa dia masih belum merasakan happy dengan apa yang sudah dilakukannya. Masih ada satu dilema yang terus mengganjal hatinya. Tetapi setelah dia mulai mengenal Tzu Chi, dilema dalam hatinya pun perlahan-lahan terjawab sudah. ”Saya menyadari bahwa dahulu welas asih yang sesungguhnya belum muncul dari diri saya, karena saat itu saya hanya sekedar memberikan bantuan sesuai dengan ajaran agama, tanpa melakukan pendampingan, seperti yang dilakukan insan Tzu Chi, oleh karena itu saya tidak merasa bahagia,” ujarnya.

Semenjak memutuskan untuk bergabung dengan Yayasan Buddha Tzu Chi, Lulu mengakui dirinya telah menemukan satu asa dalam hidupnya yang telah lama dicarinya. ”Memberi dengan welas asih yang menjadi salah satu ciri khas Tzu Chi, ternyata membawa dampak positif dalam kehidupanku,” tegasnya.

”Rasa bahagia itu,” tambah Lulu, ”mulai muncul ketika saya mendapat kesempatan turun langsung ke lapangan dan merasakan penderitaan orang lain, apalagi ketika mereka sembuh dan kita melihat ada perubahan positif pada keluarga mereka.” ”Pada saat itulah saya sadar kalau inilah kehidupan yang saya inginkan. Saya mau kehidupan yang berarti, dimana saya bermanfaat untuk orang lain, apalagi saya menyadari bahwa hidup ini tidaklah kekal. Oleh sebab itu, saya harus memanfaatkan tubuh yang masih sehat ini dengan baik dan optimal,” ujar Lulu pasti.

Belajar dari Master Cheng Yen 
Hidup ini adalah suatu pembelajaran yang berharga. Begitu pula perjalanan Lulu selama bergabung dengan Tzu Chi yang tidak luput dari lika-liku dan cobaan. ”Di awal saya bergabung dengan Tzu Chi, saya pernah merasakan kecewa, bahkan saat itu saya memiliki keinginan kuat untuk mengundurkan diri,” kenangnya.

Ketika itu, Lulu mengakui rasa ego yang dimilikinya masih sangat tinggi, karena selama ini dia selalu mendapatkan pujian atas apa yang dilakukakannya, baik di sekolah, kantor, maupun dari para pelanggannya. Dan biasanya apa yang telah direncanakan Lulu pasti dapat dicapainya. ”Saat itu saya berpikir, ngapain harus bersusah-susah kalau hanya untuk berbuat amal saja. Saya sudah mau membantu, malah dicela-cela oleh relawan senior,” kenangnya.

Namun kini mind set itu telah berubah, ketika Lulu mulai mengikuti pelatihan relawan yang diadakan oleh Tzu Chi. Melalui pelatihan tersebut, Lulu baru mengetahui bahwa di Tzu Chi, kita tidak hanya berbuat kebajikan, atau membantu orang lain saja, melainkan kita juga harus berusaha untuk melatih diri sendiri dengan melepaskan ego dan belajar untuk bisa bertoleransi. ”Saya merasa sangat beruntung bisa mengikuti pelatihan relawan tersebut,” tuturnya dengan penuh senyum.
 
Melatih diri sendiri memang tidaklah mudah, hal tersebut juga diakui oleh Lulu. Oleh karena itulah, Lulu selalu berusaha untuk terus melatih dirinya agar semakin mengenal ajaran Tzu Chi, melalui buku-buku, ceramah dan kata-kata perenungan Master Cheng Yen. ”Kata-kata Master Cheng Yen membantu saya untuk terus melatih diri sehingga pola pikir saya yang dahulu condong pada sisi ’keakuan’ dan ’negatif’, sedikit demi sedikit dapat berubah, menjadi lebih sabar dan rendah hati,” ungkap Lulu.
  
Tidak hanya itu, Lulu juga sering melakukan sharing dengan para relawan senior, mengenai usaha mereka dalam melalui hambatan dan ujian terhadap diri mereka sendiri.

Lulu menambahkan, dalam perjalanan Tzu Chi, kita perlu mencari orang yang bijaksana untuk mendampingi dan memberi pengarahan kepada kita, karena merekalah yang bisa memberi dorongan semangat, ketika kita sedang sedih dan putus asa. ”Saya sangat bersyukur, di Tzu Chi banyak relawan yang mau mendampingi saya dengan sabar dan pengertian sehingga saya dapat belajar untuk lebih tabah, bijaksana, dan tetap konsisten dalam perjalanan Bodhisattva ini,” jelasnya.

Dulu, apabila ada orang yang menyakiti hatinya, Lulu bisa marah hingga berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun. Tapi sekarang Lulu sudah mulai bisa belajar mengontrol emosinya. Wanita lembut dan berparas ayu ini selalu berkata, apa yang saat ini dilakukannya masih dalam proses belajar. ”Masih banyak kekurangan di dalam diri saya yang harus saya perbaiki dan saya akan terus belajar untuk menjadi insan Tzu Chi yang lebih baik lagi,” tukasnya mantap.

Berempati Menjadi Kunci Utama
”Asal kamu mau berusaha, kamu pasti bisa”. Pola pikir ini telah ditanamkan orangtua Lulu semenjak ia kecil. ”Mereka selalu bilang, setiap orang bisa melakukan apa yang diinginkannya kalau mereka mau berusaha,” kenang Lulu.

Dan hal itu bukanlah hanya isapan jempol belaka. Dengan kerja keras, Lulu berhasil membangun sebuah perusahaan pakaian wanita . Berawal dari tiga buah mesin jahit, Lulu terus berusaha meniti perusahaan garmen miliknya, hingga akhirnya produknya bisa menembus beberapa toko besar di Indonesia, dan menembus pasar luar negeri. ”Betapa senangnya saya ketika produk kami mulai di ekspor ke luar negeri.”

Perlahan namun pasti, mimpi seorang Lulu pun kian nyata. Perusahaan garmen yang maju serta suami dan anak-anak yang baik seharusnya bisa membuat hidupnya bahagia. Namun pada kenyataanya, Lulu tidak pernah merasakan kebahagiaan yang didambakannya. ”Dulu, saya terlalu menuntut orang-orang di sekitar saya untuk bisa melakukan apa yang saya harapkan, tanpa memikirkan kondisi mereka. Melalui Tzu Chi lah, saya kembali belajar untuk lebih berempati kepada mereka,” jelas Lulu.
 
Lulu tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Hal itu dibuktikannya dengan meninggalkan usahanya untuk fokus di dalam Tzu Chi. ”Saya tidak pernah menyesal melakukannya. Justru saya sangat bersyukur bisa berkonsentrasi di Tzu Chi, tanpa terganggu dengan hal lain,” ucapnya yakin.

Dalam memberikan bantuan dan pelayanan kepada masyarakat, para insan Tzu Chi dituntut untuk mampu menempatkan diri mereka pada posisi penerima bantuan. ”Ketika kita berempati terhadap penderitaan orang lain, maka secara otomatis kita akan mengetahui bagaimana perasaan mereka dan apa yang mereka butuhkan, sehingga kita bisa memberi dukungan sesuai dengan kebutuhan mereka,” jelas Lulu.

Oleh sebab itulah, Lulu berharap, dengan banyak membaca buku-buku perenungan Master Cheng Yen dan mengikuti pelatihan relawan, para relawan bisa termotivasi untuk dapat lebih bersumbangsih dengan maksimal.

Tidak dapat dipungkiri, berempati terhadap penderitaan orang lain memang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Tetapi semakin banyak kita melihat pasien penanganan khusus, semakin kita bisa memahami penderitaan orang lain dan melalui perjalanan-perjalanan mereka, membuat kita merasa bersyukur bahwa kita masih diberikan kesehatan dan keluarga yang bahagia.

Menjadi Motivator
Selama sembilan tahun mengabdikan diri dalam pelayanan bagi pasien bantuan khusus, banyak suka dan duka yang telah dirasakan oleh Lulu. Bisa melihat kepedihan yang tersirat di wajah pasien berubah menjadi senyum bahagia, merupakan kebahagiaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. ”Entah bagaimana mengutarakannya, rasanya lega dan bahagia sekali kalau melihat para pasien itu bisa sembuh dari penyakitnya, meskipun saya akan sangat merasa sedih juga, ketika saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk pasien yang tidak dapat tertolong lagi,” ucap Lulu.
 
Namun Lulu juga tidak menyangkal, bahwa dirinya tidak selalu diperlakukan dengan baik oleh para pasien. ”Ada juga pasien yang suka marah-marah, tetapi saat itu saya selalu melihat pada posisi mereka, mengapa mereka melakukan itu. Mungkin saat itu mereka sudah sangat putus asa, makanya mereka melakukan hal tersebut,” jelasnya. 

Semua itu dijalaninya dengan tulus dan sepenuh hati. Buat Lulu, pelayanan yang diberikannya didasarkan atas welas asih yang terus dipupuk di dalam hatinya. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, Lulu juga ingin para pasien yang telah dibantu oleh Tzu Chi juga dapat membagikan cinta kasih yang dimilikinya kepada orang lain.

”Sesuai dengan misi Tzu Chi, relawan Tzu Chi diharapkan tidak hanya memberikan bantuan saja, namun juga berusaha memotivasi orang yang dibantunya untuk dapat menebarkan cinta kasih yang dimilikinya kepada orang lain,” lanjutnya.

Pada beberapa pasien penanganan khusus yang telah berhasil ditangani, ada beberapa pasien yang mulai tergerak untuk menebarkan kembali cinta kasih yang mereka dapatkan kepada orang lain yang membutuhkan. Seperti Sarwen, wanita dengan tumor di perutnya yang berhasil dioperasi oleh Tzu Chi, kini telah menyumbangkan dua buah celengannya kepada Tzu Chi. Meskipun hidup dalam keterbatasan ekonomi dan fisik, cinta kasih yang dulu Tzu Chi tanamkan pada Sarwen, kini telah berbunga dan terus berbuah.

”Hal ini tidak terlepas dari peran serta tim survei, yang tanpa mengenal lelah bersedia meluangkan waktu serta tenaga mereka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan,” tutur Lulu sambil tersenyum.

Seperti dituturkan kepada Veronika
Foto: Anand Yahya
 
 
Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -