Yuliati: Relawan Tzu Chi Jakarta
Melangkah dengan Tepat di Jalan Tzu Chi
Tak ada yang tahu kapan pastinya jalinan jodoh akan matang. Itulah yang dialami oleh Yuliati atau yang akrab dipanggil Yonga. Sebagai manusia, Yonga menyusun rencana-rencana indah dan hal-hal baik yang ia inginkan dalam pikirannya. Untuk perkiraan kapan akan terwujud, tak ada yang tahu pasti. Begitu pula ketika ia bergabung dengan Tzu Chi. Ia sendiri tak menyangka, jodoh baik matang begitu cepat.
*****
“Saya memang punya keinginan masuk Tzu Chi. Saya juga pernah bilang ke suami saya, ‘kayaknya kalau udah tua enak ya ikut kegiatan seperti itu. Jadi ada kegiatan, kita nggak nganggur di masa tua’. Tapi ternyata lebih cepat. Belum tua-tua banget, kami sudah bergabung,” kata Yonga.
Ajakan Yonga kepada sang suami itu terlontar ketika mereka kerap menonton DAAI TV. Berbagai kegiatan kerelawanan yang ditampilkan dalam layar televisi membuatnya tertarik untuk turut bersumbangsih. Niat itu kemudian ia wujudkan dengan ikut membantu korban banjir pada tahun 2013 silam. Kegiatan itu adalah kegiatan pertamanya bersama Tzu Chi.
Yonga yang saat itu masih sangat baru – bahkan belum bergabung menjadi relawan, tak menyangka bisa ikut turun langsung ke lokasi banjir dan membagikan makanan hangat. Dari sana ia melihat langsung kondisi warga yang memprihatinkan diterpa bencana. Hatinya trenyuh.
“Saya sama Shixiong (suami -red) waktu di lokasi melihat ada satu keluarga yang istrinya melahirkan di rumah dalam kondisi banjir. Salah satu anaknya juga berkebutuhan khusus,” tutur Yonga memulai cerita. “Jadi saya merasa ikut sedih gitu melihat kondisi kehidupan yang saya lihat di depan mata. Mendapatkan sebungkus nasi saja bisa membuat mereka bersyukur sekali. Saya kan jadi merasa, kenapa saya nggak terusin berbuat baik seperti ini? kenapa saya nggak bersyukur punya badan sehat, tenaga, waktu,” lanjutnya.
Sepulangnya dari sana, Yonga mantap dan langsung bertekad menjadi relawan abu putih. Dua tahun kemudian, tahun 2015 ia menjadi relawan biru putih dan pada 2017 dilantik menjadi relawan Komite Tzu Chi.
Yonga mengaku adalah suatu keberuntungan ia dan suaminya bisa bergabung jauh lebih cepat di Tzu Chi. “Karena kami merasakan berkahnya lebih cepat daripada yang kami pikirkan. Kami merasakan hidup yang berbeda. Kalau sebelumnya mikirnya, kalau tua ikut kegiatan buat isi waktu. Tapi bisa melakukan seperti ini di masa muda, saat ada tenaga lebih banyak, adalah suatu kebahagiaan tersendiri,” ungkap Yonga.
Terus Memperbaiki Diri
Terhitung sejak tahun 2013, kini sudah 8 tahun Yonga menggeluti dunia kerelawanan. Banyak hal yang telah ia ketahui dan pelajari. Banyak pula yang telah ia praktikkan. Salah satunya adalah pengendalian emosi terhadap anak-anaknya yang ia pelajari melalui kegiatan kunjungan kasih ke panti asuhan.
Sebelumnya, menurut pengakuan Yonga, ia adalah tipe ibu yang mudah marah. Anak pertama yang paling merasakan bagaimana emosionalnya Yonga.
“Jadi kalau dulu saya marah, saya kurung anak saya di kamar mandi,” katanya tertawa mengingat masa lalu.
“Lalu selama di Tzu Chi, saya sering ajak anak-anak berkegiatan ke panti asuhan juga. Jadi mereka lihat, kok mami sama anak orang lain bisa baik, dirangkul-rangkul. Tapi kalau di rumah, kadang kalau saya capek, ya ngomel gitu kan. Makanya anak saya bilang, ‘Mami kalau sama anak orang aja bisa baik, sama anak sendiri’? Saya langsung seperti disentil,” lanjutnya masih tertawa.
Yuliati dan Oei John membagikan kisah bagaimana jalinan jodoh dan apa saja perubahan hidup mereka setelah bergabung menjadi relawan Tzu Chi dan berbagai tanggung jawab yang mereka jalani dalam kerelawanan. Cerita itu mereka ungkapkan pada Pemberkahan Akhir Tahun Tzu Chi 2019.
Menerima teguran dari anaknya langsung membuat Yonga terdiam. Ia berpikir bahwa pernyataan anaknya memang benar. Bagaimana bisa ia begitu halus dengan orang lain tapi malah berlaku sebaliknya terhadap anaknya sendiri?
“Sejak saat itu, apa yang saya lakukan ke orang luar, di rumah saya juga harus bisa saya lakukan. Termasuk apabila ke panti jompo, sama orang tua di sana baik, ke orang tua sendiri juga harus baik,” tegasnya mencoba terus memperbaiki diri.
Bersikap lebih sabar dan baik itu juga ia lakukan kepada suaminya, Oei John, yang juga merupakan relawan Tzu Chi. Sebelum bersama menjadi relawan, mereka kerap berselisih paham dalam masalah pekerjaan maupun hal lainnya. Saking seringnya cekcok, kadang Yonga berpikir, untuk apa mencari uang tapi ternyata menjadi masalah dalam keluarga.
“Sejak saat itu saya bilang kalau ada apaapa kita harus lakukan bersama biar sama-sama mengerti, sama-sama tahu. Itu kesepakatan kami sehingga ketika terjun ke Tzu Chi di tahun 2013 itu, saya maunya sama dia. Jadinya enak, nyatanya tidak ada halangan sampai sekarang karena kita sama-sama tahu, sama-sama mengerti,” papar Yonga yang kini saling sepaham, sepakat, dan sejalan dengan sang suami.
Berbagi Kebaikan Bersama untuk Lingkungan
Yonga merasa Tzu Chi telah memberinya semacam warna hidup yang baru yang bisa mengontrol emosi serta kesabaran dan cinta kasih dalam dirinya. Dengan predikat sebagai relawan, ia mengaku bagai mempunyai pagar yang semuanya terbentuk dari nilai-nilai kebajikan.
“Karena orang di sekeliling saya saja, yang tidak jauh-jauh, pasti akan melihat saya orang Tzu Chi. Kalau saya melakukan tindakan yang tidak baik, kan orang akan menganggap, ‘kok orang Tzu Chi begitu’. Yang diingat Tzu Chi-nya. Jadinya bagus buat saya karena bisa mengontrol saya untuk bisa bersikap dengan baik,” papar Yonga.
Sikap bisa menempatkan dan mengontrol diri dengan baik tersebut pula yang membuat Yonga bisa merangkul sesama di lingkungan rumahnya. Bukan dengan melakukan kegiatan yang besar, namun ia lakukan dengan membentuk titik daur ulang di rumahnya.
“Saya awalnya merangkul yang dari lingkungan Katolik dulu karena mereka konsen juga di pelestarian lingkungan, mereka langsung oke. Kami mulai sosialisasi dan bagi brosur. Sebelumnya juga pas ada mobil daur ulang lewat sini, banyak warga yang ikut kumpulkan daur ulang. Lalu saya bilang, jangan hanya kasih barang daur ulang, yuk coba kita bantu pilah,” kisah Yonga.
Sejak saat itu ada belasan orang yang aktif dalam pelestarian lingkungan di sekitaran rumah Yonga. Mereka lalu membentuk titik daur ulang di Pos RW untuk memudahkan ketika berkegiatan. Sikap supel dan sederhana yang ditunjukkan oleh Yonga dengan sendirinya menarik para tetangga untuk ikut berkegiatan.
“Rahasianya? Kita nggak usah berpura-pura. Kita melakukan apa adanya dan yang pasti kita sendiri harus melakukannya terlebih dahulu. Jadi memberi contoh. Jangan hanya ngomong tapi tidak melakukan. Ada pertanyaan, ya dijawab dengan senang hati. Bersedia juga jadi tumpuan mereka. Jadi misalnya mereka pilah di rumah tapi tidak ada tempat lagi, mereka bisa taruh hasil pilahannya ke rumah saya,” papar Yonga membagikan kiat suksesnya mengajak para tetangga ikut aktif menjaga lingkungan.
Berbagai peralatan dan kebutuhan untuk memilah sampah pun tidak luput dari perhatian Yonga. Ia biasa menyediakan apa yang dibutuhkan sehingga siapa pun yang datang untuk ikut memilah sampah bisa nyaman berkegiatan.
“Saya senang karena mereka welcome,” ungkapnya bahagia.
Mengemban Tanggung Jawab dan Menerapkan Pesan Orang Tua
Bukan hanya untuk dirinya sendiri, Yonga juga memperkenalkan Tzu Chi kepada para warga di sekitar rumahnya. Dari komunitas tersebut, kini akhirnya ada belasan tetangga yang terus aktif dalam berbagai kegiatan seperti pelestarian lingkungan maupun penuangan celengan bambu Tzu Chi.
Sejak bulan Januari 2020, Yonga mendapatkan tanggung jawab menjadi Wakil Ketua He Qi Barat 2. Itu merupakan tanggung jawab baru bagi wanita 44 tahun ini. Ia tak pernah membayangkan bahwa dedikasinya di Tzu Chi membawanya menerima ladang berkah yang amat luas. Walaupun sempat tidak percaya diri, namun kekuatan itu datang dari dukungan para relawan.
“Rasanya sempat tidak percaya diri karena merasa belum sanggup. Tapi dari Shijie Eli meyakinkan dan semua relawan setuju. Jadi akhirnya ya jalani saja. Semua kekuatan ya datang dari dukungan teman-teman relawan yang terus support,” tutur Yonga.
Yonga sendiri mengaku susah menolak permintaan orang lain, baginya itu merupakan satu kelemahannya. Ia pun selalu berpikir panjang dan mencoba memposisikan dirinya sebagai orang lain sebelum melakukan penolakan. Namun ia mengingat bahwa ajakan yang baik pasti bermuara ke kebaikan pula.
“Saya juga ngajarin ke anak-anak kan begitu. Jadi otomatis nggak tega nolak untuk yang baikbaik ini. Itu juga adalah hal yang diajarkan orang tua kepada saya,” katanya tersipu.
Selain rasa simpati, ada satu hal lagi yang paling diingat Yonga dari kedua orang tuanya, yakni prinsip kesederhanaan. Walaupun dulu orang tuanya adalah orang yang berpunya, tapi orang tua Yonga berpesan untuk tidak pernah sombong dan hidup berfoya-foya.
“Jadi dulu Papa punya usaha konveksi, pabrik lumayan besar. Tapi waktu itu Mama mengajarkan ke kita itu kalian jangan merasa kalian itu anak bos jadi sombong, foya-foya. Harus sederhana. Saya pun kan anak ketujuh, jadi baju tuh turunan-turunan dari atas-atas. Baju sekolah, sehari-hari, apalagi anak cewek ada 6. Ya sesekali dibelikan baju, tapi kita terima baju yang masih layak pakai dari kakak-kakak,” kata anak ke-7 dari 8 bersaudara ini.
Apa yang diterapkan orang tua Yonga sejak kecil ternyata tidak meleset hingga praktiknya saat ia berada di Tzu Chi. Semuanya bagaikan satu arah. Kasih sayang dalam keluarga, kesederhanaan, simpati, kesabaran, bahkan konsep pelestarian lingkungan, semuanya ia dapatkan dalam keluarga dan Tzu Chi. Hingga tak ada lagi hal yang ia ragukan dalam memilih jalan. Sebaliknya, langkahnya bersama keluarga dalam Tzu Chi semakin mantap.
“Apa yang perlu ditunggu apabila sudah ada kesempatan untuk memulai. Lakukan saja, genggam kesempatan baik yang ada,” pesan Yonga.
Penulis: Metta Wulandari, Fotografer: Arimami Suryo A., dok. Pribadi