Yopie Budianto
Rasanya Seperti Terlambat Bergabung di Tzu Chi

Saya mengenal Tzu Chi dari DAAI TV Indonesia. Waktu itu saya sempat heran, kok ada orang yang ngasih bantuan tapi justru membungkukkan badan (berterima kasih-red) sama orang yang dibantu. Ini membuat saya penasaran ingin tahu, ada apa? Keheranan saya itu kemudian terjawab ketika di tahun 2008, saat bersama keluarga sedang berkunjung ke salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, saya melihat ada kegiatan di Toko Buku Jing Si Kelapa Gading. Karena penasaran, saya kemudianma suk dan bertemu dengan relawan Tzu Chi. Saya pun segera mendaftar untuk mengikuti sosialisasi calon relawan.

Setelah itu, saya kemudian ikut menyurvei pasien calon penerima bantuan kesehatan Tzu Chi. Setiap Minggu ada 3-4 kasus yang ditangani. Bergabung di tim survei, saya sering bersentuhan langsung dengan masyarakat yang membutuhka bantuan. Nah, saya lihat kondisi mereka itu rata-rata sangat memprihatinkan. Begitu pula saat saya menyurvei ke rumah warga calon penerima bantuan program Bebenah Kampung Tzu Chi di Pademangan, Jakarta Utara. Banyak rumah warga yang sudah tidak layak untuk dihuni ataupun berbahaya jika sewaktu-waktu roboh. Waktu itu saya merasa sepertinya sudah terlambat bergabung ke Tzu Chi. Tetapi saya dijelaskan oleh relawan yang lebih senior, tidak ada kata terlambat untuk berbuat kebajikan.

Pada Januari 2009, saya diminta untuk menangani program Bebenah Kampung di Pademang an. Supaya bantuan tepat sasaran, kita terapkan survei yang akurat. Survei bisa 2-3 kali, sehingga kita tahu bahwa yang kita bantu itu orang yang tepat.

Warga yang rumahnya dibantu merasa sangat bersyukur dan berterima kasih pada yayasan. Beberapa di antaranya bahkan aktif menjadi relawan Tzu Chi. Partisipasi warga untuk turut bersumbangsih juga tinggi. Mereka sudah aktif menabung dalam celengan bambu. Begitu pula saat terjadi gempa di Padang, hampir setiap rumah menyumbang untuk meringankan derita saudara-saudara kita. Kita juga berharap mereka bisa menjadi donatur Tzu Chi. Jumlahnya tidak dibatasi harus berapa, tapi lebih pada ketulusan dan keinginan mereka untuk membantu sesama.

Setelah rumah direnovasi, kita berharap akan ada perubahan dalam hidup mereka. Kita jelaskan kepada mereka bahwa meskirumah sudah diperbaiki bukan berarti diam saja, tapi juga harus bisa bantu tetangga. Ada kejadian, di mana ketika rumah wargayang baru dibedah dijadikan tempat untuk memandikan dan menyemayamkan jenazah

tetangganya. Saya lalu tanya kenapa ibu ini mau terima jenazah orang lain. Ibu ini bilang, “Sesuai dengan yang diamanatkan, saya nggak bisa bantu apa-apa, saya hanya bisa bantu ini. Ini kesempatan saya untuk berbuat baik.” Ada pula perubahanmenggembirakan lainnya. Saya suka bandingin nilai rapor anak-anak mereka, sebelum dan sesudah dibedah. Ternyata memang ada perubahan, nilai mereka lebih baik karena anak-anak merasa belajarnya lebih nyaman.

Warga juga aktif mengikuti kegiatan Tzu Chi. Saat ini sudah ada 16 orang yang menjadi relawan. Kenapa mereka mau bergabung dengan Tzu Chi, meski mereka mayoritas Muslim? Kita jelaskan kepada mereka bahwa Tzu Chi itu lintas agama, suku, ras, dan golongan. Jadi, agama apapun boleh ikut bergabung. 

Bergabung di Tzu Chi juga memberi saya pengalaman-pengalaman baru yang berharga dan berkesan. Misalnya saat terjadi bencana gempa di Padang pada 30 September 2009 lalu. Satu hari pascabencana, Tzu Chi turun memberi bantuan. Sementara saya bersama dengan relawan lainnya menyusul keesokan harinya, dengan membawa bahan bantuan dan perlengkapan yang dibutuhkan.

Selama di Padang, saya membantu para dokter dan tim medis lainnya. Dengan mobil pinjaman dari relawan Tzu Chi Padang, saya bolak-balik ambil obat dan antar dokter ke Pariaman. Saat itu kami tinggal di tenda. Karena ada dokter dan tim medis wanita, maka kami memutuskan untuk menyewa satu kamar untuk tidur dan mandi mereka. Kebetulan tenda kami tak jauh dari perkampungan penduduk. Warga itu pun mengizinkan. Kami diberi satu kamar tidur dan kamar mandi. Yang membuat kami terharu, pemilik rumah itu ternyata tidak mau dibayar. Ia menolak dan mengatakan bahwa sudah seharusnya ia bersikap demikian. “Bapak-bapak dan ibu dating untuk membantu kami, maka kami pun harus membantu,” ucap sang pemilik rumah.

Kesan mendalam juga kami rasakan ketika memasuki wilayah Ulu Banda, yang lokasinya cukup jauh dan terpencil karena jalan-jalan yang menghubungkan daerah itu terputus. Perjalanan hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Dari cerita warga, kami tahu bahwa sangat jarang bantuan yang bisa sampai ke tempat mereka. Maka ketika Tzu Chi mengadakan baksos kesehatan, warga menyambut dengan penuh sukacita. Menurut mereka, sudah 10 tahun lebih mereka tidak pernah dikunjungi dokter.

Warga juga sangat ramah dan baik kepada kami. Meski sedang mengalami kesulitan, mereka tetap menunjukkan perhatian dan cinta kasihnya. Saat rombongan relawan dan tim medis Tzu Chi kemalaman dan tidak bisa kembali ke posko, warga dengan cepat segera menyediakan tempat tinggal. Sebuah ruang kelas disulap menjadi ruang tidur yang nyaman dengan karpet, bantal, dan selimut. Kami coba menolak, tapi menurut mereka kalau ditolak, itu menyinggung perasaan mereka. Kami pun akhirnya menerima. Sungguh suatu pengalaman yang sulit dilupakan.

Semua manusia berkeinginan untuk "memiliki", padahal "memiliki" adalah sumber dari kerisauan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -