"Ayo Kita Sekolah!"
Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Veronika Usha Dengan menggabungkan antara hiburan dan pendidikan, para relawan Tzu Chi mencoba menciptakan kondisi mengajar yang kondusif dan menyenangkan. |
| ||
Anak-anak dengan seragam berupa warna satu per satu memasuki ruangan kelas dengan santainya. Tidak ada satu bel pun yang mengingatkan mereka untuk segera masuk ruangan yang masih terlihat baru itu, yang ada hanya teriakan para guru menyebutkan nama kelas mereka. “Kelas satu! Ayo kalian masuk, kita harus mulai belajar sekarang,” katanya. Sesampainya di kelas, anak-anak yang biasanya mengisi satu bangku kelas dengan dua murid saja, terpaksa harus mengisi satu bangku tempat duduknya dengan dua teman lainnya. Hal ini dikarenakan tahun ini jumlah anak-anak yang ingin bersekolah di SD Dinamika Bantar Gebang, Bekasi jauh meningkat dari tahun sebelumnya. Hapuskan Pekerja Anak “Sebenarnya tujuan awal kami membangun sekolah ini adalah untuk mengurangi jumlah pekerja anak di TPA Bantar Gebang. Karena seperti yang kita ketahui bahwa banyak anak-anak yang tinggal di TPA ini yang tidak mengenyam pendidikan yang layak, mereka memilih untuk bekerja membantu orang tua mereka daripada bersekolah,” ucap Sulis Angriati, selaku salah satu penggagas Yayasan Dinamika Indonesia. Pendekatan mulai dilakukan oleh Sulis dan kawan-kawan dengan melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga, untuk mengajak anak-anak pergi ke sekolah. Sulis menjelaskan, “Program awal kami adalah dengan memberikan pendidikan yang mengacu program kejar paket. Dan agar anak-anak kelas 6 bisa lulus dan mendapatkan ijazah, kami menitipkannya ke sekolah formal untuk mengikuti ujian. Hal ini pun terus berjalan hingga sekitar awal tahun 2008. Tapi di akhir tahun 2008, sekolah kami yang awalnya berstatus non formal tersebut sudah beralih menjadi sekolah formal swasta dan memiliki izin operasional. Hingga saat ini, kami sudah meluluskan dua angkatan (angkatan 2008-2009 dan 2009-2010-red).”
Keterangan :
Untuk biaya operasional sekolah, awalnya pihak Yayasan Dinamika Indonesia sempat mendapatkan bantuan dana dari beberapa pihak. Tapi seiring berjalannya waktu, Sulis mengaku bantuan dana itu pun terhenti dan kini ia hanya mengandalkan biaya pendidkan dari pemerintah, dan mencari sponsor lainnya. “Baru tahun ini kami mengratiskan biaya pendidikan untuk anak-anak. Sebelumnya kami memungut biaya sebesar Rp 8.000 per bulan. Namun kenyataanya hanya 30% dari jumlah siswa yang membayar. Oleh karena itu, selain dana pendidikan dari pemerintah, kami berterima kasih kepada para sponsor dan relawan-relawan yang bersedia untuk mengajar di sekolah kami,” ungkap wanita yang mengaku sudah jatuh cinta dengan anak-anak TPA Bantar Gebang ini. Selain mencari bantuan dana untuk memenuhi biaya operasional sekolah, Sulis mengaku juga mencari dana untuk memperbaiki bangunan sekolah. Setelah lebih kurang tiga tahun penantian, akhirnya pihak dari kedutaan Jepang bersedia memberikan bantuan gedung sekolah baru untuk SD Dinamika. Memupuk Semangat Belajar Theresia menuturkan, situasi dan kondisi kelaslah yang telah menggugah hatinya untuk berbuat sesuatu. “Bangunan sekolahnya memang cukup baik, namun alat-alat belajar mereka masih sangat memprihatinkan. Mereka hanya memiliki satu buku tulis, satu buah pensil yang sudah pendek dan kotor. Tidak hanya itu, saya melihat mereka mengapus tulisan yang salah pada buku mereka dengan mengunakan air ludah,” kenang Theresia. Melihatnya, Theresia bertekad untuk berbuat sesuatu. Tidak lama setelah kegiatannya menemani tim Da Ai TV Taiwan selesai, ia pun mulai berkoordinasi dengan pihak Yayasan Dinamika Indonesia untuk memberikan sedikit bantuan, dan menawarkan diri mengajar di sekolah tersebut. “Saya memang bukan lulusan sekolah guru. Namun saya melihat, khususnya untuk kelas satu dengan jumlah murid yang begitu banyak sepertinya tidak bisa dipegang hanya oleh satu guru. Apalagi banyak dari mereka yang belum bisa baca, tulis, atau berhitung,” tutur wanita yang sudah cukup lama bergabung dengan Tzu Chi tersebut.
Keterangan :
Akhirnya, dengan ditemani oleh Netty Gan yang juga relawan Tzu Chi, ia pun mulai mengajar di SD Dinamika untuk kelas satu dan tiga, setiap hari Rabu, Kamis, dan Jumat. Untuk kelas satu, Theresia dan Netty mengajar membaca dan berhitung. Sedangkan untuk kelas tiga, Netty memilih mengajarkan bahasa Inggris kepada mereka. “Sayang sekali. Kita tahu sekarang pelajaran bahasa Inggris sangat dibutuhkan, sedangkan di sekolah ini belum ada guru khusus yang mengajarkan pelajaran ini,” ucap Netty. Tidak hanya mengajar, para relawan Tzu Chi ini pun juga memberikan peralatan tulis, buku, dan beberapa tas untuk anak-anak. Menurut Theresia, semangat anak-anak untuk belajar pun masih terlihat sangat kurang. Oleh karena itu di kelas satu yang merupakan pondasi awal mereka, Theresia dan Netty sengaja menerapkan disiplin dan sopan santun. “Kami mulai mengajarkan mereka untuk tidak gaduh selama belajar, tidak boleh mengangkat kaki ketika menulis, ataupun keluar kelas. Agar anak-anak tidak bosan, kami pun mengemas bahan pelajaran dengan cara yang menyenangkan sehingga mereka bisa belajar sambil bermain,” jelas Theresia. Kalau dibandingkan dengan sebelumnya sikap anak-anak sekarang sudah jauh lebih baik. Dulu sebelum jam sembilan, banyak anak-anak kelas satu yang pergi ke luar kelas untuk pulang ke rumah dengan alasan lapar dan ingin makan. Tapi sekarang, hal itu sudah tidak terjadi lagi. Theresia mengatakan, “Sekarang sudah tidak ada alasan bagi mereka untuk teriak lapar dan keluar kelas, karena kami sengaja memberikan susu dan snack sehingga mereka bisa lebih berkosentrasi belajar. Kasihan, banyak dari mereka yang berangkat sekolah tanpa mandi dan sarapan.” Bersama Menggapai Mimpi “Kalau kita lihat sekarang, gedung yang baru, ruang-ruang kelas dengan meja kursi yang cantik, ternyata masih belum cukup untuk menambah motivasi anak-anak untuk semakin giat belajar. Mereka membutuhkan kita, mereka masih perlu dibimbing. Cinta kasih dan kepedulian kita terhadap anak-anak ini, pasti akan mengantarkan mereka meraih mimpi,” harap Theresia. Walaupun anak-anak ini hidup di sela-sela gunung sampah, tetapi kehidupan mereka tidak harus berakhir di tumpukan sampah itu juga. Maka, tidak ada salahnya kita menggalang hati untuk berbuat sesuatu untuk mereka. Tidak perlu sesuatu yang besar, karena perubahan juga bisa dimulai dari sesuatu yang sepertinya sangat sederhana. | |||